Jumat, 10 Oktober 2014

Rekayasa Ekologis untuk Pertanian Berkelanjutan

Rekayasa Ekologis untuk Pertanian Berkelanjutan 

Damayanti Buchori  ;   Guru Besar Hama Tumbuhan pada Fakultas Pertanian, IPB
KOMPAS,  08 Oktober 2014




HAMA tumbuhan umum dijumpai dalam proses produksi ataupun penyimpanan di gudang. Kerugian akibat serangga dapat mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah, tergantung luas areal yang terserang. Berbagai jenis teknologi telah dikembangkan untuk mengatasi masalah hama ini. Yang umum dipakai adalah teknologi kimiawi.

Usaha pengendalian dengan teknologi kimia sering menimbulkan ekses negatif yang tidak terduga, misalnya mencemari lingkungan, mengganggu kesehatan manusia, serta mengubah keseimbangan ekosistem sehingga terkadang malah mendukung perkembangan serangga hama.

Alam sebenarnya telah menyediakan jawaban terhadap permasalahan hama ini, yaitu keberadaan musuh alami hama yang dapat memangsa dan memarasit hama. Teknologi pemanfaatan musuh alami untuk mengendalikan hama disebut pengendalian hayati. Pengendalian hayati pada dasarnya memanfaatkan organisme untuk menekan kepadatan populasi organisme lainnya. Visi dari pengendalian hayati adalah pencapaian keseimbangan ekosistem.

Dalam teknologi pengendalian hayati, konservasi musuh alami merupakan kunci kesuksesan pengendalian. Konservasi musuh alami berarti melestarikan, melindungi, dan memanfaatkan populasi musuh alami. Kemapanan populasi musuh alami adalah kunci bagi keberhasilan pengendalian hayati. Ketika musuh alami dilepas untuk mengendalikan hama, musuh alami ini harus bisa hidup, beradaptasi, dan berkembang biak di alam.

Faktor berpengaruh

Ada beberapa faktor yang akan memengaruhi kemapanan musuh alami di alam, misalnya heterogenitas atau kompleksitas bentang alam. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan musuh alami akan meningkat seiring peningkatan tipe habitat dalam sebuah lanskap. Musuh alami memerlukan habitat-habitat tempat mereka bisa mencari sumber nektar, mencari inang alternatif, dan tempat untuk berkembang biak dengan aman. Keberadaan habitat alami dalam bentang alam yang heterogen menjamin keberlangsungan populasi musuh alami.

Saat ini dengan semakin pahamnya dunia keilmuan akan dampak negatif dari praktik-praktik pertanian konvensional, pemanfaatan musuh alami semakin populer. Walaupun demikian, pemanfaatan musuh alami ini tidak akan berhasil tanpa perubahan paradigma pertanian. Perubahan ini terkait dengan cara pandang praktik pertanian yang masif dan monokultur. Pertanian monokultur dalam lanskap yang luas akan berdampak negatif terhadap kemapanan musuh alami. Untuk itulah perlu dilakukan rekayasa ekologis (ecological engineering), seperti penyediaan habitat alami dan peningkatan keragaman vegetasi yang dapat menjamin konservasi hewan-hewan berguna pada tataran lanskap.

Kunci dari rekayasa ekologis/intensifikasi ekologis adalah layanan/jasa ekosistem. Penerapan teknologi pengendalian hayati adalah salah satu contoh dari aplikasi paradigma baru ini. Untuk mendukung efektivitas intensifikasi ekologis dibutuhkan pemahaman tentang hubungan di antara penggunaan lahan pada skala lanskap yang berbeda, komposisi komunitas organisme penyedia layanan/jasa ekosistem, baik yang berada di atas maupun di dalam tanah, dan hubungannya terhadap aliran, stabilitas, serta biaya pengelolaan dari berbagai jasa oleh organisme tersebut (Bommarco et al, 2013).

Hingga saat ini sebenarnya teknologi pengendalian hayati telah dilakukan sebagai salah satu strategi pengendalian hama terpadu (PHT). Namun, sangat disayangkan pengembangan teknologi ini masih sangat minim karena belum cukup mendapat perhatian dari pemerintah dan praktisi. Padahal, menurut berbagai penelitian, pengendalian hayati dapat menekan pengeluaran biaya untuk pestisida, tenaga kerja, peralatan pertanian, di samping ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Implementasi pengendalian hayati justru dapat membantu mengembalikan kondisi ekologis habitat sehingga menjadi lebih baik. Penelitian analisis ekonomi menunjukkan bahwa rasio keuntungan dengan biaya untuk pengendalian hayati 145:1.

Belum populer

Walaupun pengendalian hayati ini mempunyai prospek besar, sangat disayangkan bahwa teknologi pengendalian ini tidak cukup populer di kalangan petani dan perusahaan pertanian besar. Mengapa demikian? Ada beberapa jawaban antara lain: (1) Regulasi pemerintah yang belum kuat menunjang implementasi pengendalian hayati; (2) Teknologi ini memerlukan ketekunan dan syarat minimal pengetahuan; dan yang utama adalah (3) Diperlukan perubahan paradigma pertanian, yaitu pertanian konvensional menjadi pertanian yang mendukung prinsip-prinsip konservasi berbasis lanskap.

Dalam menghadapi era kompetisi ke depan, sebagai negara dengan keberadaan keragaman hayati yang begitu besar, Indonesia bisa mengembangkan pembangunan berkelanjutan dengan teknologi hijau yang ramah lingkungan. Untuk itu, diperlukan pengembangan SDM yang memiliki kualifikasi memadai di bidang pertanian dan pengelolaan SDA serta regulasi yang menunjang implementasi pembangunan pertanian berbasis konservasi lanskap.

Kebijakan berbasis sains sebagai dasar dari arah kebijakan patut menjadi wacana baru bagi pengembangan kebijakan di Indonesia. Pengetahuan yang dihasilkan dari berbagai penelitian saintifik sudah saatnya digunakan sebagai konsiderans dan menjadi dasar dalam kebijakan pembangunan Indonesia. Pemikiran ini didasari dari sifat sains dan dari filsafat sains itu sendiri, yaitu to seek knowledge for truth. Ilmu pengetahuan sudah saatnya didudukkan sesuai asal usulnya: dari ilmu pengetahuan akan lahir kearifan. Dari kearifan akan lahir totalitas kemanusiaan sebagai khalifah di Bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar