Rabu, 22 Oktober 2014

Menilai Pidato Pertama Presiden Jokowi

Menilai Pidato Pertama Presiden Jokowi

Shohib Masykur ;  Alumnus The Indonesian President’s Speechwriting Course, Georgetown University, Amerika Serikat; Saat ini sedang mengambil program Master of Science in Foreign Service di kampus yang sama
DETIKNEWS, 21 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Usai dilantik sebagai Presiden RI ke-7, Jokowi menyampaikan pidato pertamanya (Baca: Ini Pidato Lengkap Jokowi). Konon naskah pidato tersebut disiapkan oleh tim pakar yang beranggotakan 11 orang ahli dari berbagai bidang. Tulisan ini akan mengulas pidato Jokowi dari segi teknik penulisan pidato.

Lebih singkat lebih baik

Kelebihan utama pidato Jokowi adalah durasinya yang singkat. Secara umum, pidato yang singkat lebih baik ketimbang pidato yang panjang. Pidato panjang bukan saja membuat pendengarnya bosan, melainkan juga mengaburkan pesan yang ingin disampaikan.

Dalam public speaking, jamak diketahui bahwa kemampuan rata-rata audiens untuk mempertahankan konsentrasi adalah 20 menit. Di atas itu, audiens mulai melamun atau memikirkan hal-hal lain. Selain itu, memori audiens tidak cukup kuat untuk menangkap terlalu banyak pesan lisan. Karenanya, semakin singkat suatu pidato, semakin melekat pesannya di ingatan pendengar.

Hal itu sering tidak disadari oleh para penulis maupun penyampai pidato. Mereka beranggapan pidato yang pendek kurang mengesankan sehingga cenderung menyusun pidato yang panjang. Anggapan itu muncul karena mereka terjebak pada perspektif subyek (penulis dan penyampai pidato) yang ingin menyampaikan banyak hal. Mereka abai untuk melihatnya dari perspektif obyek (pendengar) yang secara umum cepat bosan dalam mendengarkan.

Namun tampaknya Jokowi menyadari hal tersebut. Ditambah lagi, pada dasarnya Jokowi memang tidak gemar banyak bicara. Dalam setiap kesempatan tampil di depan publik, kata-katanya selalu cekak aos, tidak bertele-tele. Makanya, alih-alih 45 menit sebagaimana direncanakan semula (Baca: Jokowi Hanya Minta 7 Menit), Jokowi hanya minta waktu 7 menit.

Angka 7 itu barangkali bagian dari kebiasaannya menggunakan simbol. Sebagai Presiden RI ke-7, dia ingin pidato pertamanya selama 7 menit. Jokowi memang kerap menggunakan simbol: baju kotak-kotak, pelantikan di kawasan kumuh, penerimaan mandat pencapresan di rumah Si Pitung, pidato kemenangan di kapal, salam dua/tiga jari, dan semacamnya.

Namun alih-alih 7 menit, pada akhirnya Jokowi berpidato selama 11 menit, atau 4 menit lebih lama dari yang direncanakan. Ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi. Pertama, penulis pidatonya kurang tepat dalam memperhitungkan tempo bicara Jokowi. Kecepatan rata-rata orang berpidato adalah 120 kata per menit. Dengan demikian, jika ingin menyampaikan pidato 7 menit, naskah yang dipersiapkan kurang lebih 840 kata.

Pidato Jokowi sendiri terdiri dari sekitar 840 kata, sehingga secara teori sebenarnya sudah tepat. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan bicara setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang nyaman bicara lambat, ada juga yang nyaman bicara cepat. Adalah menjadi tugas penulis pidato untuk memperkirakan secara akurat tempo yang cocok sesuai dengan zona nyaman penyampai pidato.

Rupanya tempo Jokowi berada di bawah rata-rata sehingga pidato yang sedianya 7 menit itu harus dibawakan lebih lama. Dari situ dapat disimpulkan bahwa tempo Jokowi adalah sekitar 76 kata per menit (hal yang perlu dicatat oleh siapapun penulis pidato Presiden Jokowi ke depan).

Kemungkinan kedua adalah adanya perbedaan antara latihan dengan pidato sungguhan. Pada saat latihan, barangkali timnya telah mengukur secara cermat tempo pidato Jokowi. Namun pada saat pidato sungguhan, Jokowi membawakannya secara lebih lambat.

Hal semacam itu memang biasa terjadi mengingat latihan dan pidato sungguhan dibawakan dalam suasana yang sangat berbeda. Berdiri di atas panggung disaksikan puluhan juta pasang mata tentunya lain dengan berdiri di ruangan disaksikan oleh segelintir orang. Sedikit banyak tempo pidatonya akan terpengaruh karena adanya faktor gugup. Belum lagi jika tepuk tangan audiens membuat pidato harus berhenti beberapa kali selama beberapa saat.

Kemungkinan ketiga, tentu saja, adalah Jokowi memutuskan untuk memperpanjang pidatonya melebihi 7 menit. Tapi mengingat kegandrungan Jokowi pada simbol, kemungkinan terakhir ini sepertinya lebih kecil ketimbang kemungkinan pertama atau kedua.

Lebih dari sekadar pidato, Jokowi berkomunikasi

Dua paragraf di bawah ini menyiratkan banyak hal.

Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air, merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan. Saya juga mengajak seluruh lembaga Negara untuk bekerja dengan semangat yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Saya yakin, Negara ini akan semakin kuat dan berwibawa jika semua lembaga negara bekerja memanggul mandat yang telah diberikan oleh Konstitusi.



Kepada para nelayan, para buruh, para petani, para pedagang bakso, para pedagang asongan, sopir, akademisi, guru, TNI, POLRI, pengusaha dan kalangan profesional, saya menyerukan untuk bekerja keras, bahu membahu, bergotong rotong. Karena, inilah momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama, untuk bekerja…bekerja…dan bekerja.


Jokowi tidak hanya berpidato. Lebih dari itu, dia berkomunikasi. Dia berbicara dengan rakyat, orang-orang yang dipimpinnya. Dalam bahasa Bung Karno, tokoh yang juga dia rujuk dalam pidatonya, Jokowi berusaha untuk menjadi “penyambung lidah rakyat.” Karenanya, dia menyapa rakyatnya: nelayan, buruh, petani, pedagang bakso, pedagang asongan, sopir, akademisi, guru, TNI, POLRI, pengusaha dan kalangan profesional. Dia mengajak dan menyerukan.

Jokowi memulainya dengan nelayan, sesuai dengan visi maritim yang ingin dia wujudkan. Lalu dia lanjutkan dengan menyebut profesi-profesi “wong cilik” yang selama ini menjadi prioritas kebijakannya: buruh, petani, pedagang asongan. Barulah di belakang dia menyebut pengusaha dan kalangan profesional.

Pilihan urutan yang kelihatannya sepele itu sesungguhnya menunjukkan sisi ideologis Jokowi: bahwa, meskipun dia berasal dari kalangan pengusaha, dia tetap menempatkan “wong cilik” sebagai prioritas dalam kebijakannya. Dan dia ingin “wong cilik” itu menjadi subyek yang berdikari, subyek yang turut serta bekerja keras bahu membahu bersama pemerintah dalam membangun Indonesia.

Bagi Jokowi, “wong cilik” itulah yang menjadi sumber kekuatan utama Indonesia untuk bisa maju, sehingga mereka perlu disebut di depan. Namun “wong cilik” itu butuh kepemimpinan dan keteladanan. Di sanalah peran negara. Karena itu, terlebih dulu dia menyerukan kepada seluruh jajaran pemerintahan yang dia pimpin untuk bekerja keras guna “memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan.” Dengan adanya keteladanan pemerintah, Jokowi yakin rakyat akan lebih terpacu untuk bekerja keras. Kolaborasi apik antara pemerintah dan rakyat itu kunci untuk membangun Indonesia yang “berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan” sehingga dapat “hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri.”

“No great speech without great policy”

Seringkali kita mendengar pidato panjang lebar, namun hanya beberapa menit setelah selesai kita tidak ingat lagi apa inti dari pidato yang baru saja kita dengar. Penyebabnya bisa jadi karena kita tidak memperhatikan secara seksama. Namun, sangat mungkin pula hal itu lantaran pidatonya sendiri tidak mengandung pesan yang kuat.

Peggy Noonan, penulis pidato Pressiden AS Ronald Reagan yang legendaris, pernah mengatakan: “there is no great speech without great policy.” Dalam konteks ini, maka pidato Jokowi telah menyentuh aspek paling mendasar dari sebuah pidato: great policy. Pesan yang dia sampaikan jelas dan lugas: visi maritim Indonesia.

Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di Laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.

Visi maritim itu tidak hanya berhenti pada tataran kebijakan, tetapi sampai pada mentalitas dan menjadi bagian dari revolusi mental yang ingin dia galakkan. Bagi Jokowi, negara maritim bukan hanya negara yang terdiri dari laut dan kepulauan, melainkan juga negara yang penduduknya memiliki jiwa cakrawati samudera, “jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.”

Kebijakan dan mentalitas maritim itu pada gilirannya akan membentuk identitas Indonesia sebagai bangsa maritim. Maka, saat menyebut Indonesia dalam konteks hubungan luar negeri, Jokowi secara spesifik menyebut Indonesia “sebagai negara kepulauan.”

Saya ingin menegaskan, di bawah pemerintahan saya, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sebagai negara kepulauan, dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, akan terus menjalankan politik luar negeri bebas-aktif, yang diabdikan untuk kepentingan nasional, dan ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dibandingkan identitas sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, identitas sebagai negara kepulauan selama ini memang kurang mengemuka dalam pembicaraan mengenai Indonesia di dunia internasional. Dalam hubungan luar negeri, ekonomi, dan pertahanan, cara pandang berbeda terhadap identitas diri itu penting artinya karena akan memengaruhi berbagai kebijakan yang diambil.

Modifikasi bahasa untuk menekankan makna

Jika ditilik dari kebiasaannya, Jokowi bukan orang yang gemar berbicara gaya sastra. Dia cenderung berbicara secara praktis tanpa bunga-bunga. Namun, barangkali atas saran penulis pidatonya, dalam kesempatan tersebut Jokowi melanggar kebiasaannya. Paragraf ini menarik disimak.

Sebagai nakhoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui upaya kita bersama.

Jokowi mengumpamakan dirinya sebagai nakhoda yang memimpin kapal besar bernama Republik Indonesia. Selain keterhubungannya dengan visi negara maritim, perumpamaan itu juga berfungsi untuk menghadirkan ke dalam imajinasi pendengarnya visualisasi tentang Indonesia yang ingin dia wujudkan, yang dia ibaratkan sebagai kapal yang memiliki layar kuat dan siap menghadapi badai dan gelombang samudera.

Dalam penulisan pidato, teknik penggambaran semacam itu dikenal dengan sebutan sensory imagery. Efektivitasnya terletak pada pelibatan imaji pendengar yang dapat memantik seluruh indra untuk bekerja. Perumpamaan itu mengajak pendengar untuk membayangkan Indonesia bukan hanya sebagai sebuah konsep yang abstrak, melainkan suatu entitas konkret yang dapat dideteksi oleh panca indra: dilihat oleh mata (bentuk kapal), didengar oleh telinga (gemuruh badai), dicium oleh hidung (bau lautan), dikecap oleh lidah (asinnya air laut), dan dirasakan oleh kulit (dinginnya angin laut). Mencantolkan konsep abstrak dengan obyek yang konkret membantu tersampaikannya pesan pidato kepada pendengar sehingga lebih melekat dan berkesan. Visualisasi di paragraf itu sejalan dengan visualisasi di paragraf lain:
Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk.

Tentu saja yang Jokowi maksudkan bukan memunggungi secara harfiah, melainkan mengabaikan. Dengan memunggungi, kita tidak bisa melihat sesuatu, dan karenanya tidak bisa menghargai arti pentingnya. Kata “memunggungi” efektif sebagai penyampai pesan karena imajinasi pendengar diajak untuk melibatkan indra yang lain (mata) dan anggota tubuh yang lain (punggung, bagian tubuh belakang). Setelah selama ini memunggungi samudera, rakyat Indonesia diajak oleh Jokowi untuk tidak saja menengok kembali ke laut, tetapi juga “naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya.”

Pengulangan kata “memunggungi” sebanyak tiga kali, dikenal dengan sebutan anaphora, menambah efektivitas kalimat itu. Ada sesuatu yang magis dengan angka tiga. Para penulis pidato gemar mengulang kata atau frase sebanyak tiga kali. Mereka menyebutnya the rule of three. Namun terkadang mereka juga memodifikasinya menjadi empat atau lima. Dalam penulisan pidato, efektivitas memang tidak selalu sejalan dengan efisiensi.

Hanya saja, penggunaan anaphora perlu dilakukan secara cermat. Jika terlalu sering, anaphora bisa menjadi klise dan tidak menarik lagi. Daya magisnya pun akan berkurang. Dan tampaknya Jokowi punya kecenderungan ke arah sana. Beberapa di bawah ini adalah contohnya:

...inilah momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama, untukbekerja…bekerja… dan bekerja.

Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri.

Oleh sebab itu, bekerja, bekerja, dan bekerja adalah yang utama.
... untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, Negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera.

Selain itu, Jokowi mengulang kalimat yang amat mirip secara berdekatan: Ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Terlepas dari pesan yang ingin disampaikan, pengulangan semacam itu sebenarnya tidak perlu. Akan lebih baik jika dia memilih salah satu.

Bagaimanapun, secara keseluruhan pidato pertama tersebut menarik dan berbobot.

Selamat bertugas, Pak Jokowi (dan penulis pidatonya)!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar