Jumat, 10 Oktober 2014

Mendefinisikan Keadaan Darurat

Mendefinisikan Keadaan Darurat 

Awaludin Marwan  ;   PhD candidate Utrecht School of Law, Belanda;
Peneliti Satjipto Rahardjo Institute
JAWA POS,  09 Oktober 2014




SETELAH terbitnya Perppu Pilkada dan Pemda, krisis hukum pun masih berkecamuk. Perppu bisa dibuat ketika terjadi keadaan darurat. Keadaan darurat dalam terminologi filsafat hukum diartikan lebih fundamental. Georgio Agamben (2005) menyatakan, keadaan darurat adalah menerjemahkan nurani rakyat yang tidak tersentuh (untouchable) dan keterdesakan sang penguasa oleh nilai-nilai yang mengitarinya yang akhirnya menyambungkan pilihan politik warga pada sebuah norma yuridis (giuridicamente normate).

Nah, apakah Perppu Pilkada dan Pemda tersebut sudah memenuhi kriteria yang dirumuskan Agamben? Keadaan darurat yang dipakai perppu itu hanya mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/ PUU-VII/ 2009. Putusan tersebut pun tidak memiliki catatan kaki yang mendasar secara literasi ilmiah. Meski demikian, perppu tersebut patut diapresiasi sebagai sebuah fundamen menerjemahkan keinginan rakyat. Rakyat mungkin sudah jenuh dengan sandiwara politik para elite.

Saat demokrasi dan hak politik hampir tergadaikan, keputusan akan keadaan darurat menjadi langkah penyelamatan terhadap tirani kelompok elite mayoritas. Dari sinilah Agamben melukiskan keadaan darurat sebagai sebuah titik ketidakseimbangan antara hukum publik dan fakta politik.

Meminjam bahasa Prof Satjipto Rahardjo, hukum publik itu harus membahagiakan rakyatnya. Sebab, hukum adalah cermin kegelisahan sosial. Kali ini kondisinya tidak sesuai dengan fakta politik, yakni parlemen memasang barikade bumi hangus.

Keadaan darurat yang dirumuskan oleh putusan MK perlu diuraikan lebih lanjut. Bukan hanya kebutuhan mendesak, kekosongan hukum, dan kecepatan kepastian hukum. Perlu diuraikan pula sentuhan sosiologis dan teologisnya sebagai catatan perbaikan untuk peraturan pembentukan undang-undang pada masa mendatang.

Georgio Agamben adalah seorang filsuf hukum Italia yang menulis keadaan darurat, State of Exception (2005). Rujukan, refleksi, dan uraian tentang keadaan darurat cukup kaya dalam sebuah buku yang lumayan tipis. Oleh Agamben, keadaan darurat diformulasikan dalam beberapa kategori. Mulai keadaan darurat yang paling ekstrem sampai yang paling halus.

Sejarah keadaan darurat dimulai pada 27 Agustus 1797 melalui keputusan hukum Napoleon état siègé de siege politique tentang keamanan negara. Bahkan, dalam konteks tersebut, keadaan darurat diterjemahkan sampai menanggalkan konstitusi. Sejak saat itulah keadaan darurat dipakai rujukan dalam negara hukum untuk mendeklarasikan sebuah perang.

Agamben menggambarkan, keadaan darurat tersebut sudah merambah menjadi paradigma penguasa. Baik penguasa yang fasis seperti Hitler dengan Nazi-nya maupun penguasa demokratis Amerika yang menggunakan media untuk perang melawan terorisme dan Taliban. Meski, kita bisa mengatakan bahwa perppu tersebut adalah simbol perlawanan terhadap kekanak-kanakan parlemen.

Legalitas Minus Legitimasi

Dalam keadaan darurat, Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pilkada dan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Pemda merupakan langkah legal yang punya legitimasi. Legitimasi tidak memiliki aras yuridis. Karena itu, ia adalah prinsip tidak tertulis (unwritten principle) yang hanya bisa digali penguasa yang mendengar keluhan rakyatnya. Pada fase ini, langkah SBY menggunakan dasar pasal 22 ayat 1 UUD 1945 patut diapresiasi.

Pasal 22 ayat 2 tentang persetujuan parlemen untuk mengundangkan perppu tersebut tetap saja menghantui perasaan keadilan rakyat. Parlemen memang mengeluarkan produk hukum yang legal, UU Pilkada dan UU Pemda, namun minus legitimasi. Saat parlemen menolak kembali perppu tersebut, dunia hukum kita akan terjebak dalam labirin demokrasi liberal minus akal sehat pula.

Carl Schmitt, tokoh yang banyak menginspirasi Agamben, mengemukakan, legalitas diperoleh dari produk keluar otoritas legislasi. Namun, legitimasi diperoleh dari kepercayaan rakyat banyak (volonté généralé). Dalam bukunya yang terkenal, Legality and Legitimacy (1935), Schmitt sudah memprediksi bahwa suatu saat perilaku parlemen dalam era demokrasi liberal dipenuhi barbarianisme. Hasil kerja parlemen itu nirlegitimasi.

Agamben, merujuk pada Schmitt, menyatakan, keadaan darurat adalah langkah untuk mengeliminasi hiperliberalisasi politik yang berlebihan. Dari sinilah produk hukum yang dikeluarkan parlemen memiliki bentuk, namun dengan jiwa yang kosong.

Kekosongan jiwa itulah yang disebut Agamben sebagai bentuk kekosongan hukum (necessitas legem non habet). Pada diri penguasa yang responsif, kekosongan hukum tersebut akan diikuti kebutuhan untuk membuat norma hukum baru. Dengan menetapkan keadaan darurat, penguasa terdesak kebutuhan untuk membuat hukum (necéssité fait loi).

Perppu Pilkada dan Pemda secara materi dan substansi diterima masyarakat. Ia memperoleh legitimasi dengan mengaktivasi demokrasi dan hak politik warga yang nyaris raib itu. Akal sehat mendapatkan kediamannya kembali.

Schmitt menguraikan, legitimasi juga diperoleh dari sebuah proses supremasi rasionalitas (ratione supremitatis). Proses pembentukan UU Pilkada dan Pemda ditengarai lebih banyak bermuatan faktor emosionalitas ketimbang rasionalitasnya. Juga, membangun sebuah pemandangan debat kusir yang mengiris rasa malu publik.

Perpu Pilkada dan Pemda sudah mengandung substansi tentang rasionalitas, yakni mendukung pilkada langsung dan perbaikan sistemnya. Tidak semua tradisi dalam sejarah pilkada menuai cerita indah. Menambal sisi kelam pilkada langsung dengan uji publik calon, penghematan anggaran, pembatasan kampanye terbuka, akuntabilitas dana kampanye, larangan politik uang, dan seterusnya merupakan jalan pulang menyusuri akal sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar