Selasa, 14 Oktober 2014

Politik Machiavellis dan Tirani Parlemen

                  Politik Machiavellis dan Tirani Parlemen

Lasmi Purnawati  ;   Pengamat Masalah Sosial Politik;
Mahasiswi Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Pertanian Pedesaan IPB
SINAR HARAPAN,  09 Oktober 2014

                                                                                                                       


Pemberlakuan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan disahkannya UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui DPRD, beberapa waktu lalu, mengundang keprihatinan mendalam bagi nasib demokrasi di Indonesia. Inilah titik balik kemunduran atau kemerosotan demokrasi yang selama ini sudah berjalan baik di era Reformasi.

Sebagai sebuah bangsa, mestinya kita patut bangga karena masyarakat Indonesia sudah begitu cerdas dan kritis menggunakan hak politiknya. Hal tersebut tercermin ketika pemilihan presiden (pilpres) lalu. Media sosial dipenuhi argumentasi dari masyarakat mengenai calon presiden (capres) pilihannya, bahkan seni dan budaya menjadi instrumen kreatif para generasi muda yang ikut berpartisipasi aktif dalam pesta demokrasi tersebut. Kondisi ini merupakan kemajuan yang luar biasa dari sebuah proses demokrasi langsung yang terjadi di Indonesia.

Sayangnya, indikasi mengebiri dan mengerdilkan kembali peran dan hak konstitusional rakyat dalam menentukan pemimpin di negeri ini akan terjadi. Upaya melumpuhkan bahkan mengamputasi kedaulatan rakyat tersebut terlihat jelas dari wajah machiavellis sebagian politikus yang ada di lembaga perwakilan rakyat. Ambisi berkuasa dari salah satu kubu dalam lembaga perwakilan rakyat membentuk sikap dan perilaku menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan.

Pipres langsung yang dilaksanakan rakyat Indonesia begitu cantik dan mengundang decak kagum serta rasa hormat negara-negara lain justru hendak dimandulkan dengan cara memutilasi seluruh aturan perundang-undangan pemilihan langsung tersebut. Hal ini bukan saja mencederai demokrasi, melainkan juga bentuk nyata pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat.

Namun bagi para politikus machiavellis, tak penting cara yang dilakukan akan mengkhianati dan memperkosa hak-hak dan kedaulatan rakyat atau tidak sebab tujuan akhir dari perjuangan politik mereka adalah kekuasaan.Potret buram nasib demokrasi di Indonesia ke depan terpampang jelas dari gedung perwakilan rakyat.

Tirani Parlemen

Kekalahan kubu Prabowo-Hatta dalam pilpres melatarbelakangi pemikiran para politikus dari koalisi pendukung Prabowo untuk memgubah tata cara pilkada, pemilihan pemimpin di lembaga perwakilan rakyat, bahkan ada indikasi pilpres ke depan juga akan dilakukan melalui MPR. 

Koalisi pendukung Prabowo sebagai penggagas amendemen UU Pilkada tersebut berdalih, pilkada langsung yang selama ini dijalankan kenyataannya tidak efektif dalam artian berbiaya tinggi dan sering menyebabkan terjadinya konflik horizontal massa pemilih di tingkat akar rumput.

Koalisi pendukung Prabowo juga membangun argumentasi yang tak kalah ngotot agar UU MD3 disahkan, yaitu membangun tradisi baru dalam memilih pemimpin lembaga perwakilan rakyat. Partai pemenang pemilu tidak harus menjadi pemimpin parlemen, tetapi akan dipilih melalui mekanisme demokratis, yaitu melalui voting.

Seluruh argumen tersebut memang terdengar indah. Sayangnya, itu kamuflase dan tipu muslihat semata. Sejatinya yang diperjuangkan adalah kepentingan partai serta kepentingan para tiran yang menguasai sumber-sumber kapital pembiayaan politik mereka.

Melihat sepak terjang dan rekam jejak politikus koalisi pendukung Prabowo, dapat dibaca secara gamblang bahwa motivasi utamanya adalah menguasai parlemen. Ini karena mereka tidak pernah yakin dan percaya diri bahwa kubu mereka dapat menjadi pemenang dalam pemilihan langsung.

Demokrasi langsung menjamin suara rakyatlah yang menjadi penentu bagi setiap calon pemimpin di negara ini. Hal ini berarti, pertarungan menjadi pemimpin baik di tingkat nasional maupun daerah adalah kemampuan menawarkan program-program pro rakyat disertai bukti nyata yang telah dilakukan oleh calon pemimpin atas komitmen tersebut, bukan jargon politik palsu belaka.

Kenyataan ini membuktikan, masyarakat Indonesia adalah rakyat yang cerdas dan melek politik sehingga kebaikan yang bersifat artifisial dari seorang calon pemimpin tidak berdaya jual untuk memikat dan mengikat suara dan kehendak rakyat. Seorang calon pemimpin bangsa semestinya adalah sosok yang betul-betul memahami kebutuhan rakyat di tingkat bawah. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus bersedia bersentuhan dan berdialog langsung dengan rakyatnya.

Rupanya modal ini kurang dimiliki pasangan Prabowo-Hatta saat pilpres lalu. Alih-alih memperbaiki kualitas calon pemimpin dari kubu mereka, koalisi pendukung Prabowo justru lebih memilih jalan pintas dengan upaya menguasai parlemen.

Untuk itu, koalisi pendukung Prabowo berusaha keras merapatkan barisannya dan mencari dukungan partai demokrat dengan menjanjikan jatah kursi kekuasaan demi mengalahkan koalisi partai pendukung Jokowi-JK dalam sidang paripurna DPR. Bagi koalisi pendukung Prabowo, menguasai parlemen menjadi penting sebab dalam kalkulasi politik mereka, dengan menguasai parlemen, mereka bisa mengendalikan kekuatan politik melalui agenda setting yang direncanakan.

Kemenangan koalisi pendukung Prabowo yang membawa agenda menegasikan hak-hak konstitusional dan kedaulatan rakyat berakibat kepada tersanderanya parlemen oleh praktik-praktik tirani para politikus machiavellis, utamanya politikus yang terindikasi korupsi yang berkolaborasi dengan barisan politikus sakit hati yang tak mampu bersaing secara fair di panggung politik.

Tirani parlemen menjadi strategi ampuh bagi mereka guna mengendalikan kekuatan politik yang ada. Tentu saja hal ini kontra produktif dan melahirkan paradoks bagi cita-cita Reformasi. Daulat rakyat akan menjadi daulat partai dan daulat para tiran yang berkekayaan membeli suara politikus yang tanpa integritas.

Demokrasi Semu

Upaya mengembalikan pilkada melalui DPR juga (wacana) pilpres melalui MPR merupakan salah satu agenda memangkas kedaulatan rakyat. Proses demokrasi melalui lembaga perwakilan rakyat justru menjauhkan bahkan mengasingkan (alienisasi) rakyat dari proses-proses politik. Demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi semu, demokrasi tanpa roh keadilan, demokrasi yang lumpuh atau demokrasi yang patologis.

Pilpres yang lalu semestinya menjadi pembelajaran politik berharga bagi seluruh bangsa, sekaligus catatan yang gemilang dalam sejarah demokrasi Indonesia. Antusiasme rakyat yang sangat besar disertai keinginan berperan aktif baik dalam masa kampanye hingga saat pencoblosan di bilik suara menjadi bukti kesadaran bahwa rakyat adalah penentu bagi kemajuan bangsa.

Semangat dan kepedulian rakyat ini seharusnya dihargai para anggota dewan yang notabene juga dipilih rakyat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menjaga kepercayaan dan amanah yang diberikan guna menyejahterakan kehidupan bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar