Rabu, 22 Oktober 2014

Landasan Hukum Poros Maritim Dunia

Landasan Hukum Poros Maritim Dunia

Sudirman Saad  ; Ketua Tim Pemerintah dalam Pembahasan RUU Kelautan Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, KKP
MEDIA INDONESIA, 21 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


SEPI tanpa polemik berarti. Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan disahkan paripurna DPR persis di penghujung masa sidang 29 September lalu jelang tengah malam. RUU Kelautan itu sejatinya telah melampaui rentang waktu yang sangat panjang. Itu bermula ketika Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) yang disusul Dewan Maritim Indonesia (DMI) pada 1999.

DMI dipimpin langsung Presiden Gus Dur dengan Ketua Harian Sarwono Kusumaatmadja, Menteri DELP, dan beranggotakan pakar kelautan. Pada hari-hari pertama, DMI telah memulai kajian akademik RUU Kelautan dan hingga berganti nama menjadi Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) pada 2007 kajian tersebut terus berlanjut.

Setelah surut beberapa tahun lamanya, RUU Kelautan kemudian muncul sebagai inisiatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 2013 dan memperoleh momentum pasang kembali ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo berhasil mempertemukan Ketua DPR dan Ketua DPD. Ketiganya sepakat mengegolkan RUU Kelautan pada masa sidang 2014.

UU Kelautan penting bagi bangsa kita karena dua alasan; pertama karena Indonesia merupakan penggagas konsepsi negara kepulauan berciri Nusantara. Deklarasi Djuanda 1957 merupakan tonggak sejarah pertama perjuangan diplomasi menuju pengakuan dunia. Berkat kegigihan dan kecemerlangan diplomat kita ketika itu, akhirnya dunia mengakui konsepsi tersebut melalui Konvensi Perserikatan Bangsabangsa tentang Hukum Laut pada 1982.

Kedua karena Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang sudah barang tentu mengandung potensi ekonomi, keanekaragaman hayati, dan budaya bahari. Potensi ekonomi terdiri atas sumber daya alam terbarukan (renewable resources), antara lain perikanan, terumbu karang, mangrove, rumput laut, dan padang lamun; sumber daya alam tak terbarukan (nonrenewable resources), yaitu minyak, gas bumi, bahan tambang, dan mineral lainnya; energi kelautan berupa energi gelombang, energi pasang surut, energi arus laut, dan energi panas laut; serta jasa lingkungan di antaranya berupa media transportasi, komunikasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan, pengatur iklim, dan sistem penunjang kehidupan lainnya.

Tekad Presiden

UU Kelautan menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan, yang berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, selain memiliki wilayah perairan, wilayah yurisdiksi, dan kawasan dasar laut, juga mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan potensi maritim di laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Penegasan itu mengisyaratkan bahwa Indonesia, selain akan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya lautnya sendiri, juga akan mulai berkiprah di laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Hal itu sejalan dengan tekad Presiden Joko Widodo untuk menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Substansi lain yang terkandung dalam UU tersebut ialah penataan ruang laut, zonasi selat dan teluk, perlindungan lingkungan laut, konservasi laut, keamanan laut, serta pemanfaatan sumber daya laut dengan prinsip Ekonomi Biru.

Penataan ruang laut nasional serta zonasi teluk dan selat merupakan lompatan paradigmatik. Melalui penataan ruang laut, paradigma `milik bersama' (common property) dengan prinsip `siapa yang menguasai pertama kali dialah yang berhak', berakhir sudah. Laut wajib ditata sesuai daya dukungnya agar semua kepentingan berjalan seiring dan sinergis.

Ada alokasi ruang pemanfaatan umum untuk menampung kepentingan perikanan, pertambangan, dan bangunan laut. Ada alokasi ruang alur untuk kepentingan pelayaran, pipa dan kabel bawah laut, dan ruaya ikan. Ada alokasi ruang perlindungan laut untuk kepentingan konservasi dan pariwisata bahari. Ada pula alokasi ruang strategis untuk pertahanan dan keamanan.

Sesudah semua pemangku kepentingan terakomodasi dalam tata ruang laut, proses pemanfaatan selanjutnya wajib menjunjung prinsip Ekonomi Biru. Prinsip itu bertujuan agar pemanfaatan sumber daya laut lebih efisien, menyerap tenaga kerja lebih banyak, meminimalkan limbah, dan mendorong inovasi teknologi. Prinsip Ekonomi Biru sudah diterima dunia.

UU Kelautan juga mengakhiri kegamangan pengawasan dan penegakan hukum di laut akibat beroperasinya kapal pengawas berbagai unit kerja sektoral berdasarkan UU masing-masing. UU itu memerintahkan agar dalam waktu paling lambat enam bulan pemerintah wajib membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang menjalankan fungsi patroli laut secara terkoordinasi dan terintegrasi. Bakamla, misalnya, dapat memerintahkan kapal Bea dan Cukai mencegat kapal ikan yang terindikasi melanggar hukum apabila posisinya paling dekat dengan lokasi kejadian.

Tentu saja disadari sepenuhnya, masalah maritim tidak akan terselesaikan dengan UU itu. Namun, setidaknya UU tersebut memberikan pijakan kuat bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk segera bekerja mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar