Landasan
Hukum Poros Maritim Dunia
Sudirman Saad ; Ketua Tim Pemerintah dalam Pembahasan
RUU Kelautan Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, KKP
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Oktober 2014
SEPI
tanpa polemik berarti. Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan disahkan
paripurna DPR persis di penghujung masa sidang 29 September lalu jelang
tengah malam. RUU Kelautan itu sejatinya telah melampaui rentang waktu yang
sangat panjang. Itu bermula ketika Presiden Abdurrahman Wahid membentuk
Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) yang disusul Dewan Maritim
Indonesia (DMI) pada 1999.
DMI
dipimpin langsung Presiden Gus Dur dengan Ketua Harian Sarwono Kusumaatmadja,
Menteri DELP, dan beranggotakan pakar kelautan. Pada hari-hari pertama, DMI
telah memulai kajian akademik RUU Kelautan dan hingga berganti nama menjadi
Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) pada 2007 kajian tersebut terus berlanjut.
Setelah
surut beberapa tahun lamanya, RUU Kelautan kemudian muncul sebagai inisiatif
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 2013 dan memperoleh momentum pasang
kembali ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo berhasil
mempertemukan Ketua DPR dan Ketua DPD. Ketiganya sepakat mengegolkan RUU Kelautan
pada masa sidang 2014.
UU
Kelautan penting bagi bangsa kita karena dua alasan; pertama karena Indonesia
merupakan penggagas konsepsi negara kepulauan berciri Nusantara. Deklarasi
Djuanda 1957 merupakan tonggak sejarah pertama perjuangan diplomasi menuju
pengakuan dunia. Berkat kegigihan dan kecemerlangan diplomat kita ketika itu,
akhirnya dunia mengakui konsepsi tersebut melalui Konvensi Perserikatan
Bangsabangsa tentang Hukum Laut pada 1982.
Kedua
karena Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang sudah
barang tentu mengandung potensi ekonomi, keanekaragaman hayati, dan budaya
bahari. Potensi ekonomi terdiri atas sumber daya alam terbarukan (renewable resources), antara lain
perikanan, terumbu karang, mangrove, rumput laut, dan padang lamun; sumber
daya alam tak terbarukan (nonrenewable
resources), yaitu minyak, gas bumi, bahan tambang, dan mineral lainnya;
energi kelautan berupa energi gelombang, energi pasang surut, energi arus
laut, dan energi panas laut; serta jasa lingkungan di antaranya berupa media
transportasi, komunikasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, pertahanan dan
keamanan, pengatur iklim, dan sistem penunjang kehidupan lainnya.
Tekad Presiden
UU
Kelautan menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan, yang berdasarkan Konvensi
Hukum Laut Internasional 1982, selain memiliki wilayah perairan, wilayah
yurisdiksi, dan kawasan dasar laut, juga mempunyai kesempatan untuk
memanfaatkan potensi maritim di laut lepas dan kawasan dasar laut
internasional. Penegasan itu mengisyaratkan bahwa Indonesia, selain akan
mengoptimalkan pengelolaan sumber daya lautnya sendiri, juga akan mulai
berkiprah di laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Hal itu sejalan
dengan tekad Presiden Joko Widodo untuk menempatkan Indonesia sebagai poros
maritim dunia.
Substansi
lain yang terkandung dalam UU tersebut ialah penataan ruang laut, zonasi
selat dan teluk, perlindungan lingkungan laut, konservasi laut, keamanan
laut, serta pemanfaatan sumber daya laut dengan prinsip Ekonomi Biru.
Penataan
ruang laut nasional serta zonasi teluk dan selat merupakan lompatan
paradigmatik. Melalui penataan ruang laut, paradigma `milik bersama' (common property) dengan prinsip `siapa
yang menguasai pertama kali dialah yang berhak', berakhir sudah. Laut wajib
ditata sesuai daya dukungnya agar semua kepentingan berjalan seiring dan
sinergis.
Ada
alokasi ruang pemanfaatan umum untuk menampung kepentingan perikanan,
pertambangan, dan bangunan laut. Ada alokasi ruang alur untuk kepentingan
pelayaran, pipa dan kabel bawah laut, dan ruaya ikan. Ada alokasi ruang
perlindungan laut untuk kepentingan konservasi dan pariwisata bahari. Ada
pula alokasi ruang strategis untuk pertahanan dan keamanan.
Sesudah
semua pemangku kepentingan terakomodasi dalam tata ruang laut, proses pemanfaatan
selanjutnya wajib menjunjung prinsip Ekonomi Biru. Prinsip itu bertujuan agar
pemanfaatan sumber daya laut lebih efisien, menyerap tenaga kerja lebih
banyak, meminimalkan limbah, dan mendorong inovasi teknologi. Prinsip Ekonomi
Biru sudah diterima dunia.
UU
Kelautan juga mengakhiri kegamangan pengawasan dan penegakan hukum di laut
akibat beroperasinya kapal pengawas berbagai unit kerja sektoral berdasarkan
UU masing-masing. UU itu memerintahkan agar dalam waktu paling lambat enam
bulan pemerintah wajib membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang
menjalankan fungsi patroli laut secara terkoordinasi dan terintegrasi.
Bakamla, misalnya, dapat memerintahkan kapal Bea dan Cukai mencegat kapal
ikan yang terindikasi melanggar hukum apabila posisinya paling dekat dengan
lokasi kejadian.
Tentu
saja disadari sepenuhnya, masalah maritim tidak akan terselesaikan dengan UU
itu. Namun, setidaknya UU tersebut memberikan pijakan kuat bagi pemerintahan
Jokowi-JK untuk segera bekerja mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar