Diplomasi
Poros Maritim Jokowi
Ludiro Madu ; Dosen di Prodi Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
21 Oktober 2014
Riuh-rendah pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla (20/10) perlu segera dibarengi dengan rencana/program kerja selama 5
tahun ke depan, 2014-2019. Salah satunya terkait dengan diplomasi maritim
sebagai 'sokoguru' politik luar negeri Indonesia. Melalui diplomasi maritim,
kebijakan luar negeri perlu diabdikan dan ditujukan untuk mencapai
kepentingan nasional, yakni mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat
di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Diplomasi tetap dijalankan berdasarkan politik luar negeri bebas dan aktif.
Jokowi menegaskan arti penting diplomasi maritim dalam pidato
pelantikannya. Tujuan utama diplomasi maritim adalah Jalesveva Jayamahe,
yaitu '...untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra,
laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita.' Selain itu, Presiden
Jokowi mengajak kita mengingat himbauan '...Presiden Pertama Republik
Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar,
negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti
samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak
yang menggulung.'
Dalam pelaksanaannya, kebijakan luar negeri Jokowi perlu
mempertimbangkan kesinambungan dan perubahan/reorientasi dari 10 tahun
kebijakan luar negeri di era Presiden SBY. Kesinambungan berkaitan dengan
upaya melanjutkan capaian positif diplomasi SBY million friends, zero enemies. Sedangkan, reorientasi kebijakan
luar negeri ditempuh dalam upaya sistematis untuk mengedepankankan diplomasi
maritim. Urgensi reorientasi itu adalah memperoleh manfaat sebesar-besarnya
dari Komunitas ASEAN 2015 dan kerjasama multilateral-bilateral selama ini.
Kesinambungan
Tidak ada keraguan mengenai prestasi Presiden SBY dalam perumusan dan
pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif. Peran aktif Indonesia di
ASEAN dalam 10 tahun ini telah mengembalikan kepemimpinan Indonesia di
organisasi regional itu. Kepiawaian diplomasi Indonesia juga menonjol dalam
keanggotaan aktif pada forum G7, APEC, MDGs dan berbagai forum multilateral
lainnya. Pengakuan itu diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Indonesia
sebagai tuan rumah dan ketua forum-forum multilateral itu.
Warisan SBY dalam politik luar negeri juga berkaitan dengan inisiatif
dalam menyelenggarakan berbagai forum internasional. Tujuan forum itu adalah
untuk promosi demokrasi (termasuk kompatibilitas Demokrasi dan Islam),
pluralisme/multikulturalisme masyarakat, dialog antar-agama (interfaith), dan resolusi konflik
damai sebagai modalitas utama politik luar negeri Indonesia. Bali Democracy Forum merupakan contoh
nyata inisiatif global Indonesia untuk membangun arsitektur demokrasi di
kawasan Asia.
Kebijakan luar negeri SBY juga terkait dengan visi-misi politik luar
negeri Jokowi, yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Salah
satunya adalah membangun blue economy dalam rangka konektivitas maritim APEC.
Gagasan itu disampaikan SBY di Brasil, Juni 2012 sebagai inisiatif untuk
memanfaatkan sumber daya alam bagi pembangunan ekonomi, kesejahteraan
masyarakat, dan kesehatan lingkungan. Gagasan itu kembali diangkat sebagai
agenda pertemuan APEC di Denpasar di akhir 2013. Peningkatan aktivisme diplomasi
itu telah mengangkat profil negara ini sebagai the rising power, dan bahkan
menjadi middle power dalam pergaulan antar-bangsa.
Reorientasi
Prestasi SBY menjadi warisan penting bagi politik luar negeri Jokowi,
meskipun reorientasi tetap perlu dilakukan. Beberapa langkah reorientasi
meliputi: pertama, penetapan arah dasar dan target pencapaiannya. Jokowi
perlu segera membicarakannya bersama kabinetnya. Perumusan kembali
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Rencana Pembangunan Jangka
Panjang- Menengah-Pendek perlu dilakukan untuk memperkuat visi dan misi
Pemerintahan Jokowi dan JK. Dalam konteks itu, politik luar negeri menjadi
salah satu upaya nyata pemerintahan Jokowi untuk mewujudkan program kerjanya.
Kedua, menugaskan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sebagai leading
sector dalam mengkoordinasikan pelaksanaannya melalui diplomasi maritim.
Pemilihan sosok Menteri Luar Negeri yang memiliki latar belakang, pengalaman,
dan networking di bidang maritim menjadi langkah awal mendasar. Beberapa nama
seperti top diplomat karir senior perempuan Retno Marsudi, Yuri Thamrin,
Desra Percaya, Arief Havas Oegroseno, dan Dino Patti Jalal perlu lebih
dipertimbangkan ketimbang profesional dari luar Kemlu.
Ketiga, identifikasi negara-negara yang paling berpotensi diajak
bekerjasama dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Upaya ini memerlukan kerja keras out of
the box dari lingkaran konsentris politik luar negeri Indonesia selama
ini. Tiongkok, AS, Singapura, Thailand, Perancis, Belanda, dan Rusia adalah
beberapa negara dengan sumber daya maritim yang perlu mendapat perhatian.
Langkah ini tentu saja dikaitkan dengan peningkatan intensitas kerjasama
bilateral di negara-negara itu.
Harapannya adalah Indonesia sebagai poros maritim dunia benar-benar
merupakan program kerja nyata bagi pemerintahan Jokowi, dan bukan slogan
kampanye pilpres semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar