Minggu, 19 Oktober 2014

Karakter Ekonomi Bangsa

                                        Karakter Ekonomi Bangsa

Ahmad Erani Yustika  ;   Guru Besar FEB Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
KOMPAS,  16 Oktober 2014

                                                                                                                       


OKTOBER  2014 akan ditandai oleh dua cuaca penting. Cuaca alam menandai pergantian musim dari kemarau ke hujan, yaitu ketika Tuhan mengirimkan hujan untuk menyuburkan tanah dan petani mulai bercocok tanam. Sementara cuaca politik ditandai dengan peralihan kekuasaan, yaitu pemerintahan baru membongkar kebijakan usang yang tak relevan dan memproduksi kebijakan baru yang lebih segar. Petani bekerja dengan sumber nilai lokal dan tradisi panjang, sedangkan kekuasaan berjalan berdasarkan otoritas konstitusi dan kapasitas teknokratis. Dalam konteks ekonomi, platform yang disusun selalu mengandaikan derivasi nilai bersumber dari ideologi (konstitusi) itu. Jika tidak, pasti akan ditinggalkan karena tak setia dengan ikrar negara. Jika proses politik tak dicederai kepentingan sempit, kebijakan dan program ekonomi satu lini dengan platform berbasis ideologi itu. Selama masa kampanye pilpres terlihat nuansa itu, benih program ekonomi disebar di atas tanah konstitusi. Rakyat tentu bersiap memanen dan merayakan hasil tanam itu.

Kolektivitas ekonomi

Ideologi tak pernah bebas nilai, tetapi memihak kepada nilai-nilai tertentu yang dianggap lebih bajik dan sesuai dengan konteks sosial-budaya. Oleh karena itu, tiap ideologi akan turun dalam sebuah sistem yang memiliki karakter spesifik. Dasar negara dan konstitusi yang kita miliki tak bisa pula mengelak dari takdir itu. Tergambar jelas dari sila-sila dasar negara (Pancasila) dan pasal-pasal ekonomi konstitusi (UUD 1945) tentang afirmasi nilai tersebut.

Pasal 33 UUD 1945 adalah induk dari penyusunan dasar-dasar penyelenggaraan ekonomi, sedangkan sila kelima Pancasila menjadi alat ukur pencapaian pelaksanaan ekonomi itu. Watak kolektivitas ekonomi tak dapat dihindari jika merujuk kepada panduan itu sebab term ”usaha bersama” dan ”keadilan sosial” sudah sedemikian terang-benderang tertulis dalam dasar negara dan konstitusi. Kolektivitas ekonomi memiliki makna sebuah gerakan bersama, bukan inisiatif individu-individu yang dirangsang oleh motif profit perorangan.

Karakter itulah yang kini lenyap dari wajah ekonomi Indonesia. Dalam bingkai konstitusi dan dasar negara itu, sekurangnya tiga ciri yang harus muncul: (i) fragmentasi ekonomi tak akan terjadi, khususnya antara faktor produksi modal dan pekerja sebab kegiatan ekonomi adalah bangun usaha yang diniati sebagai gerakan bersama. Pemilik produksi dan yang menjalankan usaha adalah pihak yang sama, yang dikelola secara kolektif, sehingga tiap-tiap urusan/usaha dimiliki, diputuskan, dan ditanggung secara bersama-sama; (ii) negara diberi ruang yang besar mengurus hajat publik sehingga kebutuhan dasar rakyat tercukupi.

Secara eksplisit peran negara tidak sekadar membuat regulasi (yang dijalankan pemerintah), tetapi juga mengambil peran aktif sebagai aktor ekonomi, seperti yang diperlihatkan dalam frasa ”dikuasai oleh negara”; dan (iii) hilir ekonomi dianggap berhasil apabila distribusi merata sehingga keadilan sosial terselenggara. Kesejahteraan dianggap separuh pencapaian, yang hanya lengkap jika diikuti dengan keadilan (pemerataan). Peran regulasi pemerintah kian eksesif di sini.

Dari awal sampai akhir, sila dasar negara dan pasal-pasal ekonomi itu tak memantik paradoks apa pun. Jika landasan ekonomi adalah gerakan kolektif, kegiatan produksi dan hasil yang dibagi (distribusi) berada dalam satu tarikan napas. Sejak dari hulu kemungkinan menyusupnya disparitas sudah dipangkas. Di sini, bangun usaha koperasi dijadikan sebagai referensi sebab penyelenggaraannya secara utuh memantulkan nilai-nilai mulia tersebut.

Berikutnya, negara tak dibiarkan ”netral” dalam memformulasikan peraturan sebab dibebani aneka tanggung jawab sosial yang sangat besar, seperti penciptaan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, kecukupan pangan-sandang-papan, pendidikan rakyat, kesehatan warga, dan menafkahi fakir-miskin (dan anak telantar). Jika format itu yang dijalankan, keadilan pada tingkat hilir pasti akan tercipta (plus regulasi) sebab distribusi di hulu sudah meniscayakan pemerataan. Itulah karakter ”demokrasi ekonomi” Indonesia.

Jika karakter ekonomi konstitusi itu dikaitkan dengan keadaan hari ini, akan dijumpai selisih jalan. Kegiatan ekonomi, khususnya produksi, tak mengandaikan adanya kedaulatan rakyat atas faktor produksi. Ekonomi dipadatkan sebagai hubungan pemilik modal dan pekerja sehingga relasi yang dibangun semata pembagian nisbah ekonomi dalam posisi yang tak setara. Faktor produksi sepenuhnya dipegang yang empunya modal (dan tanah). Pekerja hanya berdaulat atas keterampilan dan tenaga yang dipunyai, itu pun dengan mekanisme kontrak lemah.

Di sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, misalnya pertanian, kekuasaan faktor produksi modal dan tanah sudah lama lenyap dari tangan petani. Modal baru mengalir jika tangan menadah ke rentenir karena akses ke lembaga keuangan formal begitu sempit. Kepemilikan lahan lebih nestapa lagi, diisap struktur ekonomi yang tak memihak sehingga kian lama penguasaan tanah kian kecil. Sebaliknya, pemilik modal bisa menguasai ratusan ribu hektar, nyaris tanpa batas.

Pada saat sebagian besar urusan ekonomi diserahkan pasar, terdapat sendi-sendi kepentingan publik yang tercerabut. Pada saat peran efektif negara hilang, residu ekonomi banyak bermunculan di lapangan. Saat ini pekerja sektor informal kita sekitar 59 persen. Jika jumlah total tenaga kerja sekitar 130 juta, jumlah itu setara dengan 75 juta tenaga kerja. Pekerja sektor informal ini tak dilindungi hukum, kepastian berusaha rapuh, upah rendah (kadang tak dibayar), jaminan sosial absen (kesehatan), dan lain-lain.

Demikian juga soal pangan-sandang-papan. Kedaulatan pangan dalam ancaman karena produksi dan distribusi tak lagi dilakukan dan dipunyai para petani. Akses sebagian penduduk kian mengecil atas pangan karena harga yang nyaris menyundul langit. Harga rumah makin tak terjangkau sehingga kurang lebih ada 10 juta-15 juta rumah tangga yang tak punya rumah (laik). Ini semua menghendaki peran negara yang aktif, bukan semata regulator.

Keniscayaan berikutnya adalah disparitas yang makin menganga karena konsentrasi faktor produksi dan kebijakan distribusi yang tumpul. Pemilik faktor produksi menikmati pertumbuhan laba yang besar, berlipat ketimbang tingkat inflasi. Sebaliknya, penerima upah (kelompok pekerja) berjibaku menyesuaikan pertumbuhan pendapatan yang hanya cukup menyerap kenaikan harga barang.

Sementara itu, kebijakan pajak dan transfer pemerintah kurang tajam sehingga tidak dapat memangkas perbedaan pendapatan antar-golongan. Reformasi pajak hanya menyangkut teknis pemungutan dan perluasan wajib pajak, tetapi tak menyasar tingkat ideal tarif pajak yang senapas dengan cita-cita keadilan sosial. Transfer pemerintah hampir tidak jalan karena skema yang integratif belum disusun secara sistematis. Misalnya, bagaimana bentuk transfer yang solid bagi kelompok penganggur, grup disabilitas, tunjangan pendapatan kaum miskin, kerumunan tunatanah, dan sebagainya.

Preferensi sosial   

Pilpres yang telah usai beberapa saat lalu menggembirakan karena kandidat mencoba merebut napas konstitusi dalam formulasi platform ekonomi sehingga harapan perekonomian ditata sesuai dengan mandat konstitusi mendapatkan jalannya kembali. Pada titik ini, peristiwa pilpres tersebut boleh dianggap sebagai kemenangan konstitusi sehingga api asa ekonomi dapat dinyalakan lagi. Paling pokok, perbaikan fundamental berpikir dalam pembaruan ekonomi harus disempurnakan sebab dalam platform masih dijumpai kebijakan dan program tanpa didahului narasi ideologis yang ditulis dengan solid.

Hal ini bisa dimengerti sebab pada masa kampanye memang prioritas kebijakan dan program lebih ditunggu masyarakat ketimbang aspek-aspek yang kelihatan absurd. Kini saatnya pemerintahan (baru) merumuskan kelembagaan paling tinggi (the highest level of institutions) sebagai induk desain kebijakan dan program, yang tentu saja disarikan dari konstitusi. Dari sinilah utang kepada konstitusi dicicil sedikit demi sedikit.

Jika tugas itu telah usai, pemerintah lebih mudah memutuskan prioritas atas pilihan-pilihan kebijakan (current choices of the government). Harus dipahami bahwa pemerintahan ini dibatasi usia administratif karena pagu waktu yang diberikan hanya lima tahun. Artinya, tujuan-tujuan normatif konstitusi tak mungkin diwujudkan dalam masa singkat itu sehingga opsi prioritas menjadi penting. Fakta pokok yang tersedia, presiden (baru) telah memiliki sekian banyak kebijakan dan program sehingga proses seleksi dapat dikerjakan. Seleksi itu sekurangnya bisa dilakukan dengan dua pendekatan.

Pertama, seleksi substantif. Maksudnya, garis-garis besar mandat konstitusi semuanya telah diakomodasi dalam prioritas kebijakan/program. Pasal-pasal ekonomi yang termaktub di konstitusi seluruhnya, tanpa kecuali, harus terpancarkan dalam kebijakan ekonomi. Kedua, seleksi problematik. Persoalan-persoalan genting menyangkut hajat publik, semacam akses pangan, pengelolaan sumber daya alam, dan disparitas pendapatan, memperoleh urutan penanganan segera.

Pekerjaan rumah terakhir adalah menyingkap preferensi sosial (identification of social preferences) untuk memastikan kebijakan/program yang hendak dieksekusi betul-betul merupakan pantulan hasrat rakyat. Acap kali kebijakan gagal dijalankan bukan karena kualitas kelembagaan yang buruk, melainkan kesenjangan antara preferensi sosial dan prioritas pemerintah. Masalah jamak yang sering berlangsung, kebijakan pemerintah yang sudah mempertimbangkan aspek teknokratis belum tentu merupakan kebutuhan rakyat karena di lapangan rakyat bergulat dengan kenyataan pedih hidup yang lain.

Gerakan blusukan (dan model menjala aspirasi lain yang lebih terlembagakan) menjadi penting di sini sehingga patut dijadikan sumber untuk merekatkan antara preferensi publik dan itikad pemerintah. Pola ini tak boleh dilakukan semata untuk memenuhi disiplin prosedur, tetapi harus dihayati sebagai telinga hati negara untuk mendengar suara lirih rakyat. Mari menyatukan hati dan tekad untuk mewujudkan cita-cita luhur ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar