Rekayasa
Ekologis untuk Pertanian Berkelanjutan
Damayanti Buchori ; Guru Besar Hama Tumbuhan pada Fakultas
Pertanian, IPB
|
KOMPAS,
08 Oktober 2014
HAMA tumbuhan umum dijumpai dalam
proses produksi ataupun penyimpanan di gudang. Kerugian akibat serangga dapat
mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah, tergantung luas areal yang
terserang. Berbagai jenis teknologi telah dikembangkan untuk mengatasi
masalah hama ini. Yang umum dipakai adalah teknologi kimiawi.
Usaha pengendalian dengan
teknologi kimia sering menimbulkan ekses negatif yang tidak terduga, misalnya
mencemari lingkungan, mengganggu kesehatan manusia, serta mengubah
keseimbangan ekosistem sehingga terkadang malah mendukung perkembangan
serangga hama.
Alam sebenarnya telah
menyediakan jawaban terhadap permasalahan hama ini, yaitu keberadaan musuh
alami hama yang dapat memangsa dan memarasit hama. Teknologi pemanfaatan
musuh alami untuk mengendalikan hama disebut pengendalian hayati.
Pengendalian hayati pada dasarnya memanfaatkan organisme untuk menekan
kepadatan populasi organisme lainnya. Visi dari pengendalian hayati adalah
pencapaian keseimbangan ekosistem.
Dalam teknologi pengendalian
hayati, konservasi musuh alami merupakan kunci kesuksesan pengendalian.
Konservasi musuh alami berarti melestarikan, melindungi, dan memanfaatkan
populasi musuh alami. Kemapanan populasi musuh alami adalah kunci bagi
keberhasilan pengendalian hayati. Ketika musuh alami dilepas untuk mengendalikan
hama, musuh alami ini harus bisa hidup, beradaptasi, dan berkembang biak di
alam.
Faktor berpengaruh
Ada beberapa faktor yang akan
memengaruhi kemapanan musuh alami di alam, misalnya heterogenitas atau
kompleksitas bentang alam. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
keberadaan musuh alami akan meningkat seiring peningkatan tipe habitat dalam
sebuah lanskap. Musuh alami memerlukan habitat-habitat tempat mereka bisa
mencari sumber nektar, mencari inang alternatif, dan tempat untuk berkembang
biak dengan aman. Keberadaan habitat alami dalam bentang alam yang heterogen
menjamin keberlangsungan populasi musuh alami.
Saat ini dengan semakin pahamnya
dunia keilmuan akan dampak negatif dari praktik-praktik pertanian
konvensional, pemanfaatan musuh alami semakin populer. Walaupun demikian,
pemanfaatan musuh alami ini tidak akan berhasil tanpa perubahan paradigma
pertanian. Perubahan ini terkait dengan cara pandang praktik pertanian yang
masif dan monokultur. Pertanian monokultur dalam lanskap yang luas akan
berdampak negatif terhadap kemapanan musuh alami. Untuk itulah perlu
dilakukan rekayasa ekologis (ecological
engineering), seperti penyediaan habitat alami dan peningkatan keragaman
vegetasi yang dapat menjamin konservasi hewan-hewan berguna pada tataran
lanskap.
Kunci dari rekayasa
ekologis/intensifikasi ekologis adalah layanan/jasa ekosistem. Penerapan
teknologi pengendalian hayati adalah salah satu contoh dari aplikasi
paradigma baru ini. Untuk mendukung efektivitas intensifikasi ekologis dibutuhkan
pemahaman tentang hubungan di antara penggunaan lahan pada skala lanskap yang
berbeda, komposisi komunitas organisme penyedia layanan/jasa ekosistem, baik
yang berada di atas maupun di dalam tanah, dan hubungannya terhadap aliran,
stabilitas, serta biaya pengelolaan dari berbagai jasa oleh organisme
tersebut (Bommarco et al, 2013).
Hingga saat ini sebenarnya
teknologi pengendalian hayati telah dilakukan sebagai salah satu strategi
pengendalian hama terpadu (PHT). Namun, sangat disayangkan pengembangan
teknologi ini masih sangat minim karena belum cukup mendapat perhatian dari
pemerintah dan praktisi. Padahal, menurut berbagai penelitian, pengendalian
hayati dapat menekan pengeluaran biaya untuk pestisida, tenaga kerja,
peralatan pertanian, di samping ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.
Implementasi pengendalian hayati justru dapat membantu mengembalikan kondisi
ekologis habitat sehingga menjadi lebih baik. Penelitian analisis ekonomi
menunjukkan bahwa rasio keuntungan dengan biaya untuk pengendalian hayati
145:1.
Belum populer
Walaupun pengendalian hayati ini
mempunyai prospek besar, sangat disayangkan bahwa teknologi pengendalian ini
tidak cukup populer di kalangan petani dan perusahaan pertanian besar.
Mengapa demikian? Ada beberapa jawaban antara lain: (1) Regulasi pemerintah
yang belum kuat menunjang implementasi pengendalian hayati; (2) Teknologi ini
memerlukan ketekunan dan syarat minimal pengetahuan; dan yang utama adalah
(3) Diperlukan perubahan paradigma pertanian, yaitu pertanian konvensional
menjadi pertanian yang mendukung prinsip-prinsip konservasi berbasis lanskap.
Dalam menghadapi era kompetisi
ke depan, sebagai negara dengan keberadaan keragaman hayati yang begitu
besar, Indonesia bisa mengembangkan pembangunan berkelanjutan dengan teknologi
hijau yang ramah lingkungan. Untuk itu, diperlukan pengembangan SDM yang
memiliki kualifikasi memadai di bidang pertanian dan pengelolaan SDA serta
regulasi yang menunjang implementasi pembangunan pertanian berbasis
konservasi lanskap.
Kebijakan
berbasis sains sebagai dasar dari arah kebijakan patut menjadi wacana baru
bagi pengembangan kebijakan di Indonesia. Pengetahuan yang dihasilkan dari
berbagai penelitian saintifik sudah saatnya digunakan sebagai konsiderans dan
menjadi dasar dalam kebijakan pembangunan Indonesia. Pemikiran ini didasari
dari sifat sains dan dari filsafat sains itu sendiri, yaitu to seek knowledge
for truth. Ilmu pengetahuan sudah saatnya didudukkan sesuai asal usulnya:
dari ilmu pengetahuan akan lahir kearifan. Dari kearifan akan lahir totalitas
kemanusiaan sebagai khalifah di Bumi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar