Kamis, 09 Oktober 2014

Mahabharata dan Kemenangan Female Gaze

Mahabharata dan Kemenangan Female Gaze

Esty D Imaniar  ;   Junior Researcher on Gender and Media Studies UNS Solo,
Ketua Komunitas Literasi Soto Babat Soloraya
JAWA POS,  08 Oktober 2014




MINGGU lalu (5/10) Pulau Dewata Bali dipenuhi histeria pertemuan kaum hawa Nusantara dengan tujuh lelaki tampan yang ”diimpor” dari India setelah dua hari sebelumnya Taman Mini Indonesia Indah (TMII) disesaki euforia serupa. Animo masyarakat pada acara TMII bertajuk Mahabharata Show itu terbukti dari penjualan tiket seharga ratusan ribu rupiah yang cepat habis sekalipun acara tersebut ditayangkan secara langsung. Bahkan, program ini menjadi yang paling banyak ditonton di hari itu dengan share 20,6 (ABC) dan 21,3 (All) serta berhasil menjadi trending topic worldwide di Twitter.

Bagi pihak stasiun TV pelaksana, animo luar biasa tersebut merefleksikan kesuksesan mereka mendekatkan kisah-kisah epik kepada masyarakat. Menurut mereka, Mahabharata adalah oase hiburan di antara jogetan slapstick dan drama romansa. Ditayangkan selama prime time di saat stasiun televisi (TV) lain menawarkan ragam sinetron, Mahabharata tepat menjerat para perempuan Indonesia.

Namun, alih-alih berbincang tentang kebijakan hidup yang menginspirasi, para penggila Mahabharata nyatanya memiliki alasan lain di balik kerelaannya menyaksikan estafet berjam-jam drama India demi mendapati 15 menit sisipan Mahabharata setiap harinya. Testimoni perempuan-perempuan itu ternyata sangat manusiawi: aktornya ganteng dan tubuhnya bagus. Bahkan, kekaguman pada tokoh-tokoh Mahabharata tidak lagi didasari pertimbangan karakter good and evil yang dibawa dalam drama kebenaran melawan kejahatan tersebut. Karena bahkan Duryodhana mampu memproduksi teriakan fans sama kencangnya dengan Arjuna. Tidak seperti karakter antagonis laki-laki pada umumnya, yang seketika dibenci penonton perempuan saat menyakiti karakter protagonis, setampan apa pun dia.

Voyeurisme Visual dalam Female Gaze

Teriakan para fans yang tidak segan menyuarakan gairah mereka pada wajah dan tubuh aktor Mahabharata tersebut memberi warna lain dalam media massa kita. Sebagai bagian dari budaya populer yang sering melanjutkan kejayaan patriarki, media kerap berfungsi dalam male gaze. Dalam teori film, Laura Mulvey (1992) menjelaskan gaze sebagai cara penonton memandang citra seseorang pada medium visual apa pun serta pandangan yang digambarkan teks visual tersebut. Hampir dalam seluruh representasi media, laki-laki lebih banyak diposisikan memandang, sedangkan perempuan menjadi objek pandangan. Laki-laki adalah pihak pengontrol pandangan dengan perempuan sebagai objek yang dikontrol, tepatnya objek seksual laki-laki.

Melalui beberapa karya sastra dan perfilman kontemporer, beberapa seniman perempuan Indonesia mulai menyuarakan pemberontakan mereka terhadap objektivikasi seksual tersebut. Mengamini kritik terhadap teori gaze Mulvey, mereka mulai menyuarakan hak fantasi visual perempuan sebagai pengontrol pandangan melalui female gaze. Namun, pasar karya mereka sering kali masih terbatas pada kelompok pemerhati gender.

Sementara itu, kehadiran Mahabharata sebagai serial TV yang mengakomodasi female gaze tampak begitu revolusioner. Pada kelompok dengan budaya literasi rendah, acara TV sangat dekat dengan masyarakat, menjadikan representasi yang disuguhkannya tidak boleh bertentangan dengan nilai setempat. Dalam budaya Indonesia yang patriarki sekaligus seksis, perempuan dalam acara TV selama ini hanya berfungsi sebagai pemanis pandangan laki-laki. Sebagai penonton pun, perempuan tidak dapat dengan leluasa ”menikmati” tontonan sebagaimana laki-laki menikmatinya. Nilai dalam masyarakat kita selama ini mengajarkan bahwa perempuan adalah objek, bukan subjek. Maka, adalah tabu bagi seorang perempuan memiliki fantasi visual terhadap laki-laki dalam tontonan TV. Perempuan itu dibayangkan, bukan membayangkan.

Lagi-Lagi Kemenangan Semu

Euforia Mahabharata menjadi simbol pemberontakan perempuan Indonesia yang mulai berani menentang aturan ”tatapan” tersebut dengan memiliki kontrol pandang penuh. Secara visual, aktor Mahabharata memenuhi prasyarat tipikal maskulinitas: tubuh kuat, berotot, dan gagah perkasa. Dengan setting cerita kolosal, penggunaan kostum yang mengeksplorasi tubuh laki-laki pun dapat dengan mudah memuaskan female gaze. Bahkan, dalam show-nya, sajian dokumentasi hanya berfokus pada informasi perubahan bentuk tubuh para aktor yang tidak pernah sepi dari teriakan. Gegap gempita Mahabharata Show seolah menggemakan kemerdekaan tatapan baru perempuan dalam media. Namun, apakah perempuan Indonesia benar-benar sudah menang atas media?

Nyatanya tidak. Sekalipun tampak leluasa menikmati female gaze mereka melalui budaya massa sekaligus populer itu, perempuan masih menjadi korban kapitalisme media. Jika dulu menjadi korban male gaze dengan tawaran citraan ”perempuan ideal” dalam sinema untuk diimitasi di kehidupan nyata, kini perempuan ditawari citraan ”maskulinitas ideal” beserta segenap agenda euforianya. Eksplorasi tubuh laki-laki dalam Mahabharata tidak sekadar memberikan fantasi visual bagi perempuan. Melalui studinya, Young (dalam Wellard, 2009) menjelaskan bagaimana tubuh merupakan komponen sentral dalam formulasi pemahaman maskulinitas bagi laki-laki, pun bagaimana mereka dipandang sekelilingnya. Tubuh laki-laki juga merupakan manifestasi identitas kekuatan maskulinitas mereka.

Melalui eksplorasi tubuh para aktor, laki-laki ”mengatur” perempuan-perempuan yang terlena female gaze untuk kembali mengakomodasi male gaze. Dengan euforia Mahabharata, perempuan-perempuan yang mabuk arak cinta Pandawa-Kurawa rela menjelma menjadi putri-putri India. Rela mengantre panjang, berdesakan, demi foto bersama bonus peluk cium para pangeran. Bahkan, dalam program ekstensi euforia itu, mereka rela ”saling bunuh” demi tertancap panah cinta Arjuna. Dalam kontestasi budaya populer seperti ini, siapa yang dimenangkan? Sekali lagi, pasar kapitalis yang seksis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar