Selasa, 14 Oktober 2014

Memilih Pimpinan MPR

                                           Memilih Pimpinan MPR

Sugiyono Madelan  ;   Peneliti INDEF, Dosen Universitas Mercu Buana
SINAR HARAPAN,  09 Oktober 2014

                                                                                                                       


Setelah anggota DPR dilantik pada Selasa (30/9) pagi, pemimpin DPR seyogianya sudah terbentuk sore itu juga. Pemimpin DPD juga terbentuk Rabu (1/10), dan paling lambat seharusnya pemimpin MPR terbentuk Kamis (2/10)  sehingga setiap komisi dapat menentukan agenda persidangan di DPR, DPD, dan MPR sejak Jumat (3/10) dan persidangan-persidangan sudah dapat dimulai sejak Senin (6/10). Tetapi, pembentukan pemimpin MPR mundur menjadi Jumat. Kemunduran tersebut berlanjut ke Senin (6/10) hingga Selasa (7/10) untuk membangun musyawarah mufakat.

Kata parle dimaknai sebagai hak berbicara untuk menyampaikan pendapat bagi setiap anggota parlemen. Ketika anggota parlemen (DPR, DPD, dan MPR) tidak mudah menyampaikan pendapatnya secara jelas dalam tempo tersingkat, kejadian pembatasan waktu berbicara tidak terlalu berlaku di parlemen.

Implikasinya, setiap penambahan waktu untuk bersidang dapat melebihi jadwal. Perubahan jadwal akan memundurkan jadwal yang berurutan. Akhirnya, teori jalur terpendek untuk menghasilkan waktu tersingkat dalam aplikasi ilmu manajemen strategis, ilmu strategi operasi dan proses manajemen, ilmu manajemen operasi, serta ilmu rantai pasok global pun runtuh oleh teori hak veto dalam ilmu politik.

Ujung bahaya dari demokrasi sesungguhnya kejadian anarkistis, berawal dari pemilik hak veto menggunakan haknya untuk menegasikan veto dari para pesaingnya. Tragedi hak veto secara sangat jelas diulas dalam sejarah Kekaisaran Romawi.

Dalam ilmu manajemen strategis diulas, mengelola strategi itu dimaksudkan dapat memilih pilihan terbaik dari beberapa opsi yang tersedia. Ketika memilih itu muncullah persaingan. Dalam kinerja organisasi baik internal maupun eksternal, muncullah kata “persaingan”. Kata itu digunakan untuk melunakkan kata “peperangan” atas aplikasi ilmu manajemen strategis sebagai tujuan memenangi pertempuran. Di sini, ilmu manajemen strategis mulai dituliskan sebagai cabang dari ilmu manajemen.

Selanjutnya kata “menang” dan “kalah” sebagai implikasi dari persaingan politik di parlemen dijadikan provokasi drama ilmu komunikasi massa untuk menilai efektivitas kinerja koalisi. Jadi, muncullah komentar tentang apakah terpilihnya pemimpin MPR akan mencatatkan Koalisi Indonesia Hebat mengalami kekalahan yang kelima dengan nilai kosong lima, serta hadiah aklamasi sebagai penghibur atas nama musyawarah mufakat.

Pencemoohan sebagai implikasi penggunaan indikator untuk menilai efektivitas kinerja organisasi Koalisi Indonesia Hebat itu sesungguhnya menjadi pemicu hiruk-pikuk latar depan dari kemoloran jadwal pemilihan pemimpin DPR, DPD, dan MPR. Pasalnya, kehadiran televisi menghasilkan artis antagonis dadakan yang memeriahkan acara pemilihan di parlemen di atas.

Dari sisi lain, publik justru menginginkan transparansi pada setiap momentum pengambilan keputusan politik dalam sidang paripurna DPR, DPD, dan MPR. Bahkan acara lobi politik pun, ingin diintip para penggemar kejadian politik. Momentum tersebut memeriahkan kejadian jual-beli di pasar saham dan pasar valuta asing di Indonesia pada periode insidental.

Tak Kompeten

Sebenarnya kurang tepat mengatakan ada “keterkejutan berpolitik” kepada anggota parlemen yang baru. Ini karena mekanisme pengambilan keputusan politik untuk memilih pemimpin itu merupakan tata tertib yang lazim dilakukan awal masa persidangan setelah mereka dilantik. Akan lebih tepat, terjadinya masalah inkompetensi kepada parpol pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, yakni para pelobi politik tidak mendapat desentralisasi kewenangan yang pantas dari para pemilik saham ketua umum parpol. Kejadian ini ditunjukkan momentum taktik all out yang berubah menjadi walkout.

Di samping itu, sulitnya mengambil keputusan bukan saja merupakan pemanasan berlomba berargumentasi guna menuju titik aklamasi dalam musyawarah mufakat (100 persen setuju) dalam berdebat sebelum voting. Lobi-lobi politik pun berlangsung berkepanjangan itu menunjukkan, fenomena penguatan terhadap terjadinya inkompetensi di atas, yakni pemenang Pileg dan Pilpres 2014 mengalami kegagalan mengubah hasil seleksi pemilu langsung yang menimbulkan hierarki piramida tinggi untuk diubah menjadi kewenangan legitimasi politik piramida terbalik.

Manuver aliansi strategis Koalisi Merah Putih yang mengubah peta politik dari pembentukan hierarki piramida tinggi menjadi bentuk piramida datar, politik recall, maupun taktik menjaga reputasi dan kooptasi anggota DPD dengan parpol berpotensi menegasikan hak veto dari Koalisi Indonesia Hebat. Opsi politik dari Koalisi Indonesia Hebat kembali menjadi menerima tekanan aklamasi musyawarah mufakat dari Koalisi Merah Putih, meminta bantuan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengeluarkan hak veto keputusan sela yang membuyarkan sistem paket pada UU MD3, melakukan koalisi “semu” dengan DPD, mengulur-ulur waktu sebagaimana kejadian pemilihan pemimpin di atas, membangkitkan kelompok-kelompok kepentingan untuk berjuang di luar parlemen guna menekan pilihan kolektif, melakukan hujan interupsi, rajin maju ke meja pemimpin sidang, dan mengulangi eksploitasi drama kesedihan massal humanisme publik dalam bentuk walkout untuk kembali keluar dari persidangan.

Aksi veto-memveto di atas selanjutnya berpotensi menjadi anarkistis apabila Koalisi Merah Putih menuntut hak veto yang sama, berupa menolak hadir dalam persidangan pada pengambilan keputusan dalam memilih pemimpin MPR sebagai respons manuver dari Koalisi Indonesia Hebat di atas, yang mengeksploitasi taktik propaganda ilmu komunikasi massa. Betapa propaganda ilmu komunikasi massa tersebut terbukti menjadi taktik yang efektif digunakan Koalisi Indonesia Hebat dalam kampanye Pilpres 2014, yang memenanginya secara tipis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar