Memahami
Pilkada Langsung
Sobirin Malian ; Dekan FH Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta,
Mahasiswa S-3 FH UII Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
07 Oktober 2014
Gaduh
pilkada langsung hingga hari ini belum selesai, bahkan makin meruncing.
Secara umum opini dan aspirasi yang muncul, disahkannya Undang-Undang No 22
tentang Pemerintahan Daerah, khususnya terkait pilkada melalui DPRD, itu
telah merampas hak rakyat dalam menentukan pilihan pemimpinnya.
Sejumlah
pakar menulis, disahkannya UU tersebut sebagai wujud hak rakyat telah
dirampas dan betapa tak bermoralnya para politisi di Senayan, serta-merta
pula menyimpulkan itu mainstream kembalinya gaya politik Orde Baru. Presiden
SBY pun secara reaksioner mengeluarkan dua perppu sekaligus, yaitu Perppu No
I/2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Bupati/Wali Kota, dan Perppu No 2/2014
tentang Perubahan UU No 23/2014. Penerbitan Perppu No I/2014 sekaligus
mencabut UU No 22/2014 tentang Pilkada yang diputus DPR 26 September 2014
yang mengatur pilkada oleh DPRD. Sedangkan, Perppu No 2/2014 hanya mencabut
dua pasal UU No 23/2014 yang terkait kewenangan DPRD memilih kepala daerah.
Sekitar
10 tahun terakhir, pilkada bupati/wali kota, gubernur, dan presiden telah
dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada langsung memang benar
menyalurkan aspirasi masyarakat, tetapi patut diingat di dalamnya sangat
sarat pendidikan politik yang kotor.
Sogok
menyogok, suap-menyuap, politik uang sangat kental. Itulah yang menyebabkan
pilkada langsung berbiaya mahal. Penulis pernah menghitung untuk satu kota
madya di Sumatra Selatan dengan empat pasang calon telah memakan biaya Rp 200
miliar.
Penyelenggaraan
pilkada langsung oleh KPU banyak juga yang berkualitas rendah, seperti yang
menjadi penelitian disertasi Mendagri Gamawan Fauzi. Bukan isapan jempol
bahwa penyelenggara pemilu(kada) banyak yang tidak netral karena lebih
berpihak kepada incumbent.
Para
komisoner KPU ini seolah tidak punya pilihan selain tunduk. Sudah barang tentu
ketundukan para komisioner KPU bukanlah gratis. Pelanggaran hukum itu pula
yang sering kali membuat DKPP yang diketuai Prof Jimly Asshidiqie bertindak
dengan memberikan hukuman berupa peringatan hingga diberhentikan dengan tidak
hormat sebagai komisioner.
Setelah
terpilih melalui pilkada pun, efek pelanggaran pilkada langsung tidak
berhenti. Banyak kasus, kepala daerah memutasi pegawainya secara
besar-besaran dengan alasan tidak mendukung dan tidak sepandangan. Kasus
semacam ini terjadi di Kabupaten Empat Lawang, Sumatra Selatan, pada 2013
sebagai contoh. Begitu Bupati dan wakilnya dilantik, tidak kurang 750 guru
dan PNS dimutasi. Naifnya, DPRD yang adalah konstituen rakyat tak mampu
berbuat apa-apa. Jadilah para guru dan PNS ini seolah tanpa pegangan dan tak
ada pilihan kecuali "nrimo" dan pasrah.
Selanjutnya,
kepala daerah dan wakilnya mulai "mengamankan" jabatan dan posisi
strategis yang akan menjadi ATM-nya kelak. Posisi-posisi "penting"
seperti kepala dinas, sekretaris daerah pastilah diisi para kerabatnya atau
paling tidak orang-orang yang 100 persen loyal kepadanya.
Jika
ingin diungkap sepuluh catatan yang dikeluarkan oleh Partai Demokrat yang
kemudian memilih walkout itu jelas masih kurang, masih banyak catatan lain
yang mesti diberikan. Itulah sebabnya bagi Koalisi Merah Putih pilihan
pilkada tidak langsung adalah pilihan politik yang layak dipertimbangkan.
Tak sama dengan demophili
Yang tak
kalah mencolok dari efek pilkada adalah munculnya nepotisme yang sangat
kental. Demokrasi, di antaranya dipahami sebagai hak warga untuk menyalurkan
aspirasi sebebas-bebasnya, maka hal itu sebagiannya sudah terwujud dari
berbagai pilkada dan pemilu selama ini. Namun, jika makna ini kita runut ke
arah makna demophili (berasal dari kata demos dan philea) yang artinya 'cinta
rakyat', maka ia menuntut semua elite politik dan aspek kehidupan bernegara
ke arah yang lebih baik.
Kita
menuntut para elite politik rela melepaskan kepentingan sempit (partai,
kelompok, dan keluarga) untuk benar-benar menjelma menjadi orang yang
bertanggung jawab membantu rakyat dan menyejahterakan masyarakat. Di sini
loyalitas, dedikasi sepenuhnya untuk rakyat benar-benar dituntut tanpa
diembel-embeli kepentingan apa pun. Baru demophili ini menjanjikan harapan.
Menengok
beberapa pilkada, demokrasi masih gagal mengusung makna demophili tadi.
Sistem demokrasi di Indonesia ternyata belum menghapus praktik nepotisme.
Banyak elite politik di daerah menyiasati prosedur demokrasi untuk
mengesahkan pembagian kekuasaan kepada kerabat, keluarga, atau orang
dekatnya.
Di Jawa
Timur, Bupati Kediri Haryanti Sutrisno dan Bupati Probolinggo Puput Tantriana
adalah istri dari bupati terdahulu, Sutrisno (Kediri) dan Hasan Aminudin
(Probolinggo).
Contoh
lain, Bupati Bangkalan Makmun Ibnu Fuad juga menggantikan ayahnya, Fuad Amin,
yang adalah bupati dua periode. Makmun baru berusia 24 bulan saat memenangi
pilkada dengan raihan suara 93,4 persen.
Di
Banten siapa yang tak kenal dinasti Ratu Atut Chosiyah yang kini tersangkut
kasus di KPK. Di Jambi, Wali Kota Sungai Penuh Asafri Jaya Bakri telah
menetapkan sejumlah pejabat di 11 satuan kerja perangkat daerah nonjob dan
mengangkat pejabat baru yang diduga sebagai bagian keluarga, kerabat dekat,
dan anggota timsesnya.
Langkah
yang dilakukan Asafri sejak dilantik pada 2012, antara lain, mengangkat
adiknya, Faunal Akhyar, menjadi kepala Inspektorat Sungai penuh. Asafri juga
mengangkat dua keponakannya, M Rasyid, sebagai asisten Bidang Pemerintahan
Kota Sungai Penuh dan Zamroni sebagai kepala Kantor Kependudukan dan Catatan
Sipil.
Di Riau,
nepotisme yang sama juga sedang heboh dibicarakan ketika Gubernur Riau Annas
Maamun yang tertangkap tangan KPK menunjuk anak dan menantunya jadi pejabat
teras di lingkungan pemerintahan provinsi.
Dari
uraian ini, tak pelak (wajah demokrasi) pilkada langsung telah menyisakan
banyak keburukan di samping ada juga kebaikannya. Persoalannya, UU itu telah
disahkan oleh DPR dan patut diingat inisiatif UU ini juga dari pemerintah
sehingga sangat lucu jika Presiden SBY ingin mementahkannya dengan membuat
dua perppu sekaligus.
Penulis
sangat yakin perppu yang nanti dikeluarkan Presiden SBY akan memicu kegaduhan
politik baru yang bisa jadi berimbas akan mempermalukan SBY itu sendiri.
Ingat jika mengacu pada Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 jelas ditegaskan, perppu
hanya bisa diterima atau ditolak oleh DPR. Di DPR saat ini KMP masih di atas
angin.
Yang harus dilakukan?
Pemilihan
umum memang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial menuju ke arah yang
lebih baik atau cleansing agents (agen-agen pembersih) bagi para kandidat
yang memiliki komitmen tinggi kepada rakyat dan negara. Jika tujuannya
membawa ke arah perubahan yang lebih baik, tentu seting demokrasi itu memang
diharapkan demikian.
Namun,
seperti dinyatakan pakar politik Seyla Benhabib (1996) dan Afan Gaffar
(1998), bisa jadi pemilu tak menjamin perubahan apa-apa. Bahkan yang ironis,
hasil pemilu bisa jadi justru menghasilkan keadaan yang lebih buruk
(kontraproduktif).
Menurut
penulis, jika saja kita semua menerima hasil yang disahkan DPR, beberapa hal
dapat dilakukan jika ingin mencegah kekhawatiran munculnya korupsi oleh
legislatif dan eksekutif ke depan.
KPK dan PPATK harus lebih memperketat pengawasannya dengan memperkuat
jaringan ke daerah, toh peluang yang akan mereka korupsi sudah diketahui.
Kemendagri sudah mendirikan Unit Pengendalian Gratifikasi guna mencegah
gratifikasi kepada birokrasi dan pejabat. Lembaga semacam ini harus
diperbanyak dan dipertegas komitmennya untuk antikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar