Meneguhkan
Solidaritas dan Toleransi
Muhammadun ; Analis pada Program Pascasarjana UIN
Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 07 Oktober 2014
Momentum
Hari Raya Idul Adha sangat tepat untuk dijadikan refleksi di tengah berbagai
krisis ketimpangan sosial bangsa. Spirit Idul Adha mengajarkan kepada umat
manusia untuk tulus dalam mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan
kemanusiaan. Peristiwa kesediaan Ismail untuk disembelih sang ayahanda
merupakan bentuk kekuatan iman yang kuat dan simbol berserah diri kepada
Allah secara total. Demikian juga sang ayah.
Dengan
mematuhi perintah-Nya, walaupun dengan sedih, Nabi Ibrahim tetap teguh,
tegar, dan yakin bahwa yang dijalankan adalah sebuah kebenaran. Keyakinan
sang ayah dan sang anak tersebut merupakan modal awal seseorang mengabdikan
dirinya kepada Allah. Keimanan yang dimiliki Ismail mampu mematahkan berbagai
ego pribadinya dan ayahandanya. Apa yang dilakukan Ismail inilah yang
kemudian Idul Adha juga dinamakan Idul Qurban.
Pengorbanan
ketiga Nabi di atas merupakan bukti bahwa totalitas ketaqwaan mereka bukanlah
untuk “diri sendiri”, melainkan berimplikasi positif terhadap kemaslahatan
sosial. Ketaqwaan sosial jugalah yang dijadikan spirit Nabi Musa dan Muhammad
membebaskan kaumnya dari bencana penindasan.
Spirit
Idul Adha sesuai makna historisnya, merupakan ritual keagamaan yang sarat
nuansa simbolik-metaforis yang perlu dimaknai secara kontekstual dalam
pijakan nilai-nilai universal agama. Dalam Islam, makna kontekstual suatu
ibadah tidak bisa dilepaskan dari tiga hal, yakni aspek horizontal (hablum min al-nas), aspek vertikal (hablun min Allah), dan aspek
diagonal-frontal. Ketiga aspek ini tidak bisa dilihat secara parsial, tetapi
harus dipandang secara integral, utuh, dan menyeluruh. Panggilan berkurban
hendaklah disikapi secara multidimensional yang penuh keterpaduan, paling
tidak dia mencakup dua aspek, yaitu horizontal dan vertikal. Dalam aspek
vertikal, Idul Qurban jelas merupakan langkah untuk mendekatkan diri kepada
Allah.
Ini
sesuai dengan makna kurban sendiri yang berarti dekat. Namun, kedekatan kepada
Allah saja tidaklah cukup. Karena itu, pemaknaan kurban harus juga dimaknai
secara horizontal. Pengorbanan yang dilakukan Ibrahim dan Ismail tidak saja
mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga mengantarkan mereka untuk selalu
mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan umat manusia. Sementara itu,
simbol kambing yang menjadi pengganti Ismail adalah simbol kekayaan bangsa
Arab ketika itu.
Orang
yang mempunyai kambing dikatakan sebagai orang yang memiliki kekayaan
berlimpah ruah. Karena itu, dengan mengorbankan kambing, seseorang seolah
telah mengorbankan segala yang dimiliki. Dalam konteks sekarang, berkorban
seharusnya melampaui daripada sebatas kambing saja. Sudah seharusnya kita
berani mengorbankan apa yang kita senangi untuk kepentingan umat manusia.
Dalam
hal ini, Nabi Muhammad adalah salah satu contohnya. Beliau telah mengorbankan
usianya untuk menyebarkan risalah agama kepada umatnya. Apa yang beliau
berdua miliki diserahkan sepenuhnya kepada agama. Artinya, pengorbanan yang
kita lakukan harus mampu menerobos semua aspek dan mampu memberikan jangkauan
dan harapan kepada orang lain. Dalam konteks bangsa Indonesia sekarang ini,
makna pengorbanan Ismail harus kita ambil spiritnya. Khususnya terhadap
saudara-saudara kita yang diterpa bencana.
Pengorbanan
untuk mereka janganlah membawa kepentingan golongan, agama, partai politik,
dan vested interest lainnya. Jangan sampai terjebak dalam dalam transformasi force majure, meminjam istilahnya
Mochtar Buchori, yakni kondisi perubahan yang drastis dipaksakan suatu
kekuatan besar. Perubahan yang muncul dari transformasi force majure adalah perubahan yang tidak pernah kita kehendaki
sebelumnya, tetapi juga tidak pernah kita tolak. Empati menggebu-gebu dalam
membantu saudara dalam konteks transformasi force majure hanyalah sebuah dampak sepintas (a transient impach) yang akan segera
memudar, bukan suatu dampak permanen (permanent
impact) yang membangun semangat solidaritas yang tak pernah putus. Kalau
kita terjebak dalam a transient impach
maka kita gagal memihak suatu keluhuran kemanusiaan. Kita hanya akan
berkorban di saat momentum dengan berbagai ekspos dan pemberitaan dari media
massa. Namun, bila kita terjebak dalam permanent impact, kita selalu merenung
dan berderma untuk meringankan beban sesama di mana pun kita dan kapanpun
kita berada tanpa membedakan asal-usulnya.
Semangat Toleransi
Pengorbanan
yang dilakukan Ibrahim, Ismail, dan Muhammad merupakan bentuk permanent
impact. Sampai sekarang, pengorbanan mereka selalu dijadikan refleksi umat seluruh
dunia untuk membangun toleransi antarsesama. Tugas kita sebagai penerus
perjuangan para nabi tersebut adalah menjadikan posisi agama dalam menjawab
gerak perubahan zaman mampu memberikan aura dan elan viral transformatifnya
dalam bertoleransi.
Pertama,
memainkan peran agama dalam memberi inspirasi dan spirit bagi proses
tumbuhnya transformasi sosial. Keyakinan agama harus mampu mendorong tindakan
jangka panjang, disiplin, sistematis, dalam tugas pekerjaan sekuler sebagai
suatu kewajiban agama. Makhluk beriman harus mampu mendongkrak kembali
kebekuan masyarakat. Mereka yang mengaku telah beriman harus mampu memelopori
perubahan sosial, khususnya yang berada di grass root.
Kedua,
memberikan nilai dan norma atau pedoman dalam perjalanan transformasi sosial
sesuai dengan prinsip-prinsip etis. Pengorbanan para nabi merupakan sebuah
nilai etis agama yang bila dimaknai secara kontekstual akan memberikan daya
gerakan baru dalam transformasi sosial. Karena itu, menumbuhkan civil society harus sesuai prinsip pengorbanan
yang sesuai moralitas agama. Jadi, gerakannya akan membawa semangat baru
keberagamaan.
Menerjemahkan
elan transformatif makna pengorbanan tersebut harus segera direalisasikan.
Jadi, sebagai manusia beriman, kita mampu menjalankan misi profetik agama
dalam membela kaum lemah guna menumbuhkan semangat kebersamaan, kesetaraan,
dan kesejahteraan. Inilah tugas besar kita karena "orang beriman",
kata Muhammad Iqbal, "ialah bayang-bayang Tuhan.
Tiap detik kehidupan melahirkan kemenangan". Ilahi, kata Iqbal,
berarti terus diputi kekuatan, tidak pasif, tidak menunggu. Kaum beriman
harus kreatif, inovatif, dan bersegera mengorganisasi kaum lemah di tengah
bencana untuk diberdayakan dengan potensinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar