Kegagahan
di Zaman yang Berubah
Ninok Leksono ; Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS,
06 Oktober 2014
”Mengerti
tipe perang yang sedang Anda lakukan merupakan langkah pertama menuju kemenangan.” (Jenderal
Anthony Zinni, Purnawirawan
US Marine Corp, dalam ”The Sling and
the Stone”, 2009, Kolonel Thomas X Hammes)
SEIRING dengan semaraknya acara peringatan HUT Ke-69 TNI, yang ditandai
dengan gelar alat utama sistem persenjataan (alutsista), yang muncul di hati
adalah rasa bangga dan besar hati. Ini karena setidaknya dalam kurun 10 tahun
terakhir tentang alutsista memang terjadi pasang surut yang dramatis.
Sekadar mengingat, dalam semester pertama tahun 2009, setidaknya
terjadi tujuh kecelakaan yang menewaskan 131 orang. Dua Hercules C-130B TNI
AU mengalami musibah pada 11 Mei menjelang pendaratan di Bandara Wamena,
Jayawijaya, Papua, dan 20 Mei sebuah C-130 lain jatuh di Magetan, Jawa Timur.
Musibah Hercules menyusul kecelakaan bulan April yang melibatkan pesawat
Fokker F-27 di Lanud Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Lalu, pada 12
Juni 2009 sebuah helikopter Puma jatuh di Lanud Atang Sanjaya, Bogor, Jawa
Barat. Ini terjadi empat hari setelah heli Bo-105 jatuh di Desa Situhiang, Cianjur,
Jawa Barat.
Jika periode yang ingin ditinjau adalah 2004-2014, musibah pertama
dalam periode ini terjadi 23 Desember 2004 tatkala sebuah heli Puma TNI AU
jatuh di Desa Surgede, Wonosobo, Jawa Tengah. Setelah itu, serentetan musibah
masih terus terjadi, melibatkan pesawat CN-235 di Lhokseumawe, Aceh, 21 Juli
2005, dan OV-10 Bronco di Lanud Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur, 23
Juli 2007 (Catatan dalam Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional, Yusron
Ihza, 2009).
Berangkat dari rentetan kejadian itulah muncul kesamaan pandangan umum
bahwa alutsista TNI pada umumnya telah tua. Pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, dengan dukungan parlemen, melancarkan program modernisasi
alutsista, yang hasilnya dapat disaksikan rakyat Indonesia seiring dengan HUT
Ke-69 TNI.
Kali ini, dalam peringatan yang dipusatkan di Dermaga Ujung Armatim,
Surabaya, Jawa Timur, berlangsung demo yang bisa disebut sebagai gelar
senjata (show of force). Acara ini, yang detilnya diuraikan dibawah, seperti
dikemukakan Panglima TNI Jenderal Moeldoko, merupakan wujud
pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat (Antara, Selasa, 30/9).
Selain itu, demo alutsista ini juga untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa
TNI memiliki kekuatan yang cukup.
Melalui acara ini, Presiden Yudhoyono ingin membangkitkan kebanggaan
prajurit dan juga masyarakat akan kekuatan yang dimiliki TNI dewasa ini.
Darat,
laut, dan udara
Sebagai suatu show of force,
kekuatan yang ditampilkan seharusnya memang mengesankan. Pada matra darat
diharapkan tampil tank tempur utama (main battle tank/MBT) Leopard II A4
buatan Rheinmetall, Jerman, yang pembeliannya sempat menimbulkan wacana
hangat. Dari 124 yang dibeli, hingga September 2014 sudah tidak kurang dari
28 tank yang tiba (Modernisasi
Alutsista TNI, Kementerian Pertahanan, 2014)
Yang tidak kalah menarik adalah munculnya heli serang AH-64D Apache
Longbow yang direncanakan akan dibeli TNI. Rupanya pihak AS bersedia
meminjamkan beberapa heli ini untuk keperluan show of force.
Di lingkungan TNI AD, alutsista lain yang mutakhir adalah sistem
peluncur roket multilaras (MLRS) Astros II buatan Avibras, Brasil. Sistem
lain yang akan memperkuat AD adalah rudal artileri pertahanan udara (arhanud)
Mistral buatan MBDA, Perancis, dan satu hari nanti juga akan datang rudal
Starstreak buatan Inggris.
Sementara di matra laut, sebenarnya yang ditunggu-tunggu adalah kapal
selam baru penerus KRI Cakra 401 dan Nanggala 402. Namun, kapal selam diesel
elektrik buatan Korea DSME 209 ini baru akan tiba tahun 2017. Kontribusi
matra
laut pada HUT Ke-69 TNI ini adalah tiga frigat buatan BAE System
Maritime—Naval Ship yang dinamai KRI Bung Tomo, KRI Usman Harun, dan KRI John
Lie. Meski tak akan membawa TNI AL ke status blue water navy, kehadiran
frigat-frigat baru berbobot 1.940 ton ini diharapkan memperkuat kehadiran TNI
AL di perairan Nusantara yang bergaris pantai 81.000 kilometer. Selain
dipersenjatai dengan meriam, torpedo, dan rudal anti kapal Exocet II, kapal
ini juga dilengkapi dengan sensor Radamec 2500 yang dapat memantau lima
sasaran sekaligus dari jarak 8.000 meter.
Adapun TNI AU akan menghadirkan sekitar 200 pesawat yang kini dalam
jajarannya, mulai pesawat sayap putar (Bell G-47 Sollow, EC-120 Colibri,
SA-220 Puma, dan NAS-330 Super Puma) hingga pesawat patroli maritim dan
angkutnya. Pada jajaran pesawat latih akan hadir Grob G-120 TP-A dan KT-1B
Wong Bee. Jika itu jenis yang sudah biasa, akan tampil pesawat Super Tucano
EMB-314 buatan pabrik Embraer, Brasil. Pesawat yang juga digunakan AS (dengan
kode A-29) ini punya peran sebagai pesawat penyerang ringan dalam misi COIN
(counter-insurgency, anti gerilya) yang sebelumnya diperankan OV-10 Bronco.
Lalu, di jajaran pesawat tempur, jika Sukhoi Su-27 dan Su-30 sudah
bukan ”barang baru”, ada pesawat F-16 C/D hibah Pemerintah AS yang kemudian
diretrofit. Pesawat yang lebih mutakhir dibandingkan dengan seri A/B yang
sudah dibeli tahun 1989 itu kini sedang dalam tahap kedatangan sampai genap
24 sebagaimana dipesan.
TNI AU juga menampilkan pesawat latih lanjut/serang buatan Korea, T-50
Golden Eagle, yang tiba Februari lalu. Dari Airbus Military, Spanyol, TNI AU
juga menerima pesawat angkut C-295 yang beberapa di antaranya akan dirakit
akhir (final assy) di PT Dirgantara
Indonesia, Bandung, Jawa Barat.
Era
baru
Tidak diragukan lagi, meski yang akan dicapai hingga tahun 2024 baru
taraf minimum essential force
(MEF), upaya yang diakukan TNI khususnya dalam lima tahun terakhir termasuk
mengesankan. Akuisisi alutsista, seperti MBT Leopard II dan heli serang
AH-64, sedikitnya menimbulkan pemikiran maju, berbeda dengan akuisisi F-5 E/F
pada paruh kedua dekade 1970-an yang dipicu mundurnya AS dari Asia daratan
setelah Perang Vietnam berakhir.
Akuisisi era itu, meski bersahaja, dipicu kekhawatiran menguatnya
Vietnam, dan negara-negara nonkomunis Asia Tenggara dihadapkan pada ancaman perang
konvensional. Indonesia mempertahankan akuisisi bersahaja karena pemerintahan
Presiden Soeharto ingin memfokuskan diri pada pembangunan ekonomi, dan kedua,
tak ingin menggelisahkan tetangga ASEAN yang sebagian masih dilanda trauma
konfrontasi.
Kini, meski kemampuan ekonomi lebih maju, dengan masuknya RI ke G-20
dan menjadi kekuatan ekonomi ke-16 dunia (bahkan ke-10 jika dihitung menurut purchasing power parity), akuisisi
alutsista, dan anggaran pertahanan, bisa dikatakan masih bersifat sederhana.
Namun, dewasa ini ada isu lain yang tidak kalah penting dari sekadar
alutsista, yakni bergesernya natur atau sifat perang, yaitu dari perang
konvensional ke perang siber/informasi serta perang robotik.
Peter W Singer, Direktur 21st
Century Defense Initiative, penulis buku Wired for War (2009), dalam artikelnya di Popular Science (September/2014) mengatakan, operasi militer di
seluruh dunia semakin mengarah pada ranah digital dan ini selamanya akan
mengubah cara konflik. Jelas pesannya, selain mengetengahkan kegagahan
alutsista, hal lain yang perlu jadi kebanggaan TNI, yakni tersedianya ksatria
siber dan adanya infrastruktur digital yang akan memperkuat ketahanan negara.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar