Mengejar
Pajak Orang Kaya
Chandra Budi ; Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus
Pascasarjana IPB
|
JAWA
POS, 08 Oktober 2014
PEMERINTAH
dan DPR telah menetapkan target penerimaan pajak dalam APBN 2015 sebesar Rp
1.201 triliun atau naik 12 persen dari target pajak dalam APBNP 2014 yang
sebesar Rp 1.072,38 triliun. Apabila dibandingkan dengan prediksi realisasi
penerimaan pajak tahun ini, sekitar Rp 1.000 triliun, dalam APBN 2015 akan ada
kenaikan target pajak sekitar Rp 201 triliun atau 20 persen. Berkaca pada
realisasi capaian penerimaan pajak tiga tahun terakhir, target pajak 2015
hampir dapat dikatakan mustahil tercapai kalau tidak ada upaya luar biasa (extraordinary). Salah satu upaya luar
biasa tersebut adalah menambah penerimaan pajak yang berasal dari orang
pribadi, khususnya wajib pajak orang kaya atau high wealth individual (HWI).
Lantas, bagaimana tantangan untuk mewujudkannya?
Menurut
OECD (2009), ada empat faktor yang harus diperhatikan dalam menggali potensi
pajak orang kaya. Empat faktor tersebut adalah kompleksitas sumber
penghasilan, tingginya kontribusi penerimaan pajak, adanya peluang untuk
melakukan penghindaran pajak, dan adanya skema khusus untuk meningkatkan
kepatuhan pajak orang kaya.
Faktor
pertama, yaitu kompleksitas sumber penghasilan, terjadi karena orang kaya
sering memperoleh penghasilan dari berbagai sumber. Tidak jarang juga sumber
penghasilannya berasal dari luar negeri, di mana pengenaan pajaknya terikat
dengan aturan-aturan internasional seperti perjanjian penghindaran pajak
berganda (P3B) atau tax treaties.
Faktor
kedua, yaitu besarnya kontribusi penerimaan pajak yang berasal dari orang
kaya, akan menyebabkan gagalnya pencapaian target pajak apabila orang kaya
itu meninggalkan wilayah yurisdiksi pemajakan suatu negara. Hal itu terjadi
karena peran penerimaan pajak orang kaya tersebut di beberapa negara sangat
signifikan. Di Inggris Raya, pajak orang kaya berkontribusi 17 persen dari
total pajak penghasilan. Bahkan, di Amerika Serikat, kontribusinya dapat
mencapai 40 persen dari total pajak penghasilan di wilayah federal.
Negara-negara itu melihat ada risiko gagalnya penerimaan pajak apabila orang
kaya meninggalkan wilayah yurisdiksi pemajakannya. Sebab, basis pengenaan
pajak adalah tempat tinggal (resident),
bukan berdasar kewarganegaraan (citizenship).
Artinya, mereka akan dikenai pajak di tempat mereka tinggal walaupun
penghasilannya bersumber dari negara-negara lain.
Faktor
ketiga, sangat mungkin ada aktivitas penghindaran pajak oleh orang kaya.
Semakin tinggi penghasilan seseorang, akan semakin tinggi tarif pajak yang
dikenakan. Pada 2013 di Amerika Serikat, tarif pajak bagi orang kaya mencapai
39,6 persen. Ke depan, tarif pajak itu akan semakin tinggi seiring dengan
program Presiden Barack Obama untuk meningkatkan pajak orang kaya. Selain
itu, beragam variasi sumber penghasilan yang sepenuhnya di bawah kontrol
mereka dan keterkaitan lintas negara menyebabkan peluang untuk menghindari
pajak semakin besar lagi. Belum lagi, hasrat menghindari pajak juga didorong
oleh iming-iming bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar daripada
biaya yang dikeluarkan untuk membayar konsultan keuangan andal.
Faktor
terakhir yang menjadi pertimbangan adalah tersedianya skema khusus untuk
meningkatkan kepatuhan pajak orang kaya. Sudah mafhum, orang kaya bak
selebriti yang menarik perhatian media apabila ada ”serangan” pajak. Yang
harus dilakukan oleh otoritas pajak adalah meyakinkan publik bahwa sistem
perpajakan sudah adil dan menyiapkan strategi peningkatan kepatuhan khusus
bagi mereka. Strategi tersebut dapat berupa pertukaran informasi antarnegara.
Sebab, disinyalir setiap tahun triliunan dolar pajak hilang oleh aktivitas
penggelapan pajak lintas negara seperti menyembunyikan penghasilan di
negara-negara surga pajak (tax haven countries).
Kondisi Indonesia
Di
Indonesia, dulu pernah dibentuk kantor pelayanan pajak (KPP) khusus orang
kaya atau dikenal dengan KPP HWI. Namun, sejak 2013, KPP itu dilebur dengan
KPP wajib pajak besar lainnya, yang di dalamnya juga mengelola badan usaha.
Pemicu dibentuknya KPP HWI adalah geramnya mantan Menteri Keuangan Sri
Mulyani atas publikasi rutin majalah Forbes tentang orang-orang kaya di
Indonesia. Orang kaya Indonesia selalu bertengger di urutan atas daftar orang
kaya Asia maupun dunia yang dikeluarkan majalah tersebut. Kemudian, sejak 1
April 2009 dibentuklah KPP HWI dengan jumlah wajib pajak 1.200 orang. Wajib
pajak yang ada di KPP HWI adalah wajib pajak yang memiliki total kekayaan
(aset) di atas USD 1 juta atau Rp 10 miliar.
Setelah
berjalan hampir lima tahun, belum ada kontribusi berupa meningkatnya
penerimaan pajak yang signifikan dari wajib pajak orang kaya tersebut. Hal
itu terlihat dari sumbangan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi yang
dibayar sendiri tahun 2013, yang hanya mencapai Rp 4,3 triliun atau 0,4
persen dari total penerimaan pajak 2013. Padahal, menurut hitungan Ditjen
Pajak, potensi penerimaan pajak orang pribadi sangat besar. Termasuk di
dalamnya potensi penerimaan pajak dari orang kaya.
Data
yang dirilis BPS (2013) menunjukkan, dari sekitar 110,8 juta orang yang
bekerja, baru 24,13 juta orang atau 21,7 persen yang terdaftar sebagai wajib
pajak. Selanjutnya, dari jumlah wajib pajak terdaftar tersebut, yang membayar
pajak hanya 670 ribu wajib pajak atau 2,7 persennya. Ironisnya, lebih dari
586 ribu wajib pajak yang membayar tersebut atau sekitar 87,5 persennya
membayar pajak kurang dari Rp 100 juta setahun atau hanya Rp 8,3 juta
sebulan. Padahal, apabila dibandingkan dengan data eksternal yang ada,
terdeteksi masih banyak yang belum bayar pajak padahal mampu. Hasil riset
Standard Chartered menyatakan, jumlah orang Indonesia dengan penghasilan di
atas Rp 200 juta sampai Rp 400 juta dapat mencapai 4 juta penduduk. Belum
lagi, diperkirakan jumlah pemilik kekayaan bersih di atas Rp 9 miliar bisa
mencapai 60 ribu penduduk.
Ada tiga
hal yang dapat menjadi sumber data atau informasi untuk menggali potensi
pajak orang kaya, yaitu jenis penghasilan, jenis asset, dan lingkungan
pergaulan. Orang kaya sudah menghindari menerima penghasilan dalam bentuk
gaji atau bonus. Mereka cenderung menerima penghasilan dalam bentuk tersamar
seperti kenikmatan (fasilitas) atau natura dan dividen. Demikian juga
kepemilikan aset, sudah beralih dari bentuk fisik seperti rumah dan mobil
mewah menjadi kepemilikan saham atau benda-benda seni tinggi. Informasi
mengenai gaya hidup dan pergaulan orang kaya dapat juga digunakan untuk
memperkirakan jumlah penghasilan atau kekayaannya. Sebab, untuk menjadi
anggota salah satu klub olahraga prestise, iuran keanggotaannya sangat mahal.
Sesuai dengan prinsip keadilan dalam memungut pajak, seharusnya orang kaya membayar pajak lebih besar
daripada orang miskin. Tetapi, sering terjadi, ada orang kaya yang menyembunyikan
kekayaannya sehingga tidak membayar pajak. Mereka itu seharusnya malu menjadi
warga negara Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar