Kamis, 09 Oktober 2014

Dimensi Riil Demokrasi

Dimensi Riil Demokrasi

Wasisto Raharjo Jati  ;   Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
SINAR HARAPAN,  07 Oktober 2014




Pembahasan mengenai polemik Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) sebenarnya sudah sangat menghabiskan banyak energi publik. Hal ini karena munculnya dikotomi yang menghasilkan pembilahan antara kelompok yang pro dengan pilkada langsung maupun juga kelompok yang pro dengan pilkada melalui DPRD.  

Bisa disimak bahwa pembentukan kedua kubu tersebut sebenarnya lebih mengarah ke isu elite yang kemudian diikuti massa masing-masing. Kontestasi terhadap dua kubu itulah yang kemudian menjenuhkan dan mengambil banyak energi publik untuk menyimaknya.   Demokrasi bukanlah soal pemilu langsung atau tidak langsung. Dalam nalar publik, demokrasi lebih diutamakan dalam upaya pemenuhan perut yang lapar ketimbang harus beridealis secara dialektis.  

Meskipun ada beberapa elemen kelas menengah yang mendukung salah satu dari dua pilihan tersebut, hal itu hanya berlaku di wilayah urban. Sementara itu, masyarakat wilayah rural tidak terlalu memedulikan pilkada baiknya langsung maupun tidak langsung. Secara garis besar, demokrasi sebagai mekanisme penyelenggaraan sistem politik tidaklah harus mendaraskan diri kepada bentuk pemilu sebagai esensi utama.   Jika kembali ke pemaknaan, demokrasi secara riil sebenarnya terletak kepada upaya rakyat berkuasa melalui wakil yang ditunjuk. Pemosisian rakyat sebagai demos inilah yang kemudian menjadikan rakyat sebagai determinan utama dalam menentukan calon pemilih yang layak.  

Hal tersebut kemudian berkembang seiring bertambahnya jumlah populasi penduduk. Dari sana, dibentuklah demokrasi perwakilan untuk memenuhi semua pilihan publik agar terafirmasi dan terlegitimasi. Sistem perwalian untuk melegitimasi suksesi kepemimpinan kemudian dibentuk.   Kasus polemik pilkada di Indonesia menarik dikaji lebih lanjut, mengenai debat kusir perihal suksesi kepemimpinan daerah. Dua hal tersebut memiliki plus dan minus masing-masing untuk bisa ditelaah dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.  

Dampak

Mekanisme pilkada langsung bisa dilihat dari keterikatan emosional pemilih dengan kandidat. Itu juga merupakan bentuk mediasi saluran partisipatorisme publik dalam demokrasi. Munculnya pemimpin transformatif di berbagai daerah pun merupakan dampak positif pilkada langsung, meskipun hasilnya belum banyak diterima publik secara diseminatif. Ekses negatifnya adalah munculnya politik uang semakin merajalela, juga munculnya politik dinasti yang marak.  

Namun jika kembali pada mekanisme pilkada tidak langsung, benefit politik yang ada adalah menekannya biaya penyelenggaraan pilkada, yang lebih kurang kemudian dapat mencapai setengahnya. Hal lain yang bisa dipetik adalah berkurangnya politik uang di tingkat masyarakat karena semua telah diserahkan ke mekanisme DPRD.   Hal yang menjadi masalah adalah apakah mekanisme tersebut mematikan partisipasi publik secara diseminatif dan komprehensif. Plus dan minus inilah yang menghasilkan adu otot dan otak dalam mengadu masing-masing idealisme menjadi yang terpilih untuk menjadi yang terbaik.  

Kontestasi keduanya kemudian merembet ke arena publik yang pada akhirnya menghasilkan kejenuhan publik. Kejenuhan politik yang dialami publik berkulminasi kepada kebosanan politik pada era mutakhir ini.  

Demokrasi sebagai bentuk pilihan politik tidaklah mesti berpaku ke pilihan politik dalam suksesi. Hal penting bagi saya dalam memahami demokrasi adalah lebih mengarahkan ke penyejahteraan publik secara lebih adil dan proporsional.  

Demokrasi yang menyejahterakan itulah yang menjadi nucleus utama yang perlu dibahas. Rakyat sudah jengah kepada eksperimentasi demokrasi sebagai hasil konsensus Reformasi yang belum berimplikasi meluas di mata masyarakat karena senantiasa terjebak kepada kepentingan oligarki.   Oleh karena itu, pilihan dan bentuk demokrasi yang kini diimplementasikan masihlah belum menemui bentuk final. Salah satunya dengan ada upaya mengembalikan menjadi pilihan tidak langsung. Itu bagian konstelasi demokrasi.   Demokrasi perlu ditempatkan dan diseleraskan dalam sistem politik dan pendukung sistem ekonomi yang ada. Apalah arti membanggakan demokrasi sebagai pilihan politik jika ekonomi maupun kesejahteraan publik belumlah diurus maksimal dan menyeluruh. Demokrasi pada akhirnya tidak mencapai kata seia sekata dalam mewujudkan kesejahteraan yang menjadi lebih baik bagi masyarakat.   Jadi, yang terpenting dalam memperbincangkan masalah demokrasi adalah pewujudan kesejahteraan menjadi entitas an sich yang perlu segera diwujudkan segera, bukan mengulang proses debat kusir pemaknaan demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar