Rabu, 22 Oktober 2014

Jokowi dan Politik Pendidikan Jalan Tengah

Jokowi dan Politik Pendidikan Jalan Tengah

Ahmad Baedowi  ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


HARI ini, Senin, 20 Oktober 2014, Joko Widodo (Jokowi) resmi disumpah menjadi Presiden Ketujuh RI. Setelah mengalami ketegangan akibat tingginya tensi dan suhu politik selama kurang lebih tujuh bulan, akhirnya bangsa ini bisa menerima sosok Jokowi sebagai presiden pilihan rakyat. Dalam kesederhanaan langkah dan penampilan, Jokowi telah menjelma menjadi seorang guru bangsa yang berpikir dan bertindak untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai ataupun golongan tertentu. Kedatangannya menyambangi lawan politiknya dalam kontestasi pilpres, Prabowo Subianto, di kediaman Prabowo menunjukkan Jokowi tak bisa memelihara dendam.

Tidak seperti pendahulunya, Megawati dan SBY yang hingga hari ini masih dibaluti dendam politik masa lalu, Jokowi menunjukkan kesadarannya kepada publik bahwa selalu ada jalan tengah yang tak pernah menghitung persoalan kalah-menang. Seperti maxim Arab, khairul umur awsathuha, Jokowi menjadi penafsir yang elegan tentang pentingnya kese imbangan rasa, keseimbangan pola pikir, serta keseimbangan moralitas dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Itulah makanya dengan kesederhanaannya, dia bersedia menyimpan egonya dan mendatangi sekaligus berdialog dengan lawan politiknya.

Politik jalan tengah ala Jokowi itu sebenarnya bukan tanpa alasan. Jokowi sepenuhnya menyadari bahwa kalau tak karena dendam, pastilah negeri ini sudah aman damai, baldatun thoyyibatun warabbun ghafur. Namun, karena aman dan damai (baldah thoyyibah) tak kunjung datang, ampunan Tuhan pun (rabbun ghafur) pasti tak akan sampai. Jadi, jelas sekali hubungan antara yang material dan imaterial, yang wujud dengan yang gaib, selalu harus menjadi dua prasyarat yang tidak bisa dinisbikan satu dengan lainnya. Dendam seolah menjadi prasyarat yang tak pernah bisa dilepaskan sekaligus dilupakan para pemimpin politik dan keagamaan kita, hingga akhirnya Jokowi mengambil jalan lain yang berbeda dari para mentor politiknya.

Dendam adalah penyakit keturunan manusia yang sengaja disisipkan Tuhan melalui setan. Perasaan dendam, sama dengan cinta, tak pernah ada kata yang bisa mendefinisikannya secara pas. Karena dendam menyangkut kumpulan rasa, terkadang kehadirannya tak bisa kita duga dan sapa secara pasti dan nyata. Dendam pula yang membuat hati jutaan manusia selalu menduga-duga, ada apa di balik setiap peristiwa. Yang nyata dari sebuah dendam hanya tampak pada hasilnya yang sering kali destruktif, tak peduli benar atau salah. Namun, di tangan Jokowi, dendam menjadi tidak berlaku.

Ikhtiar Jokowi yang selalu mencari keseimbangan dan jalan tengah juga dapat kita lihat dari rekam jejaknya ketika menjadi Gubernur DKI. Karena birokrasi dianggapnya penuh dendam dan jauh dari realitas masyarakat yang sesungguhnya, ia melantik Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jakarta Timur di tengah-tengah perkampungan kumuh di daerah Pulo Jahe.Di tengah-tengah rigiditas birokrasi yang terkesan jauh dari keseharian masyarakat, apa yang dilakukan Jokowi ialah angin segar dalam rangka mengembalikan fungsi pemerintah yang seharusnya memiliki kepekaan lingkungan sekitar.

Dalam perspektif pendidikan, prinsip keseimbangan dan jalan tengah sesungguhnya nisbah terhadap keyakinan bahwa selalu ada jalan dan alasan mengapa sesuatu tidak sepenuhnya harus berjalan satu arah. Di tengah maraknya proses pendidikan yang lebih didominasi guru sebagai satu-satunya sumber belajar, pembelajaran yang berkeseimbangan (equilibrium based learning) adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran guru dan siswa tentang pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni antara rasa-cipta-karsa dan kondisi aktual yang terjadi di sekitar kehidupan siswa.

Tak bisa dihindari bahwa sistem pendidikan kita sejauh ini masih belum mampu membentuk pengalaman belajar siswa secara autentik. Banyak aktivitas belajar yang tak membentuk pengalaman belajar siswa sehingga apa yang diperoleh siswa sering kali tak bermakna karena tidak berkaitan dan bersumber dari lingkungan siswa itu sendiri. Itu disebabkan kebanyakan guru masih minim dalam menentukan materi dan pengalaman belajar yang dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa dan/atau daerah.

Hasil penelitian John Dewey (1916) menyimpulkan siswa akan belajar dengan baik bila apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Karena itu, pembelajaran kontekstual jelas merupakan tuntutan terpenting dari skenario strategi pembelajaran dalam rencana kurikulum baru 2013. Dengan kesadaran pentingnya kompetensi sikap (attitude), melihat siswa sebagai subjek didik adalah imperatif.

Sebagaimana Jokowi, para guru di ruang-ruang kelas sepantasnya memiliki pola pikir yang sama bahwa pembelajaran bukanlah proses kosong yang berdiri sendiri, melainkan harus dibenturkan dengan kondisi aktual di sekeliling siswa. Karena itu, kreativitas guru dalam membangun basis pengalaman siswa melalui proses belajar-mengajar harus menekankan kemampuan pemecahan masalah. Guru harus memiliki kesadaran bahwa mengajar merupakan proses penemuan keseimbangan antara aspek afektif, psikomotorik, dan kognitif sekaligus. Kesadaran keseimbangan dan jalan tengah itulah yang secara sangat baik telah ditunjukkan Jokowi dalam perilaku politiknya.

Dalam prinsip moralitas politik pendidikan, pembelajaran jelas harus dimulai dengan kesadaran mencari keseimbangan pikir, rasa, dan sikap. Karena itu, sebagaimana Jokowi, para guru kita harus mampu mengenalkan karakter kerja sama, saling menunjang dan menyenangkan dengan menggunakan berbagai sumber belajar yang terintegrasi satu sama lain. Itu artinya bahwa setiap proses belajar-mengajar harus berkaitan satu dengan lainnya (relating), memberikan pengalaman atau mengalami (experiencing) yang dilanjutkan dengan bagaimana cara menggunakan atau menerapkannya (applying). Strategi dasar dari pembelajaran kontekstual itu jelas membutuhkan kerja sama (cooperating) antara guru dan guru, guru dan siswa, serta siswa dan siswa, agar terjadi proses peralihan ilmu (transferring) dengan cara yang natural.Artinya, setiap guru harus meyakini bahwa pendidikan adalah proses yang harus terus berlangsung, tidak berhenti pada hasil. Selamat datang, Presiden Ketujuh, selamat menjalankan amanat rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar