Kamis, 09 Oktober 2014

Memahami Pilkada Langsung

Memahami Pilkada Langsung

Sobirin Malian  ;   Dekan FH Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta,
Mahasiswa S-3 FH UII Yogyakarta
REPUBLIKA,  07 Oktober 2014




Gaduh pilkada langsung hingga hari ini belum selesai, bahkan makin meruncing. Secara umum opini dan aspirasi yang muncul, disahkannya Undang-Undang No 22 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya terkait pilkada melalui DPRD, itu telah merampas hak rakyat dalam menentukan pilihan pemimpinnya.

Sejumlah pakar menulis, disahkannya UU tersebut sebagai wujud hak rakyat telah dirampas dan betapa tak bermoralnya para politisi di Senayan, serta-merta pula menyimpulkan itu mainstream kembalinya gaya politik Orde Baru. Presiden SBY pun secara reaksioner mengeluarkan dua perppu sekaligus, yaitu Perppu No I/2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Bupati/Wali Kota, dan Perppu No 2/2014 tentang Perubahan UU No 23/2014. Penerbitan Perppu No I/2014 sekaligus mencabut UU No 22/2014 tentang Pilkada yang diputus DPR 26 September 2014 yang mengatur pilkada oleh DPRD. Sedangkan, Perppu No 2/2014 hanya mencabut dua pasal UU No 23/2014 yang terkait kewenangan DPRD memilih kepala daerah.

Sekitar 10 tahun terakhir, pilkada bupati/wali kota, gubernur, dan presiden telah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada langsung memang benar menyalurkan aspirasi masyarakat, tetapi patut diingat di dalamnya sangat sarat pendidikan politik yang kotor.

Sogok menyogok, suap-menyuap, politik uang sangat kental. Itulah yang menyebabkan pilkada langsung berbiaya mahal. Penulis pernah menghitung untuk satu kota madya di Sumatra Selatan dengan empat pasang calon telah memakan biaya Rp 200 miliar.

Penyelenggaraan pilkada langsung oleh KPU banyak juga yang berkualitas rendah, seperti yang menjadi penelitian disertasi Mendagri Gamawan Fauzi. Bukan isapan jempol bahwa penyelenggara pemilu(kada) banyak yang tidak netral karena lebih berpihak kepada incumbent.

Para komisoner KPU ini seolah tidak punya pilihan selain tunduk. Sudah barang tentu ketundukan para komisioner KPU bukanlah gratis. Pelanggaran hukum itu pula yang sering kali membuat DKPP yang diketuai Prof Jimly Asshidiqie bertindak dengan memberikan hukuman berupa peringatan hingga diberhentikan dengan tidak hormat sebagai komisioner.

Setelah terpilih melalui pilkada pun, efek pelanggaran pilkada langsung tidak berhenti. Banyak kasus, kepala daerah memutasi pegawainya secara besar-besaran dengan alasan tidak mendukung dan tidak sepandangan. Kasus semacam ini terjadi di Kabupaten Empat Lawang, Sumatra Selatan, pada 2013 sebagai contoh. Begitu Bupati dan wakilnya dilantik, tidak kurang 750 guru dan PNS dimutasi. Naifnya, DPRD yang adalah konstituen rakyat tak mampu berbuat apa-apa. Jadilah para guru dan PNS ini seolah tanpa pegangan dan tak ada pilihan kecuali "nrimo" dan pasrah.

Selanjutnya, kepala daerah dan wakilnya mulai "mengamankan" jabatan dan posisi strategis yang akan menjadi ATM-nya kelak. Posisi-posisi "penting" seperti kepala dinas, sekretaris daerah pastilah diisi para kerabatnya atau paling tidak orang-orang yang 100 persen loyal kepadanya.

Jika ingin diungkap sepuluh catatan yang dikeluarkan oleh Partai Demokrat yang kemudian memilih walkout itu jelas masih kurang, masih banyak catatan lain yang mesti diberikan. Itulah sebabnya bagi Koalisi Merah Putih pilihan pilkada tidak langsung adalah pilihan politik yang layak dipertimbangkan.

Tak sama dengan demophili

Yang tak kalah mencolok dari efek pilkada adalah munculnya nepotisme yang sangat kental. Demokrasi, di antaranya dipahami sebagai hak warga untuk menyalurkan aspirasi sebebas-bebasnya, maka hal itu sebagiannya sudah terwujud dari berbagai pilkada dan pemilu selama ini. Namun, jika makna ini kita runut ke arah makna demophili (berasal dari kata demos dan philea) yang artinya 'cinta rakyat', maka ia menuntut semua elite politik dan aspek kehidupan bernegara ke arah yang lebih baik.

Kita menuntut para elite politik rela melepaskan kepentingan sempit (partai, kelompok, dan keluarga) untuk benar-benar menjelma menjadi orang yang bertanggung jawab membantu rakyat dan menyejahterakan masyarakat. Di sini loyalitas, dedikasi sepenuhnya untuk rakyat benar-benar dituntut tanpa diembel-embeli kepentingan apa pun. Baru demophili ini menjanjikan harapan.

Menengok beberapa pilkada, demokrasi masih gagal mengusung makna demophili tadi. Sistem demokrasi di Indonesia ternyata belum menghapus praktik nepotisme. Banyak elite politik di daerah menyiasati prosedur demokrasi untuk mengesahkan pembagian kekuasaan kepada kerabat, keluarga, atau orang dekatnya.

Di Jawa Timur, Bupati Kediri Haryanti Sutrisno dan Bupati Probolinggo Puput Tantriana adalah istri dari bupati terdahulu, Sutrisno (Kediri) dan Hasan Aminudin (Probolinggo).

Contoh lain, Bupati Bangkalan Makmun Ibnu Fuad juga menggantikan ayahnya, Fuad Amin, yang adalah bupati dua periode. Makmun baru berusia 24 bulan saat memenangi pilkada dengan raihan suara 93,4 persen.

Di Banten siapa yang tak kenal dinasti Ratu Atut Chosiyah yang kini tersangkut kasus di KPK. Di Jambi, Wali Kota Sungai Penuh Asafri Jaya Bakri telah menetapkan sejumlah pejabat di 11 satuan kerja perangkat daerah nonjob dan mengangkat pejabat baru yang diduga sebagai bagian keluarga, kerabat dekat, dan anggota timsesnya.

Langkah yang dilakukan Asafri sejak dilantik pada 2012, antara lain, mengangkat adiknya, Faunal Akhyar, menjadi kepala Inspektorat Sungai penuh. Asafri juga mengangkat dua keponakannya, M Rasyid, sebagai asisten Bidang Pemerintahan Kota Sungai Penuh dan Zamroni sebagai kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil.

Di Riau, nepotisme yang sama juga sedang heboh dibicarakan ketika Gubernur Riau Annas Maamun yang tertangkap tangan KPK menunjuk anak dan menantunya jadi pejabat teras di lingkungan pemerintahan provinsi.

Dari uraian ini, tak pelak (wajah demokrasi) pilkada langsung telah menyisakan banyak keburukan di samping ada juga kebaikannya. Persoalannya, UU itu telah disahkan oleh DPR dan patut diingat inisiatif UU ini juga dari pemerintah sehingga sangat lucu jika Presiden SBY ingin mementahkannya dengan membuat dua perppu sekaligus.

Penulis sangat yakin perppu yang nanti dikeluarkan Presiden SBY akan memicu kegaduhan politik baru yang bisa jadi berimbas akan mempermalukan SBY itu sendiri. Ingat jika mengacu pada Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 jelas ditegaskan, perppu hanya bisa diterima atau ditolak oleh DPR. Di DPR saat ini KMP masih di atas angin.

Yang harus dilakukan?

Pemilihan umum memang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik atau cleansing agents (agen-agen pembersih) bagi para kandidat yang memiliki komitmen tinggi kepada rakyat dan negara. Jika tujuannya membawa ke arah perubahan yang lebih baik, tentu seting demokrasi itu memang diharapkan demikian.

Namun, seperti dinyatakan pakar politik Seyla Benhabib (1996) dan Afan Gaffar (1998), bisa jadi pemilu tak menjamin perubahan apa-apa. Bahkan yang ironis, hasil pemilu bisa jadi justru menghasilkan keadaan yang lebih buruk (kontraproduktif).

Menurut penulis, jika saja kita semua menerima hasil yang disahkan DPR, beberapa hal dapat dilakukan jika ingin mencegah kekhawatiran munculnya korupsi oleh legislatif dan eksekutif ke depan.

KPK dan PPATK harus lebih memperketat pengawasannya dengan memperkuat jaringan ke daerah, toh peluang yang akan mereka korupsi sudah diketahui. Kemendagri sudah mendirikan Unit Pengendalian Gratifikasi guna mencegah gratifikasi kepada birokrasi dan pejabat. Lembaga semacam ini harus diperbanyak dan dipertegas komitmennya untuk antikorupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar