Kamis, 09 Oktober 2014

Meneguhkan Solidaritas dan Toleransi

Meneguhkan Solidaritas dan Toleransi

Muhammadun  ;   Analis pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  07 Oktober 2014




Momentum Hari Raya Idul Adha sangat tepat untuk dijadikan refleksi di tengah berbagai krisis ketimpangan sosial bangsa. Spirit Idul Adha mengajarkan kepada umat manusia untuk tulus dalam mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan kemanusiaan. Peristiwa kesediaan Ismail untuk disembelih sang ayahanda merupakan bentuk kekuatan iman yang kuat dan simbol berserah diri kepada Allah secara total. Demikian juga sang ayah.

Dengan mematuhi perintah-Nya, walaupun dengan sedih, Nabi Ibrahim tetap teguh, tegar, dan yakin bahwa yang dijalankan adalah sebuah kebenaran. Keyakinan sang ayah dan sang anak tersebut merupakan modal awal seseorang mengabdikan dirinya kepada Allah. Keimanan yang dimiliki Ismail mampu mematahkan berbagai ego pribadinya dan ayahandanya. Apa yang dilakukan Ismail inilah yang kemudian Idul Adha juga dinamakan Idul Qurban.

Pengorbanan ketiga Nabi di atas merupakan bukti bahwa totalitas ketaqwaan mereka bukanlah untuk “diri sendiri”, melainkan berimplikasi positif terhadap kemaslahatan sosial. Ketaqwaan sosial jugalah yang dijadikan spirit Nabi Musa dan Muhammad membebaskan kaumnya dari bencana penindasan.

Spirit Idul Adha sesuai makna historisnya, merupakan ritual keagamaan yang sarat nuansa simbolik-metaforis yang perlu dimaknai secara kontekstual dalam pijakan nilai-nilai universal agama. Dalam Islam, makna kontekstual suatu ibadah tidak bisa dilepaskan dari tiga hal, yakni aspek horizontal (hablum min al-nas), aspek vertikal (hablun min Allah), dan aspek diagonal-frontal. Ketiga aspek ini tidak bisa dilihat secara parsial, tetapi harus dipandang secara integral, utuh, dan menyeluruh. Panggilan berkurban hendaklah disikapi secara multidimensional yang penuh keterpaduan, paling tidak dia mencakup dua aspek, yaitu horizontal dan vertikal. Dalam aspek vertikal, Idul Qurban jelas merupakan langkah untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ini sesuai dengan makna kurban sendiri yang berarti dekat. Namun, kedekatan kepada Allah saja tidaklah cukup. Karena itu, pemaknaan kurban harus juga dimaknai secara horizontal. Pengorbanan yang dilakukan Ibrahim dan Ismail tidak saja mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga mengantarkan mereka untuk selalu mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan umat manusia. Sementara itu, simbol kambing yang menjadi pengganti Ismail adalah simbol kekayaan bangsa Arab ketika itu.

Orang yang mempunyai kambing dikatakan sebagai orang yang memiliki kekayaan berlimpah ruah. Karena itu, dengan mengorbankan kambing, seseorang seolah telah mengorbankan segala yang dimiliki. Dalam konteks sekarang, berkorban seharusnya melampaui daripada sebatas kambing saja. Sudah seharusnya kita berani mengorbankan apa yang kita senangi untuk kepentingan umat manusia.

Dalam hal ini, Nabi Muhammad adalah salah satu contohnya. Beliau telah mengorbankan usianya untuk menyebarkan risalah agama kepada umatnya. Apa yang beliau berdua miliki diserahkan sepenuhnya kepada agama. Artinya, pengorbanan yang kita lakukan harus mampu menerobos semua aspek dan mampu memberikan jangkauan dan harapan kepada orang lain. Dalam konteks bangsa Indonesia sekarang ini, makna pengorbanan Ismail harus kita ambil spiritnya. Khususnya terhadap saudara-saudara kita yang diterpa bencana.

Pengorbanan untuk mereka janganlah membawa kepentingan golongan, agama, partai politik, dan vested interest lainnya. Jangan sampai terjebak dalam dalam transformasi force majure, meminjam istilahnya Mochtar Buchori, yakni kondisi perubahan yang drastis dipaksakan suatu kekuatan besar. Perubahan yang muncul dari transformasi force majure adalah perubahan yang tidak pernah kita kehendaki sebelumnya, tetapi juga tidak pernah kita tolak. Empati menggebu-gebu dalam membantu saudara dalam konteks transformasi force majure hanyalah sebuah dampak sepintas (a transient impach) yang akan segera memudar, bukan suatu dampak permanen (permanent impact) yang membangun semangat solidaritas yang tak pernah putus. Kalau kita terjebak dalam a transient impach maka kita gagal memihak suatu keluhuran kemanusiaan. Kita hanya akan berkorban di saat momentum dengan berbagai ekspos dan pemberitaan dari media massa. Namun, bila kita terjebak dalam permanent impact, kita selalu merenung dan berderma untuk meringankan beban sesama di mana pun kita dan kapanpun kita berada tanpa membedakan asal-usulnya.

Semangat Toleransi

Pengorbanan yang dilakukan Ibrahim, Ismail, dan Muhammad merupakan bentuk permanent impact. Sampai sekarang, pengorbanan mereka selalu dijadikan refleksi umat seluruh dunia untuk membangun toleransi antarsesama. Tugas kita sebagai penerus perjuangan para nabi tersebut adalah menjadikan posisi agama dalam menjawab gerak perubahan zaman mampu memberikan aura dan elan viral transformatifnya dalam bertoleransi.

Pertama, memainkan peran agama dalam memberi inspirasi dan spirit bagi proses tumbuhnya transformasi sosial. Keyakinan agama harus mampu mendorong tindakan jangka panjang, disiplin, sistematis, dalam tugas pekerjaan sekuler sebagai suatu kewajiban agama. Makhluk beriman harus mampu mendongkrak kembali kebekuan masyarakat. Mereka yang mengaku telah beriman harus mampu memelopori perubahan sosial, khususnya yang berada di grass root.

Kedua, memberikan nilai dan norma atau pedoman dalam perjalanan transformasi sosial sesuai dengan prinsip-prinsip etis. Pengorbanan para nabi merupakan sebuah nilai etis agama yang bila dimaknai secara kontekstual akan memberikan daya gerakan baru dalam transformasi sosial. Karena itu, menumbuhkan civil society harus sesuai prinsip pengorbanan yang sesuai moralitas agama. Jadi, gerakannya akan membawa semangat baru keberagamaan.

Menerjemahkan elan transformatif makna pengorbanan tersebut harus segera direalisasikan. Jadi, sebagai manusia beriman, kita mampu menjalankan misi profetik agama dalam membela kaum lemah guna menumbuhkan semangat kebersamaan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Inilah tugas besar kita karena "orang beriman", kata Muhammad Iqbal, "ialah bayang-bayang Tuhan.

Tiap detik kehidupan melahirkan kemenangan". Ilahi, kata Iqbal, berarti terus diputi kekuatan, tidak pasif, tidak menunggu. Kaum beriman harus kreatif, inovatif, dan bersegera mengorganisasi kaum lemah di tengah bencana untuk diberdayakan dengan potensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar