Perppu
Simalakama
Refly Harun ; Pengajar Hukum Tata Negara
|
KOMPAS,
04 Oktober 2014
KELOMPOK pro demokrasi yang menyokong opsi pilkada langsung kini dapat
sedikit bernapas panjang. Kamis (2/10) malam, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengeluarkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) yang mencabut aturan pilkada oleh DPRD, yang baru disetujui DPR
dalam rapat paripurna 26 September.
Pertama, Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota. Perppu ini mencabut UU No 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Kedua, Perppu No 2/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Perppu kedua ini menghapus tugas dan wewenang DPRD memilih kepala daerah.
Langkah SBY menerbitkan perppu jelas mengundang pro dan kontra. Namun, untuk
sementara waktu, kita bisa bernapas lega. Aturan pilkada dipilih oleh DPRD rontok.
Tugas kita kini adalah menyokong elemen-elemen DPR yang setuju dengan
pemilihan langsung agar perppu dapat disetujui DPR.
Sisa
pertanyaan
Kendati perppu sudah terbit, politik zig-zag SBY terhadap isu pilkada
langsung dan tidak langsung masih terus menyisakan pertanyaan. Apa sikap SBY
sesungguhnya? Apakah mendukung pilkada langsung sepenuhnya atau hanya
setengah bahkan seperempat hati? Dalam
Rapat Paripurna DPR 26 September, SBY sesungguhnya punya pedang yang sama
tajamnya. Pertama, suara Fraksi Demokrat yang berjumlah 148. Opsi mana pun yang didukung Demokrat pasti
akan menang. Yang terjadi, Demokrat sengaja ”berselingkuh” dengan opsi
pilkada oleh DPRD, padahal sudah menyatakan mendukung pilkada langsung kepada
publik.
Aksi walk out Fraksi Demokrat
tidak dapat dipertemukan dengan rasionalitas publik. Bagaimana mungkin
Demokrat tetap walk out, padahal
PDI Perjuangan, Hanura, dan PKB menyatakan mendukung opsi Demokrat.
Kalaupun dukungan itu dianggap tidak genuine, sesungguhnya Demokrat dipertemukan dengan ide dasar yang
sama dengan fraksi-fraksi tersebut, yaitu pemilihan langsung. Sepuluh
perbaikan yang didengungkan Demokrat pun sesungguhnya sudah 95 persen
terakomodasi. Jadi, apa lagi persoalannya? Di sinilah peran SBY patut
dipertanyakan.
Kedua, Presiden SBY punya 50 persen kekuasaan legislatif yang bisa
digunakan setiap saat untuk memblokade setiap RUU yang tidak dikehendaki.
Dengan presiden menyatakan menolak atau tidak menyatakan setuju terhadap
pilkada oleh DPRD melalui wakil pemerintah di DPR, RUU itu tidak dapat
disetujui sampai kapan pun karena Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
RUU dibahas bersama DPR dan Presiden untuk persetujuan bersama. Bila tidak
disetujui bersama, RUU ini dengan sendirinya tidak dapat menjadi UU.
Pertanyaannya, mengapa SBY tidak menggunakan kewenangan mahadahsyat tersebut
bila memang pro terhadap pilkada langsung?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggayut di benak publik tanpa jawaban
yang memadai. Yang hanya dapat terkonfirmasi oleh publik adalah SBY menyatakan
”kecewa” dan ”marah” terhadap lolosnya RUU Pilkada 26 September lalu,
kemudian mengeluarkan perppu. Perppu itu adalah draf RUU DPR versi opsi
pilkada langsung ditambah 10 perbaikan versi Demokrat.
Banyak yang menganggap perppu ini hanyalah upaya SBY cuci tangan
setelah berpesta dalam jamuan pura-pura demokrasi 26 September dini hari.
Yang tidak diperhitungkan SBY, publik begitu marah dengan menangnya opsi
pilkada oleh DPRD dan menumpahkan kekesalan kepada Presiden. Dengan dua pedang yang disebutkan, hampir
tidak mungkin opsi pilkada oleh DPRD akan menang. Nyatanya menang dan publik
marah. Mereka tumpahkan kekecewaan itu dengan kalimat kasar, seperti ”Shame on You”, ”Shamed by You (SBY)”,
”Kami Malu”, dan ”Welcome the Liar”.
Kata-kata yang tak pantas ditujukan bagi seorang yang telah mengabdi kepada
republik ini 10 tahun terakhir. Namun, publik tidak dapat disalahkan karena
langkah meloloskan pilkada oleh DPRD telah melukai rakyat. Tak heran masih
banyak yang ragu akan motif baik SBY dalam mengeluarkan perppu.
Peluang
menggagalkan
Bagi saya sendiri, lebih baik kita mendukung perppu, entah apa pun
motif mengeluarkannya. Motif tidak menjadi penting lagi dihadapkan dengan
ancaman kemunduran demokrasi yang telah kita nikmati selama ini. Terlebih
ancaman munculnya rezim Orde Baru jilid II bukan sekadar isapan jempol karena
hari-hari ini sudah muncul wacana untuk mengembalikan pemilihan presiden oleh
MPR. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi pintu masuk paling rasional
untuk mendorong proposal tersebut.
Perppu akan menjadi napas baru bagi perjuangan untuk menggagalkan
pilkada oleh DPRD. Perppu juga akan menjadi sarana mengetes kembali
pengelompokan politik yang sudah terjadi dalam empat kesempatan: persetujuan
RUU MD3, persetujuan tata tertib DPR, persetujuan RUU Pilkada, dan pemilihan
pimpinan DPR.
Dengan SBY mengeluarkan perppu, ada kewajiban moral bagi Demokrat untuk
memperjuangkannya di DPR. Memang, ditambah Demokrat, kubu pro pilkada
langsung belum unggul suara, tetapi selalu ada kemungkinan perppu bisa lolos
jika Jokowi berhasil menarik satu-dua partai dalam pemerintahannya.
Andaipun perppu akhirnya tidak lolos dari persetujuan dan UU Pilkada
hidup kembali, masih ada jalan untuk mempersoalkannya ke Mahkamah Konstitusi,
baik dalam ranah uji formal maupun materiil. Secara formal, persetujuan
paripurna 26 September cacat prosedural karena RUU Pilkada disetujui kurang
dari 50 persen dari anggota DPR yang hadir. Padahal, Pasal 284 Ayat (1) Tatib
DPR menyatakan, persetujuan dalam voting haruslah lebih dari separuh dari
jumlah yang hadir. Yang tercatat hadir dalam paripurna sebanyak 496 anggota
DPR, tetapi persetujuan hanya menjaring 226 suara. Seharusnya minimal 249
suara (lebih dari 50 persen yang hadir).
Dari sudut uji materiil, ada banyak argumentasi yang dapat dikemukakan.
Terpenting adalah menggugurkan paradigma bahwa Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945
memberikan pilihan untuk pilkada langsung atau melalui DPRD. Dihadapkan
dengan sistem konstitusi dan konstitusionalisme yang berkembang dalam putusan
MK, pilkada oleh DPRD sesungguhnya bertentangan dengan sistem konstitusi dan
putusan-putusan MK, misalnya putusan tentang calon perseorangan.
Perppu SBY memang buah simalakama. Namun, ruang politik hari ini memang
sempit. Karena itu, kita dukung saja perppu sambil merapatkan barisan agar
kekuatan-kekuatan anti demokrasi dan anti kedaulatan rakyat tidak terus
tumbuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar