Mendefinisikan
Keadaan Darurat
Awaludin Marwan ; PhD candidate Utrecht School of Law,
Belanda;
Peneliti Satjipto Rahardjo Institute
|
JAWA
POS, 09 Oktober 2014
SETELAH
terbitnya Perppu Pilkada dan Pemda, krisis hukum pun masih berkecamuk. Perppu
bisa dibuat ketika terjadi keadaan darurat. Keadaan darurat dalam terminologi
filsafat hukum diartikan lebih fundamental. Georgio Agamben (2005)
menyatakan, keadaan darurat adalah menerjemahkan nurani rakyat yang tidak
tersentuh (untouchable) dan
keterdesakan sang penguasa oleh nilai-nilai yang mengitarinya yang akhirnya
menyambungkan pilihan politik warga pada sebuah norma yuridis (giuridicamente normate).
Nah,
apakah Perppu Pilkada dan Pemda tersebut sudah memenuhi kriteria yang
dirumuskan Agamben? Keadaan darurat yang dipakai perppu itu hanya mengacu
pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/ PUU-VII/ 2009. Putusan
tersebut pun tidak memiliki catatan kaki yang mendasar secara literasi
ilmiah. Meski demikian, perppu tersebut patut diapresiasi sebagai sebuah
fundamen menerjemahkan keinginan rakyat. Rakyat mungkin sudah jenuh dengan
sandiwara politik para elite.
Saat
demokrasi dan hak politik hampir tergadaikan, keputusan akan keadaan darurat
menjadi langkah penyelamatan terhadap tirani kelompok elite mayoritas. Dari
sinilah Agamben melukiskan keadaan darurat sebagai sebuah titik
ketidakseimbangan antara hukum publik dan fakta politik.
Meminjam
bahasa Prof Satjipto Rahardjo, hukum publik itu harus membahagiakan
rakyatnya. Sebab, hukum adalah cermin kegelisahan sosial. Kali ini kondisinya
tidak sesuai dengan fakta politik, yakni parlemen memasang barikade bumi
hangus.
Keadaan
darurat yang dirumuskan oleh putusan MK perlu diuraikan lebih lanjut. Bukan
hanya kebutuhan mendesak, kekosongan hukum, dan kecepatan kepastian hukum.
Perlu diuraikan pula sentuhan sosiologis dan teologisnya sebagai catatan
perbaikan untuk peraturan pembentukan undang-undang pada masa mendatang.
Georgio
Agamben adalah seorang filsuf hukum Italia yang menulis keadaan darurat,
State of Exception (2005). Rujukan, refleksi, dan uraian tentang keadaan
darurat cukup kaya dalam sebuah buku yang lumayan tipis. Oleh Agamben,
keadaan darurat diformulasikan dalam beberapa kategori. Mulai keadaan darurat
yang paling ekstrem sampai yang paling halus.
Sejarah
keadaan darurat dimulai pada 27 Agustus 1797 melalui keputusan hukum Napoleon
état siègé de siege politique tentang keamanan negara. Bahkan, dalam konteks
tersebut, keadaan darurat diterjemahkan sampai menanggalkan konstitusi. Sejak
saat itulah keadaan darurat dipakai rujukan dalam negara hukum untuk
mendeklarasikan sebuah perang.
Agamben
menggambarkan, keadaan darurat tersebut sudah merambah menjadi paradigma
penguasa. Baik penguasa yang fasis seperti Hitler dengan Nazi-nya maupun
penguasa demokratis Amerika yang menggunakan media untuk perang melawan
terorisme dan Taliban. Meski, kita bisa mengatakan bahwa perppu tersebut
adalah simbol perlawanan terhadap kekanak-kanakan parlemen.
Legalitas Minus Legitimasi
Dalam
keadaan darurat, Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pilkada dan Perppu No 2 Tahun
2014 tentang Pemda merupakan langkah legal yang punya legitimasi. Legitimasi
tidak memiliki aras yuridis. Karena itu, ia adalah prinsip tidak tertulis (unwritten principle) yang hanya bisa
digali penguasa yang mendengar keluhan rakyatnya. Pada fase ini, langkah SBY
menggunakan dasar pasal 22 ayat 1 UUD 1945 patut diapresiasi.
Pasal 22
ayat 2 tentang persetujuan parlemen untuk mengundangkan perppu tersebut tetap
saja menghantui perasaan keadilan rakyat. Parlemen memang mengeluarkan produk
hukum yang legal, UU Pilkada dan UU Pemda, namun minus legitimasi. Saat
parlemen menolak kembali perppu tersebut, dunia hukum kita akan terjebak
dalam labirin demokrasi liberal minus akal sehat pula.
Carl
Schmitt, tokoh yang banyak menginspirasi Agamben, mengemukakan, legalitas
diperoleh dari produk keluar otoritas legislasi. Namun, legitimasi diperoleh
dari kepercayaan rakyat banyak (volonté généralé). Dalam bukunya yang
terkenal, Legality and Legitimacy
(1935), Schmitt sudah memprediksi bahwa suatu saat perilaku parlemen dalam
era demokrasi liberal dipenuhi barbarianisme. Hasil kerja parlemen itu
nirlegitimasi.
Agamben,
merujuk pada Schmitt, menyatakan, keadaan darurat adalah langkah untuk
mengeliminasi hiperliberalisasi politik yang berlebihan. Dari sinilah produk
hukum yang dikeluarkan parlemen memiliki bentuk, namun dengan jiwa yang
kosong.
Kekosongan
jiwa itulah yang disebut Agamben sebagai bentuk kekosongan hukum (necessitas legem non habet). Pada diri
penguasa yang responsif, kekosongan hukum tersebut akan diikuti kebutuhan
untuk membuat norma hukum baru. Dengan menetapkan keadaan darurat, penguasa
terdesak kebutuhan untuk membuat hukum (necéssité
fait loi).
Perppu
Pilkada dan Pemda secara materi dan substansi diterima masyarakat. Ia
memperoleh legitimasi dengan mengaktivasi demokrasi dan hak politik warga
yang nyaris raib itu. Akal sehat mendapatkan kediamannya kembali.
Schmitt
menguraikan, legitimasi juga diperoleh dari sebuah proses supremasi
rasionalitas (ratione supremitatis).
Proses pembentukan UU Pilkada dan Pemda ditengarai lebih banyak bermuatan
faktor emosionalitas ketimbang rasionalitasnya. Juga, membangun sebuah
pemandangan debat kusir yang mengiris rasa malu publik.
Perpu Pilkada dan Pemda sudah mengandung substansi tentang
rasionalitas, yakni mendukung pilkada langsung dan perbaikan sistemnya. Tidak
semua tradisi dalam sejarah pilkada menuai cerita indah. Menambal sisi kelam
pilkada langsung dengan uji publik calon, penghematan anggaran, pembatasan
kampanye terbuka, akuntabilitas dana kampanye, larangan politik uang, dan
seterusnya merupakan jalan pulang menyusuri akal sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar