Selasa, 07 Oktober 2014

Kegagahan di Zaman yang Berubah

Ninok Leksono  ;   Pemimpin Redaksi Kompas
KOMPAS,  06 Oktober 2014




”Mengerti tipe perang yang sedang Anda lakukan merupakan langkah pertama menuju kemenangan.”   (Jenderal Anthony Zinni, Purnawirawan US Marine Corp, dalam ”The Sling and the Stone”, 2009, Kolonel Thomas X Hammes)

SEIRING dengan semaraknya acara peringatan HUT Ke-69 TNI, yang ditandai dengan gelar alat utama sistem persenjataan (alutsista), yang muncul di hati adalah rasa bangga dan besar hati. Ini karena setidaknya dalam kurun 10 tahun terakhir tentang alutsista memang terjadi pasang surut yang dramatis.

Sekadar mengingat, dalam semester pertama tahun 2009, setidaknya terjadi tujuh kecelakaan yang menewaskan 131 orang. Dua Hercules C-130B TNI AU mengalami musibah pada 11 Mei menjelang pendaratan di Bandara Wamena, Jayawijaya, Papua, dan 20 Mei sebuah C-130 lain jatuh di Magetan, Jawa Timur. Musibah Hercules menyusul kecelakaan bulan April yang melibatkan pesawat Fokker F-27 di Lanud Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Lalu, pada 12 Juni 2009 sebuah helikopter Puma jatuh di Lanud Atang Sanjaya, Bogor, Jawa Barat. Ini terjadi empat hari setelah heli Bo-105 jatuh di Desa Situhiang, Cianjur, Jawa Barat.

Jika periode yang ingin ditinjau adalah 2004-2014, musibah pertama dalam periode ini terjadi 23 Desember 2004 tatkala sebuah heli Puma TNI AU jatuh di Desa Surgede, Wonosobo, Jawa Tengah. Setelah itu, serentetan musibah masih terus terjadi, melibatkan pesawat CN-235 di Lhokseumawe, Aceh, 21 Juli 2005, dan OV-10 Bronco di Lanud Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur, 23 Juli 2007 (Catatan dalam Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional, Yusron Ihza, 2009).

Berangkat dari rentetan kejadian itulah muncul kesamaan pandangan umum bahwa alutsista TNI pada umumnya telah tua. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan dukungan parlemen, melancarkan program modernisasi alutsista, yang hasilnya dapat disaksikan rakyat Indonesia seiring dengan HUT Ke-69 TNI.

Kali ini, dalam peringatan yang dipusatkan di Dermaga Ujung Armatim, Surabaya, Jawa Timur, berlangsung demo yang bisa disebut sebagai gelar senjata (show of force). Acara ini, yang detilnya diuraikan dibawah, seperti dikemukakan Panglima TNI Jenderal Moeldoko, merupakan wujud pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat (Antara, Selasa, 30/9). Selain itu, demo alutsista ini juga untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa TNI memiliki kekuatan yang cukup.

Melalui acara ini, Presiden Yudhoyono ingin membangkitkan kebanggaan prajurit dan juga masyarakat akan kekuatan yang dimiliki TNI dewasa ini.

Darat, laut, dan udara

Sebagai suatu show of force, kekuatan yang ditampilkan seharusnya memang mengesankan. Pada matra darat diharapkan tampil tank tempur utama (main battle tank/MBT) Leopard II A4 buatan Rheinmetall, Jerman, yang pembeliannya sempat menimbulkan wacana hangat. Dari 124 yang dibeli, hingga September 2014 sudah tidak kurang dari 28 tank yang tiba (Modernisasi Alutsista TNI, Kementerian Pertahanan, 2014)

Yang tidak kalah menarik adalah munculnya heli serang AH-64D Apache Longbow yang direncanakan akan dibeli TNI. Rupanya pihak AS bersedia meminjamkan beberapa heli ini untuk keperluan show of force.

Di lingkungan TNI AD, alutsista lain yang mutakhir adalah sistem peluncur roket multilaras (MLRS) Astros II buatan Avibras, Brasil. Sistem lain yang akan memperkuat AD adalah rudal artileri pertahanan udara (arhanud) Mistral buatan MBDA, Perancis, dan satu hari nanti juga akan datang rudal Starstreak buatan Inggris.

Sementara di matra laut, sebenarnya yang ditunggu-tunggu adalah kapal selam baru penerus KRI Cakra 401 dan Nanggala 402. Namun, kapal selam diesel elektrik buatan Korea DSME 209 ini baru akan tiba tahun 2017. Kontribusi matra
laut pada HUT Ke-69 TNI ini adalah tiga frigat buatan BAE System Maritime—Naval Ship yang dinamai KRI Bung Tomo, KRI Usman Harun, dan KRI John Lie. Meski tak akan membawa TNI AL ke status blue water navy, kehadiran frigat-frigat baru berbobot 1.940 ton ini diharapkan memperkuat kehadiran TNI AL di perairan Nusantara yang bergaris pantai 81.000 kilometer. Selain dipersenjatai dengan meriam, torpedo, dan rudal anti kapal Exocet II, kapal ini juga dilengkapi dengan sensor Radamec 2500 yang dapat memantau lima sasaran sekaligus dari jarak 8.000 meter.

Adapun TNI AU akan menghadirkan sekitar 200 pesawat yang kini dalam jajarannya, mulai pesawat sayap putar (Bell G-47 Sollow, EC-120 Colibri, SA-220 Puma, dan NAS-330 Super Puma) hingga pesawat patroli maritim dan angkutnya. Pada jajaran pesawat latih akan hadir Grob G-120 TP-A dan KT-1B Wong Bee. Jika itu jenis yang sudah biasa, akan tampil pesawat Super Tucano EMB-314 buatan pabrik Embraer, Brasil. Pesawat yang juga digunakan AS (dengan kode A-29) ini punya peran sebagai pesawat penyerang ringan dalam misi COIN (counter-insurgency, anti gerilya) yang sebelumnya diperankan OV-10 Bronco.

Lalu, di jajaran pesawat tempur, jika Sukhoi Su-27 dan Su-30 sudah bukan ”barang baru”, ada pesawat F-16 C/D hibah Pemerintah AS yang kemudian diretrofit. Pesawat yang lebih mutakhir dibandingkan dengan seri A/B yang sudah dibeli tahun 1989 itu kini sedang dalam tahap kedatangan sampai genap 24 sebagaimana dipesan.

TNI AU juga menampilkan pesawat latih lanjut/serang buatan Korea, T-50 Golden Eagle, yang tiba Februari lalu. Dari Airbus Military, Spanyol, TNI AU juga menerima pesawat angkut C-295 yang beberapa di antaranya akan dirakit akhir (final assy) di PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat.

Era baru

Tidak diragukan lagi, meski yang akan dicapai hingga tahun 2024 baru taraf minimum essential force (MEF), upaya yang diakukan TNI khususnya dalam lima tahun terakhir termasuk mengesankan. Akuisisi alutsista, seperti MBT Leopard II dan heli serang AH-64, sedikitnya menimbulkan pemikiran maju, berbeda dengan akuisisi F-5 E/F pada paruh kedua dekade 1970-an yang dipicu mundurnya AS dari Asia daratan setelah Perang Vietnam berakhir.

Akuisisi era itu, meski bersahaja, dipicu kekhawatiran menguatnya Vietnam, dan negara-negara nonkomunis Asia Tenggara dihadapkan pada ancaman perang konvensional. Indonesia mempertahankan akuisisi bersahaja karena pemerintahan Presiden Soeharto ingin memfokuskan diri pada pembangunan ekonomi, dan kedua, tak ingin menggelisahkan tetangga ASEAN yang sebagian masih dilanda trauma konfrontasi.

Kini, meski kemampuan ekonomi lebih maju, dengan masuknya RI ke G-20 dan menjadi kekuatan ekonomi ke-16 dunia (bahkan ke-10 jika dihitung menurut purchasing power parity), akuisisi alutsista, dan anggaran pertahanan, bisa dikatakan masih bersifat sederhana.

Namun, dewasa ini ada isu lain yang tidak kalah penting dari sekadar alutsista, yakni bergesernya natur atau sifat perang, yaitu dari perang konvensional ke perang siber/informasi serta perang robotik.

Peter W Singer, Direktur 21st Century Defense Initiative, penulis buku Wired for War (2009), dalam artikelnya di Popular Science (September/2014) mengatakan, operasi militer di seluruh dunia semakin mengarah pada ranah digital dan ini selamanya akan mengubah cara konflik. Jelas pesannya, selain mengetengahkan kegagahan alutsista, hal lain yang perlu jadi kebanggaan TNI, yakni tersedianya ksatria siber dan adanya infrastruktur digital yang akan memperkuat ketahanan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar