Rabu, 01 Oktober 2014

Predator Demokrasi

Predator Demokrasi

Bashori Muchsin  ;   Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
KORAN JAKARTA,  01 Oktober 2014

                                                                                                                       


Istilah predator dapat disejajarkan ungkapan Thomas Hobbes homo homini lupus atau manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya. Manusia bisa saja tak berbeda dengan hewan yang suka memangsa atau membentuk dirin predator.

Salah satu “makhluk” negara yang kali ini memerankan diri predator adalah DPR. Objek yang dimangsa adalah demokrasi sebagai hak rakyat dalam politik pemimpin daerah (pilkada). Hak berpolitik yang semula menjadi privilese rakyat dalam membangun demokrsi, akhirnya mati dimangsa DPR.

Parlemen memberangus hak politik rakyat. DPR layak djuluki predator demokrasi sebab hak konstitusional rakyat yang dipercayakan kepadanya telah dihancurleburkan. Kekuasan yang dipercayakan rakyat kepada parlemen justru digunakan untuk menelan mematikan demokrasi.

“Yang membuat orang kecil bisa merasakan hidup bernegara ketika mereka sejahtera dalam hidup dan aman dari gangguan tangan keji,” demikian budayawan Mubarok Al-Qudsi. Ini sebagai kritik keras terhadap setiap penyelenggara negara, termasuk DPR, yang suka mempermainkan hak rakyat. Mereka tidak berusaha maksimal menunjukkan kinerja dalam memperjuangkan demokrasi.

Elite legislatif yang meloloskan RUU Pilkada dengan memasukkan pasal tentang pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) ke pemilihan di tangan DPRD, mereka tak ubahnya memberlakukan tangan (kekuasaan) kejinya bertajuk pemangsaan demokrasi.

Itu dapat diinterpretasikan lagi, karier kekuasaan di ranah legislatif atau kepemimpinan elitismenya sebagai dewan bukan difokuskan untuk mengadvokasi hak rakyat, melainkan diabdikan demi memenuhi berbagai ragam ambisinya. Nasib orang kecil (rakyat) tidak dijadikan sebagai proyek demokrasi, tetapi dibiarkan dalam pasungan ambisi eksklusifnya.

Dalam pembahasan hingga pengesahan RUU Pilkada, khususnya yang pro- pilkada tidak langsung, tampak hanya sibuk mencari legitimasi dan apologi bahwa negeri ini sudah menjalankan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional berbasiskan Pancasila. Padahal, apa yang dilakukannya tidak ubahnya sebagai bentuk kolaborasi dan supremasi pemangsaan demokrasi.

Menurut Roger D Congleton and Birgitta Swedenborg (2006), dalam bukunya Democratic Constitutional Design and Public Policy, sejatinya tantangan paling substansial dalam mewujudkan demokrasi konstitusional terletak pada konteks dan upaya kepemimpinan melahirkan bukti-bukti kebijakan publik (evidence public policy) yang rasional dan melindungi seluruh kepentingan fundamental rakyat.

Sebagai pemimpin bangsa, DPR seharusnya menimang dengan hati dan kepala jernih, pilkada langsung mencerminkan supremasi daulat rakyat, sedangkan kalau itu dialihkan ke DPRD berarti daulatnya ke ranah politisi. Pengalihan ini berarti mempredatori hak rakyat atau memangsa sakralitas political right rakyat untuk menikmati pagelaran riil demokrasi.

Suatu ketika, Nabi Muhammad ditanya sahabat-sahabatnya, “Di manakah kami paling mudah menemukanmu?” Dijawab, “tempat terbaikku adalah orang-orang kecil, kalah, dan miskin. Di antara mereka inilah aku mudah ditemukan.” Orang miskin dan penganggur yang tergolong rakyat kecil berhak memilih kandidat yang tepat untuk sebagai pemimpin.

Kepemimpinan

Seharusnya DPR juga belajar bahwa istana terbaik adalah kalangan masyarakat kecil atau kelompok akar rumput yang memunyai hak mengadu, mengeluh, dan menilai. Dalam realitas kehidupan wong cilik ini, telah menjadikannya sebagai tempat terbaik, yang membuatnya bisa membangun dan mengembangkan demokrasi.

Jiwa kepemimpinan berbasis kerakyatan bukan sekadar diucapkan. Dia terjun ke tengah-tengah masyarakat guna menyerap aspirasi. Setiap orang yang dipercaya menjadi pemimpin seharusnya tidak sampai tergiring pada paradigma mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, mereka wajib memikirkan kepentingan orang kecil. Pilkada, misalnya, memang diorientasikan memilih pemimpin, namun baik yang berhak memilih maupun yang merasakan akibat dari pilihannya adalah orang kecil. Maka, posisi DPR berkewajiban membuktikan diri mampu menjadi jembatan masyarakat bawah.

Itu mengisyaratkan sekumpulan dewan yang diidentikkan dengan “negara”, wajib memediasi hak-hak rakyat kecil supaya pola kepemimpinannya menghadirkan demokrasi sejati yang betul-betul menyuarakan kepentingn rakyat. Mereka memilih pemimpin daerah supaya ada perubahan.

Sayang wakil di Senayan itu lebih banyak memikirkan diri sendiri daripada kepentingan publik. Mereka seharusnya membebaskan kemiskinan rakyat melalui produk legislasi berbasis kepentingan publik. Tapi yang terjadi rakyat justru lebih sering ditinggalkan atau dipredatorinya. Lantas kepada siapa rakyat harus mengeluh dan menyampaikan kesulitan ekonomi, kesehatan, berpolitik, dan kependidikan, kalau pemimpinnya saja masih sibuk mengurus kepentingan kelompoknya.

Rakyat membutuhkan sosok pemimpin daerah yang dipilih secara langsung. Andai hasil pilkada belum maksimal dalam memperbaiki kehidupan, tidak lantas diganti dengan pilihan oleh DPRD. Ini tinggal soal pembenahan.

Ungkapan mendiang Presiden Amerika Lincoln, “Berikan apa yang terbaik untuk negaramu, tapi jangan bertanya apa yang diberikan negara kepadamu”, sangat tepat dijadikan pesan moral untuk mengingatkan anggota DPR. Yang terbaik dalam kehidupan bernegara bukan kepintaran atau kelihaian dalam membangun koalisi, tetapi berapa banyak memberikan yang terbaik pada negara.

Kalau DPR terfokus memberi yang terbaik pada rakyat, di antaranya memproduk legislasi prorakyat, tentulah berbagai problem besar tidak akan sampai menimpa. Kompilasi penyakit tidak akan menghancurkan masyarakat manakala sikap dan sepak terjangnya, dikonsentrasikan untuk selalu memperjuangkan aspirasi rakyat. Sayang, mereka telah tergelincir lebih mengutamakan koalisi dan memberangus hak demokrasi rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar