Dimensi
Riil Demokrasi
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik
LIPI
|
SINAR
HARAPAN, 07 Oktober 2014
Pembahasan
mengenai polemik Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada)
sebenarnya sudah sangat menghabiskan banyak energi publik. Hal ini karena
munculnya dikotomi yang menghasilkan pembilahan antara kelompok yang pro
dengan pilkada langsung maupun juga kelompok yang pro dengan pilkada melalui
DPRD.
Bisa
disimak bahwa pembentukan kedua kubu tersebut sebenarnya lebih mengarah ke
isu elite yang kemudian diikuti massa masing-masing. Kontestasi terhadap dua
kubu itulah yang kemudian menjenuhkan dan mengambil banyak energi publik
untuk menyimaknya. Demokrasi bukanlah
soal pemilu langsung atau tidak langsung. Dalam nalar publik, demokrasi lebih
diutamakan dalam upaya pemenuhan perut yang lapar ketimbang harus beridealis
secara dialektis.
Meskipun
ada beberapa elemen kelas menengah yang mendukung salah satu dari dua pilihan
tersebut, hal itu hanya berlaku di wilayah urban. Sementara itu, masyarakat
wilayah rural tidak terlalu memedulikan pilkada baiknya langsung maupun tidak
langsung. Secara garis besar, demokrasi sebagai mekanisme penyelenggaraan
sistem politik tidaklah harus mendaraskan diri kepada bentuk pemilu sebagai
esensi utama. Jika kembali ke
pemaknaan, demokrasi secara riil sebenarnya terletak kepada upaya rakyat
berkuasa melalui wakil yang ditunjuk. Pemosisian rakyat sebagai demos inilah yang kemudian menjadikan
rakyat sebagai determinan utama dalam menentukan calon pemilih yang
layak.
Hal
tersebut kemudian berkembang seiring bertambahnya jumlah populasi penduduk.
Dari sana, dibentuklah demokrasi perwakilan untuk memenuhi semua pilihan publik
agar terafirmasi dan terlegitimasi. Sistem perwalian untuk melegitimasi
suksesi kepemimpinan kemudian dibentuk.
Kasus polemik pilkada di Indonesia menarik dikaji lebih lanjut,
mengenai debat kusir perihal suksesi kepemimpinan daerah. Dua hal tersebut
memiliki plus dan minus masing-masing untuk bisa ditelaah dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dampak
Mekanisme
pilkada langsung bisa dilihat dari keterikatan emosional pemilih dengan
kandidat. Itu juga merupakan bentuk mediasi saluran partisipatorisme publik
dalam demokrasi. Munculnya pemimpin transformatif di berbagai daerah pun
merupakan dampak positif pilkada langsung, meskipun hasilnya belum banyak
diterima publik secara diseminatif. Ekses negatifnya adalah munculnya politik
uang semakin merajalela, juga munculnya politik dinasti yang marak.
Namun
jika kembali pada mekanisme pilkada tidak langsung, benefit politik yang ada
adalah menekannya biaya penyelenggaraan pilkada, yang lebih kurang kemudian
dapat mencapai setengahnya. Hal lain yang bisa dipetik adalah berkurangnya
politik uang di tingkat masyarakat karena semua telah diserahkan ke mekanisme
DPRD. Hal yang menjadi masalah adalah
apakah mekanisme tersebut mematikan partisipasi publik secara diseminatif dan
komprehensif. Plus dan minus inilah yang menghasilkan adu otot dan otak dalam
mengadu masing-masing idealisme menjadi yang terpilih untuk menjadi yang
terbaik.
Kontestasi
keduanya kemudian merembet ke arena publik yang pada akhirnya menghasilkan
kejenuhan publik. Kejenuhan politik yang dialami publik berkulminasi kepada
kebosanan politik pada era mutakhir ini.
Demokrasi
sebagai bentuk pilihan politik tidaklah mesti berpaku ke pilihan politik
dalam suksesi. Hal penting bagi saya dalam memahami demokrasi adalah lebih
mengarahkan ke penyejahteraan publik secara lebih adil dan proporsional.
Demokrasi yang menyejahterakan itulah yang menjadi nucleus utama yang
perlu dibahas. Rakyat sudah jengah kepada eksperimentasi demokrasi sebagai
hasil konsensus Reformasi yang belum berimplikasi meluas di mata masyarakat
karena senantiasa terjebak kepada kepentingan oligarki. Oleh karena itu, pilihan dan bentuk
demokrasi yang kini diimplementasikan masihlah belum menemui bentuk final.
Salah satunya dengan ada upaya mengembalikan menjadi pilihan tidak langsung.
Itu bagian konstelasi demokrasi.
Demokrasi perlu ditempatkan dan diseleraskan dalam sistem politik dan
pendukung sistem ekonomi yang ada. Apalah arti membanggakan demokrasi sebagai
pilihan politik jika ekonomi maupun kesejahteraan publik belumlah diurus
maksimal dan menyeluruh. Demokrasi pada akhirnya tidak mencapai kata seia
sekata dalam mewujudkan kesejahteraan yang menjadi lebih baik bagi
masyarakat. Jadi, yang terpenting
dalam memperbincangkan masalah demokrasi adalah pewujudan kesejahteraan
menjadi entitas an sich yang perlu segera diwujudkan segera, bukan mengulang
proses debat kusir pemaknaan demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar