Kamis, 09 Oktober 2014

Mengejar Pajak Orang Kaya

Mengejar Pajak Orang Kaya

Chandra Budi  ;   Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
JAWA POS,  08 Oktober 2014




PEMERINTAH dan DPR telah menetapkan target penerimaan pajak dalam APBN 2015 sebesar Rp 1.201 triliun atau naik 12 persen dari target pajak dalam APBNP 2014 yang sebesar Rp 1.072,38 triliun. Apabila dibandingkan dengan prediksi realisasi penerimaan pajak tahun ini, sekitar Rp 1.000 triliun, dalam APBN 2015 akan ada kenaikan target pajak sekitar Rp 201 triliun atau 20 persen. Berkaca pada realisasi capaian penerimaan pajak tiga tahun terakhir, target pajak 2015 hampir dapat dikatakan mustahil tercapai kalau tidak ada upaya luar biasa (extraordinary). Salah satu upaya luar biasa tersebut adalah menambah penerimaan pajak yang berasal dari orang pribadi, khususnya wajib pajak orang kaya atau high wealth individual (HWI). Lantas, bagaimana tantangan untuk mewujudkannya?

Menurut OECD (2009), ada empat faktor yang harus diperhatikan dalam menggali potensi pajak orang kaya. Empat faktor tersebut adalah kompleksitas sumber penghasilan, tingginya kontribusi penerimaan pajak, adanya peluang untuk melakukan penghindaran pajak, dan adanya skema khusus untuk meningkatkan kepatuhan pajak orang kaya.

Faktor pertama, yaitu kompleksitas sumber penghasilan, terjadi karena orang kaya sering memperoleh penghasilan dari berbagai sumber. Tidak jarang juga sumber penghasilannya berasal dari luar negeri, di mana pengenaan pajaknya terikat dengan aturan-aturan internasional seperti perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaties.

Faktor kedua, yaitu besarnya kontribusi penerimaan pajak yang berasal dari orang kaya, akan menyebabkan gagalnya pencapaian target pajak apabila orang kaya itu meninggalkan wilayah yurisdiksi pemajakan suatu negara. Hal itu terjadi karena peran penerimaan pajak orang kaya tersebut di beberapa negara sangat signifikan. Di Inggris Raya, pajak orang kaya berkontribusi 17 persen dari total pajak penghasilan. Bahkan, di Amerika Serikat, kontribusinya dapat mencapai 40 persen dari total pajak penghasilan di wilayah federal. Negara-negara itu melihat ada risiko gagalnya penerimaan pajak apabila orang kaya meninggalkan wilayah yurisdiksi pemajakannya. Sebab, basis pengenaan pajak adalah tempat tinggal (resident), bukan berdasar kewarganegaraan (citizenship). Artinya, mereka akan dikenai pajak di tempat mereka tinggal walaupun penghasilannya bersumber dari negara-negara lain.

Faktor ketiga, sangat mungkin ada aktivitas penghindaran pajak oleh orang kaya. Semakin tinggi penghasilan seseorang, akan semakin tinggi tarif pajak yang dikenakan. Pada 2013 di Amerika Serikat, tarif pajak bagi orang kaya mencapai 39,6 persen. Ke depan, tarif pajak itu akan semakin tinggi seiring dengan program Presiden Barack Obama untuk meningkatkan pajak orang kaya. Selain itu, beragam variasi sumber penghasilan yang sepenuhnya di bawah kontrol mereka dan keterkaitan lintas negara menyebabkan peluang untuk menghindari pajak semakin besar lagi. Belum lagi, hasrat menghindari pajak juga didorong oleh iming-iming bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk membayar konsultan keuangan andal.

Faktor terakhir yang menjadi pertimbangan adalah tersedianya skema khusus untuk meningkatkan kepatuhan pajak orang kaya. Sudah mafhum, orang kaya bak selebriti yang menarik perhatian media apabila ada ”serangan” pajak. Yang harus dilakukan oleh otoritas pajak adalah meyakinkan publik bahwa sistem perpajakan sudah adil dan menyiapkan strategi peningkatan kepatuhan khusus bagi mereka. Strategi tersebut dapat berupa pertukaran informasi antarnegara. Sebab, disinyalir setiap tahun triliunan dolar pajak hilang oleh aktivitas penggelapan pajak lintas negara seperti menyembunyikan penghasilan di negara-negara surga pajak (tax haven countries).

Kondisi Indonesia

Di Indonesia, dulu pernah dibentuk kantor pelayanan pajak (KPP) khusus orang kaya atau dikenal dengan KPP HWI. Namun, sejak 2013, KPP itu dilebur dengan KPP wajib pajak besar lainnya, yang di dalamnya juga mengelola badan usaha. Pemicu dibentuknya KPP HWI adalah geramnya mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani atas publikasi rutin majalah Forbes tentang orang-orang kaya di Indonesia. Orang kaya Indonesia selalu bertengger di urutan atas daftar orang kaya Asia maupun dunia yang dikeluarkan majalah tersebut. Kemudian, sejak 1 April 2009 dibentuklah KPP HWI dengan jumlah wajib pajak 1.200 orang. Wajib pajak yang ada di KPP HWI adalah wajib pajak yang memiliki total kekayaan (aset) di atas USD 1 juta atau Rp 10 miliar.

Setelah berjalan hampir lima tahun, belum ada kontribusi berupa meningkatnya penerimaan pajak yang signifikan dari wajib pajak orang kaya tersebut. Hal itu terlihat dari sumbangan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi yang dibayar sendiri tahun 2013, yang hanya mencapai Rp 4,3 triliun atau 0,4 persen dari total penerimaan pajak 2013. Padahal, menurut hitungan Ditjen Pajak, potensi penerimaan pajak orang pribadi sangat besar. Termasuk di dalamnya potensi penerimaan pajak dari orang kaya.

Data yang dirilis BPS (2013) menunjukkan, dari sekitar 110,8 juta orang yang bekerja, baru 24,13 juta orang atau 21,7 persen yang terdaftar sebagai wajib pajak. Selanjutnya, dari jumlah wajib pajak terdaftar tersebut, yang membayar pajak hanya 670 ribu wajib pajak atau 2,7 persennya. Ironisnya, lebih dari 586 ribu wajib pajak yang membayar tersebut atau sekitar 87,5 persennya membayar pajak kurang dari Rp 100 juta setahun atau hanya Rp 8,3 juta sebulan. Padahal, apabila dibandingkan dengan data eksternal yang ada, terdeteksi masih banyak yang belum bayar pajak padahal mampu. Hasil riset Standard Chartered menyatakan, jumlah orang Indonesia dengan penghasilan di atas Rp 200 juta sampai Rp 400 juta dapat mencapai 4 juta penduduk. Belum lagi, diperkirakan jumlah pemilik kekayaan bersih di atas Rp 9 miliar bisa mencapai 60 ribu penduduk.

Ada tiga hal yang dapat menjadi sumber data atau informasi untuk menggali potensi pajak orang kaya, yaitu jenis penghasilan, jenis asset, dan lingkungan pergaulan. Orang kaya sudah menghindari menerima penghasilan dalam bentuk gaji atau bonus. Mereka cenderung menerima penghasilan dalam bentuk tersamar seperti kenikmatan (fasilitas) atau natura dan dividen. Demikian juga kepemilikan aset, sudah beralih dari bentuk fisik seperti rumah dan mobil mewah menjadi kepemilikan saham atau benda-benda seni tinggi. Informasi mengenai gaya hidup dan pergaulan orang kaya dapat juga digunakan untuk memperkirakan jumlah penghasilan atau kekayaannya. Sebab, untuk menjadi anggota salah satu klub olahraga prestise, iuran keanggotaannya sangat mahal.

Sesuai dengan prinsip keadilan dalam memungut pajak, seharusnya orang kaya membayar pajak lebih besar daripada orang miskin. Tetapi, sering terjadi, ada orang kaya yang menyembunyikan kekayaannya sehingga tidak membayar pajak. Mereka itu seharusnya malu menjadi warga negara Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar