Mahabharata
dan Kemenangan Female Gaze
Esty D Imaniar ; Junior Researcher on Gender and Media
Studies UNS Solo,
Ketua Komunitas Literasi Soto Babat Soloraya
|
JAWA
POS, 08 Oktober 2014
MINGGU
lalu (5/10) Pulau Dewata Bali dipenuhi histeria pertemuan kaum hawa Nusantara
dengan tujuh lelaki tampan yang ”diimpor”
dari India setelah dua hari sebelumnya Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
disesaki euforia serupa. Animo masyarakat pada acara TMII bertajuk Mahabharata Show itu terbukti dari
penjualan tiket seharga ratusan ribu rupiah yang cepat habis sekalipun acara
tersebut ditayangkan secara langsung. Bahkan, program ini menjadi yang paling
banyak ditonton di hari itu dengan share 20,6 (ABC) dan 21,3 (All) serta
berhasil menjadi trending topic
worldwide di Twitter.
Bagi
pihak stasiun TV pelaksana, animo luar biasa tersebut merefleksikan
kesuksesan mereka mendekatkan kisah-kisah epik kepada masyarakat. Menurut
mereka, Mahabharata adalah oase hiburan di antara jogetan slapstick dan drama
romansa. Ditayangkan selama prime time
di saat stasiun televisi (TV) lain menawarkan ragam sinetron, Mahabharata
tepat menjerat para perempuan Indonesia.
Namun,
alih-alih berbincang tentang kebijakan hidup yang menginspirasi, para
penggila Mahabharata nyatanya memiliki alasan lain di balik kerelaannya
menyaksikan estafet berjam-jam drama India demi mendapati 15 menit sisipan
Mahabharata setiap harinya. Testimoni perempuan-perempuan itu ternyata sangat
manusiawi: aktornya ganteng dan tubuhnya bagus. Bahkan, kekaguman pada
tokoh-tokoh Mahabharata tidak lagi didasari pertimbangan karakter good and evil yang dibawa dalam drama
kebenaran melawan kejahatan tersebut. Karena bahkan Duryodhana mampu
memproduksi teriakan fans sama kencangnya dengan Arjuna. Tidak seperti
karakter antagonis laki-laki pada umumnya, yang seketika dibenci penonton
perempuan saat menyakiti karakter protagonis, setampan apa pun dia.
Voyeurisme Visual dalam Female
Gaze
Teriakan
para fans yang tidak segan menyuarakan gairah mereka pada wajah dan tubuh
aktor Mahabharata tersebut memberi warna lain dalam media massa kita. Sebagai
bagian dari budaya populer yang sering melanjutkan kejayaan patriarki, media
kerap berfungsi dalam male gaze. Dalam teori film, Laura Mulvey (1992)
menjelaskan gaze sebagai cara penonton memandang citra seseorang pada medium
visual apa pun serta pandangan yang digambarkan teks visual tersebut. Hampir
dalam seluruh representasi media, laki-laki lebih banyak diposisikan
memandang, sedangkan perempuan menjadi objek pandangan. Laki-laki adalah
pihak pengontrol pandangan dengan perempuan sebagai objek yang dikontrol,
tepatnya objek seksual laki-laki.
Melalui
beberapa karya sastra dan perfilman kontemporer, beberapa seniman perempuan
Indonesia mulai menyuarakan pemberontakan mereka terhadap objektivikasi
seksual tersebut. Mengamini kritik terhadap teori gaze Mulvey, mereka mulai
menyuarakan hak fantasi visual perempuan sebagai pengontrol pandangan melalui
female gaze. Namun, pasar karya mereka sering kali masih terbatas pada
kelompok pemerhati gender.
Sementara
itu, kehadiran Mahabharata sebagai serial TV yang mengakomodasi female gaze
tampak begitu revolusioner. Pada kelompok dengan budaya literasi rendah,
acara TV sangat dekat dengan masyarakat, menjadikan representasi yang
disuguhkannya tidak boleh bertentangan dengan nilai setempat. Dalam budaya
Indonesia yang patriarki sekaligus seksis, perempuan dalam acara TV selama
ini hanya berfungsi sebagai pemanis pandangan laki-laki. Sebagai penonton
pun, perempuan tidak dapat dengan leluasa ”menikmati” tontonan sebagaimana
laki-laki menikmatinya. Nilai dalam masyarakat kita selama ini mengajarkan
bahwa perempuan adalah objek, bukan subjek. Maka, adalah tabu bagi seorang
perempuan memiliki fantasi visual terhadap laki-laki dalam tontonan TV.
Perempuan itu dibayangkan, bukan membayangkan.
Lagi-Lagi Kemenangan Semu
Euforia
Mahabharata menjadi simbol pemberontakan perempuan Indonesia yang mulai
berani menentang aturan ”tatapan” tersebut dengan memiliki kontrol pandang
penuh. Secara visual, aktor Mahabharata memenuhi prasyarat tipikal
maskulinitas: tubuh kuat, berotot, dan gagah perkasa. Dengan setting cerita
kolosal, penggunaan kostum yang mengeksplorasi tubuh laki-laki pun dapat
dengan mudah memuaskan female gaze. Bahkan, dalam show-nya, sajian
dokumentasi hanya berfokus pada informasi perubahan bentuk tubuh para aktor
yang tidak pernah sepi dari teriakan. Gegap gempita Mahabharata Show seolah
menggemakan kemerdekaan tatapan baru perempuan dalam media. Namun, apakah
perempuan Indonesia benar-benar sudah menang atas media?
Nyatanya
tidak. Sekalipun tampak leluasa menikmati female gaze mereka melalui budaya
massa sekaligus populer itu, perempuan masih menjadi korban kapitalisme
media. Jika dulu menjadi korban male
gaze dengan tawaran citraan ”perempuan ideal” dalam sinema untuk
diimitasi di kehidupan nyata, kini perempuan ditawari citraan ”maskulinitas
ideal” beserta segenap agenda euforianya. Eksplorasi tubuh laki-laki dalam
Mahabharata tidak sekadar memberikan fantasi visual bagi perempuan. Melalui
studinya, Young (dalam Wellard, 2009) menjelaskan bagaimana tubuh merupakan
komponen sentral dalam formulasi pemahaman maskulinitas bagi laki-laki, pun
bagaimana mereka dipandang sekelilingnya. Tubuh laki-laki juga merupakan
manifestasi identitas kekuatan maskulinitas mereka.
Melalui eksplorasi tubuh para aktor, laki-laki ”mengatur”
perempuan-perempuan yang terlena female gaze untuk kembali mengakomodasi male
gaze. Dengan euforia Mahabharata, perempuan-perempuan yang mabuk arak cinta
Pandawa-Kurawa rela menjelma menjadi putri-putri India. Rela mengantre
panjang, berdesakan, demi foto bersama bonus peluk cium para pangeran.
Bahkan, dalam program ekstensi euforia itu, mereka rela ”saling bunuh” demi
tertancap panah cinta Arjuna. Dalam kontestasi budaya populer seperti ini,
siapa yang dimenangkan? Sekali lagi, pasar kapitalis yang seksis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar