Jokowi
dan Politik Pendidikan Jalan Tengah
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Oktober 2014
HARI
ini, Senin, 20 Oktober 2014, Joko Widodo (Jokowi) resmi disumpah menjadi
Presiden Ketujuh RI. Setelah mengalami ketegangan akibat tingginya tensi dan
suhu politik selama kurang lebih tujuh bulan, akhirnya bangsa ini bisa
menerima sosok Jokowi sebagai presiden pilihan rakyat. Dalam kesederhanaan
langkah dan penampilan, Jokowi telah menjelma menjadi seorang guru bangsa
yang berpikir dan bertindak untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan
partai ataupun golongan tertentu. Kedatangannya menyambangi lawan politiknya
dalam kontestasi pilpres, Prabowo Subianto, di kediaman Prabowo menunjukkan
Jokowi tak bisa memelihara dendam.
Tidak
seperti pendahulunya, Megawati dan SBY yang hingga hari ini masih dibaluti
dendam politik masa lalu, Jokowi menunjukkan kesadarannya kepada publik bahwa
selalu ada jalan tengah yang tak pernah menghitung persoalan kalah-menang.
Seperti maxim Arab, khairul umur awsathuha, Jokowi menjadi penafsir yang
elegan tentang pentingnya kese imbangan rasa, keseimbangan pola pikir, serta
keseimbangan moralitas dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Itulah
makanya dengan kesederhanaannya, dia bersedia menyimpan egonya dan mendatangi
sekaligus berdialog dengan lawan politiknya.
Politik
jalan tengah ala Jokowi itu sebenarnya bukan tanpa alasan. Jokowi sepenuhnya
menyadari bahwa kalau tak karena dendam, pastilah negeri ini sudah aman
damai, baldatun thoyyibatun warabbun
ghafur. Namun, karena aman dan damai (baldah
thoyyibah) tak kunjung datang, ampunan Tuhan pun (rabbun ghafur) pasti tak akan sampai. Jadi, jelas sekali hubungan
antara yang material dan imaterial, yang wujud dengan yang gaib, selalu harus
menjadi dua prasyarat yang tidak bisa dinisbikan satu dengan lainnya. Dendam
seolah menjadi prasyarat yang tak pernah bisa dilepaskan sekaligus dilupakan
para pemimpin politik dan keagamaan kita, hingga akhirnya Jokowi mengambil
jalan lain yang berbeda dari para mentor politiknya.
Dendam
adalah penyakit keturunan manusia yang sengaja disisipkan Tuhan melalui
setan. Perasaan dendam, sama dengan cinta, tak pernah ada kata yang bisa
mendefinisikannya secara pas. Karena dendam menyangkut kumpulan rasa,
terkadang kehadirannya tak bisa kita duga dan sapa secara pasti dan nyata.
Dendam pula yang membuat hati jutaan manusia selalu menduga-duga, ada apa di
balik setiap peristiwa. Yang nyata dari sebuah dendam hanya tampak pada
hasilnya yang sering kali destruktif, tak peduli benar atau salah. Namun, di
tangan Jokowi, dendam menjadi tidak berlaku.
Ikhtiar
Jokowi yang selalu mencari keseimbangan dan jalan tengah juga dapat kita
lihat dari rekam jejaknya ketika menjadi Gubernur DKI. Karena birokrasi
dianggapnya penuh dendam dan jauh dari realitas masyarakat yang sesungguhnya,
ia melantik Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jakarta Timur di tengah-tengah
perkampungan kumuh di daerah Pulo Jahe.Di tengah-tengah rigiditas birokrasi
yang terkesan jauh dari keseharian masyarakat, apa yang dilakukan Jokowi
ialah angin segar dalam rangka mengembalikan fungsi pemerintah yang
seharusnya memiliki kepekaan lingkungan sekitar.
Dalam
perspektif pendidikan, prinsip keseimbangan dan jalan tengah sesungguhnya
nisbah terhadap keyakinan bahwa selalu ada jalan dan alasan mengapa sesuatu
tidak sepenuhnya harus berjalan satu arah. Di tengah maraknya proses
pendidikan yang lebih didominasi guru sebagai satu-satunya sumber belajar, pembelajaran
yang berkeseimbangan (equilibrium based
learning) adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran guru dan siswa tentang
pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni antara rasa-cipta-karsa dan
kondisi aktual yang terjadi di sekitar kehidupan siswa.
Tak bisa
dihindari bahwa sistem pendidikan kita sejauh ini masih belum mampu membentuk
pengalaman belajar siswa secara autentik. Banyak aktivitas belajar yang tak
membentuk pengalaman belajar siswa sehingga apa yang diperoleh siswa sering
kali tak bermakna karena tidak berkaitan dan bersumber dari lingkungan siswa
itu sendiri. Itu disebabkan kebanyakan guru masih minim dalam menentukan
materi dan pengalaman belajar yang dapat disesuaikan dengan karakteristik
siswa dan/atau daerah.
Hasil
penelitian John Dewey (1916) menyimpulkan siswa akan belajar dengan baik bila
apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan
kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Karena itu,
pembelajaran kontekstual jelas merupakan tuntutan terpenting dari skenario
strategi pembelajaran dalam rencana kurikulum baru 2013. Dengan kesadaran
pentingnya kompetensi sikap (attitude),
melihat siswa sebagai subjek didik adalah imperatif.
Sebagaimana
Jokowi, para guru di ruang-ruang kelas sepantasnya memiliki pola pikir yang
sama bahwa pembelajaran bukanlah proses kosong yang berdiri sendiri,
melainkan harus dibenturkan dengan kondisi aktual di sekeliling siswa. Karena
itu, kreativitas guru dalam membangun basis pengalaman siswa melalui proses
belajar-mengajar harus menekankan kemampuan pemecahan masalah. Guru harus
memiliki kesadaran bahwa mengajar merupakan proses penemuan keseimbangan
antara aspek afektif, psikomotorik, dan kognitif sekaligus. Kesadaran
keseimbangan dan jalan tengah itulah yang secara sangat baik telah
ditunjukkan Jokowi dalam perilaku politiknya.
Dalam
prinsip moralitas politik pendidikan, pembelajaran jelas harus dimulai dengan
kesadaran mencari keseimbangan pikir, rasa, dan sikap. Karena itu,
sebagaimana Jokowi, para guru kita harus mampu mengenalkan karakter kerja
sama, saling menunjang dan menyenangkan dengan menggunakan berbagai sumber
belajar yang terintegrasi satu sama lain. Itu artinya bahwa setiap proses
belajar-mengajar harus berkaitan satu dengan lainnya (relating), memberikan
pengalaman atau mengalami (experiencing)
yang dilanjutkan dengan bagaimana cara menggunakan atau menerapkannya (applying). Strategi dasar dari
pembelajaran kontekstual itu jelas membutuhkan kerja sama (cooperating) antara guru dan guru,
guru dan siswa, serta siswa dan siswa, agar terjadi proses peralihan ilmu (transferring) dengan cara yang
natural.Artinya, setiap guru harus meyakini bahwa pendidikan adalah proses
yang harus terus berlangsung, tidak berhenti pada hasil. Selamat datang, Presiden Ketujuh, selamat menjalankan amanat rakyat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar