Selasa, 14 Oktober 2014

Akhiri Pemenggalan Manusia

                                   Akhiri Pemenggalan Manusia

Tom Saptaatmaja  ;   Kolumnis, Alumnus STFT Widya Sasana Malang
dan Seminari St Vincent de Paul
SINAR HARAPAN,  08 Oktober 2014

                                                                                                                       


Umat Islam baru saja merayakan Idul Adha, perayaan untuk mengenang komitmen keimanan dan ketakwaan Ibrahim kepada Allah, yang lewat mimpi diperintahkan mengurbankan anaknya. Syukurlah, perintah itu hanya untuk menguji. Pada akhirnya, yang dikurbankan adalah seekor kambing, kemudian daging kurban dibagikan. Orang lain, khususnya kaum miskin dan lemah, terbantu berkat daging kurban yang mereka terima. Jadi, berkurban bagi sesama itulah yang menjadi pesan utama Idul Adha.

Tak ada pesan untuk mengurbankan sesama. Sayang, dalam kenyataan, praktik pengurbanan manusia justru kian marak terjadi, seperti di Suriah, Aljazair, dan Irak. Memedihkan hati ketika orang “dikurbankan”, entah dengan cara disembelih atau dipanggal kepalanya. Ini jelas bukan merupakan bentuk keimanan dan ketakwaaan pada Yang Maha Pengasih dan Penyayang, seperti yang diteladankan Ibrahim. Ini kebiadaban yang amat memalukan pada abad ini.

Pemenggalan itu juga jelas merupakan puncak dari tindakan barbar, sekaligus eksploitasi oleh manusia atas sesamanya (l’exploitation de l’homme par l’homme). Mungkin benar juga sebutan Thomas Hobbes, manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Kendati yang meneyembelih, punya motif berjuang di atas jalan Tuhan, tapi sudah pasti Tuhan yang Baik hanya dibajak nama-Nya untuk melegitimasi nafsu angkara murka di hati para penyembelih.

Tidak heran, William Wallace bahkan menyebut agama-agama samawi sebagai agama berdarah. Ini karena banyaknya kasus kekerasaaan yang timbul akibat gesekan ketiga penganut agama Ibrahim ini. Hal yang amat mengusik nurani, pemenggalan itu bahkan dipertontonkan ke publik dunia lewat Youtube. Seperti diketahui, baru-baru ini, ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), merilis sebuah video pemenggalan kepala pekerja kemanusiaan asal Inggris, Alan Hening, Jumat (3/10).

Alan Henning mengenakan kaus oranye layakanya seorang tahanan. Ia berlutut di sampaing algojo ISIS yang berpakaian serbahitam dan mengenakan penutup muka. Henning menyampaikan pesan terakhirnya di hadapan kamera. “Karena keputusan parlemen kita (Inggris) untuk menyerang ISIS, saya, sebagai anggota masyarakat Inggris, sekarang akan menebus keputusan itu,” demikian bunyi pesan terakhir Henning, sebelum akhirnya leher pekerja bantuan asal Inggris itu dipenggal dengan pisau oleh algojo ISIS di sampingnya. Pemenggalan ini dikecam Sekretaris Jenderal Dewan Muslim Inggris, Shuja Shafi. “Pemenggalan yang diklaim dilakukan terhadap Henning adalah perbuatan tercela dan ofensif,” kata Shafi, seperti dikutip Reuters, Sabtu (4/10).

 Kita tahu pemenggalan Alan hanya repetisi. Beberapa waktu lalu, James Foley, wartawan Global Post yang hilang di Suriah sejak November 2012, juga dipenggal. Demikian juga banyak warga sipil Suriah, biarawan Kristen, atau tentara pro Presiden Assad yang juga sudah disembelih ISIS. Aksi biadab ISIS juga dikecam hampir semua ormas Islam di negeri kita.

MUI menilai ISIS merusak citra Islam sebagai agama damai. Negara-negara di Timur Tengah sudah menjadikan ISIS musuh bersama. ISIS menjadi kelompok radikal paling ditakuti di dunia saat ini. Apalagi, setelah kelompok Taliban dari Afghanistan dan Al-Qaeda bersedia membantu dan mendukung ISIS. Begitulah radikalisme atau ekstremisme dalam beragama bisa menjadi masalah bagi umat manusia pada abad ke-21. Keberadaan kelompok radikal seperti itu, sungguh merupakan ironi bagi akal sehat kita.

Pemenggalan atau penyembelihan itu hanya pantas terjadi pada zaman batu. Hal yang memprihatiankan, aksi biadab seperti itu masih saja mendapat dukungan, bahkan dari warga negara di negeri yang berdasar Pancasila ini. Buktinya, di berbagai tempat di negeri kita, ada saja pendukung kelompok ISIS. Para pendukung kelompok ISIS, dalam psikologi disebut “bigot”.

Ini menunjuk kepada orang yang sangat kuat loyalitasnya terhadap kelompok tertentu, entah agama, etnis, partai politik, sekolah, kampus, kampung, dan sebagainya. Orang semacam ini sama sekali sudah tak punya toleransi terhadap golongan lain yang yang tidak sepaham. Agama yang seharusya menjadi jalan pembebasan pun, bagi penganut agama yang “bigot”, justru bisa ditafsirkan sebagai alat untuk menindas yang berbeda. Orang “bigot” memang sangat mudah menghakimi orang lain.

Kategori kafir dan sesat bisa dengan cepat meluncur. Memperbincangkan tafsir, memang sebenarnya semua kekerasan itu bisa didorong oleh tafsir. Ketika seorang “bigot” punya tafsir banal atas agama yang dianutnya, dijamin pesan sejuk agama bisa dipelintir menjadi pesan penuh amarah. Pemahaman keagamaan yang sepotong, dijadikan sesuatu yang kebenarannya absolut. Menurut James Barr, Guru besar Universitas Oxford, para “bigot” atau kuam radikal, punya penekanan amat kuat akan ketidaksalahan (inerrancy) Kitab Suci. Mereka punya penafsiran yang sangat skripturalistik dan literer.

Mereka menerima mentah-mentah setiap kata Kitab Suci. Pokoknya, mereka sangat alergi dengan penafsiran yang sesuai perkembangan zaman. Tuhan pun bisa ditafsirkan tidak toleran dan seolah hanya berpihak pada “agamaku” sebagai agama yang paling benar, sedangkan semua agama lain adalah sesat. Tafsir demikian, ditambah sifat “bigot”, semakin mendorong pemahaman keagamaan yang ekstrem. Ekstremitas atau radikalisme kini memang menjadi problem di banyak belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Adanya dukungan sebagian warga kita kepada ISIS, jelas bisa membuat negeri kita semakin runyam dalam hal kekerasan.

Bahkan, tanpa ISIS pun negeri kita tidak pernah sepi dari kekerasan, khususnya terhadap kaum minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, atau Kristiani. Malah dua peneliti dari Belanda, Freek Colombijn dan J Thomas Lindblad (2002), menyebut Indonesia sebagai “negara kekerasan” (violent country).

Meski demikian, kehadiran kaum radikal selalu menjadi tantangan, sejauh manakah umat beragama (apa pun) mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil, bermoral, dan beradab sekaligus untuk merespons kritik William Wallace di atas. Mari buktikan dalam praktik hidup sehari-hari, bahwa agama yang kita peluk adalah agama damai dan cinta yang menjunjung kemanusiaan dan kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar