Selasa, 07 Oktober 2014

Revolusi Mental Olahraga

Revolusi Mental Olahraga

Acmad Soetjipto  ;   Ketua Umum Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia
KOMPAS,  06 Oktober 2014




DI banyak negara, terutama Amerika dan Eropa, olahraga adalah industri. Dalam konteks ini, olahraga tidak saja dituntut mencapai prestasi tinggi, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan dan penghasilan negara. Di bagian dunia lain, khususnya negara ketiga dan terbelakang, olahraga adalah sarana promosi atas keberadaannya sekaligus kompensasi atas keterbelakangan ekonomi, sosial, dan politik yang mendera mereka.

Kuba sangat serius menyiapkan atlet tinju. Mengalahkan Amerika Serikat dalam ajang Olimpiade menjadi obsesi dan kebanggaan nasional. Bagi negara-negara Afrika, pencapaian prestasi olahraga, terutama sepak bola, penawar bagi kesulitan hidup mereka. Dulu bagi Uni Soviet, mengalahkan AS di Olimpiade target tak tertawar. Jadi, ada visi dan idaman.

Tiongkok melakukan hal sama pada Olimpiade 2008 saat menjadi tuan rumah. Perlu seabad  bagi mereka membuktikannya sejak ikut pertama kali 1908. Bagi Tiongkok, olahraga softpower untuk menunjukkan kebangkitannya bersanding dengan kemajuan ekonomi dan iptek.

Jalan buntu menuju prestasi

Indonesia pada masa Bung Karno pernah menerapkan pola serupa. Oleh Bung Karno, olahraga menjadi alat perjuangan untuk menunjukkan kegemilangan Indonesia pada usianya yang belia. Ini dibuktikan dengan pencapaian sebagai runner-up Asian Games 1962 di bawah Jepang. Juga dengan pembangunan sarana venue olahraga  yang tak main-main di Senayan, yang sampai kini menjadi salah satu  kompleks terbesar di dunia. Sayang kekhususannya sudah hampir terkalahkan oleh mal dan apartemen eksklusif.

Pada era Orde Baru, jadi jawara di tingkat regional adalah keharusan. Meraih medali di ajang Olimpiade, target yang harus terwujudkan. Dalam perkembangan terkini, olahraga bagi Indonesia adalah ajang perebutan proyek dan kompetisi para makelar penyalur anggaran negara ke para atlet. Menyedihkan. Keterpurukan di  SEA Games Manila 2005 dan terhunjamnya prestasi di Asian Games Doha 2006 menggugah pemerintah untuk terlibat langsung dalam pembinaan olahraga. Oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) waktu itu, diluncurkanlah proyek high performance program (HPP) yang mengadopsi sistem pembinaan olahraga terbaik negara-negara maju yang sudah terbukti berhasil.

Ditetapkan target, di antaranya memperbaiki posisi di SEA Games Laos 2009, mempertahankan tradisi emas di ajang Olimpiade, dan menempati peringkat di atas negara kawasan pada ajang Asian Games. Namun, yang paling esensial, mengintroduksi perubahan yang seiring dengan lahirnya undang-undang olahraga nasional. Artinya negara hadir. Target perbaikan posisi pada SEA Games Laos terpenuhi dan langkah kemajuan ke depan disusun.

Bersamaan itu terjadi pergantian kabinet yang diikuti perubahan kebijakan. HPP dibubarkan, pembinaan diserahkan ke LSM dan pemerintah hanya menyediakan anggaran. Hasilnya, karut-marut sistem pengelolaan olahraga nasional, seperti konflik remeh KONI-KOI, bonus sulit cair, uang saku tersendat, sarana latihan tak memadai, try out terhambat, cedera tak tertangani sebagaimana semestinya, atlet kurang gizi, ribut berantem dan rebutan wewenang sesama pengelola, koordinasi yang mampat, saling klaim jika sukses, lempar tanggung jawab jika gagal, serta saling tuding jika ada tuntutan.

Perubahan adalah hantu yang sangat ditakuti para pengelola olahraga nasional. Pencapaian prestasi adalah sasaran antara, kenyamanan jadi prioritas. Bagi pemerintah, olahraga juga tak dianggap sektor penting sehingga hanya diurus sambil lalu. Yang ramai di pengujung tahun anggaran hanyalah bermacam lokakarya, temu ilmiah yang tidak ilmiah, berbagai seminar penyuluhan, dan lain-lain.

Fakta ini menjelaskan kenapa prestasi olahraga Indonesia kian tertinggal dari para tetangganya. Pencapaian di tingkat kawasan sudah tidak lagi mencerminkan Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara. Klaim kebangkitan dengan keberhasilan menjadi juara umum SEA Games 2011 tidak lagi relevan. Selain faktor tuan rumah, perolehan medali juga banyak ditunjang dari cabang non-Olimpiade. Pencapaian pada SEA Games 2013 dan Asian Games 2014 adalah bukti sahih.

Di setiap event, pemerintah hanya bisa memasang target. Pada SEA Games Myanmar 2013, ditargetkan 120 medali emas, hasilnya Indonesia hanya mendapat 65 emas dan terlempar ke peringkat keempat. Dalam Asian Games Incheon 2014,  dengan gagah ditetapkan 9 emas dan meleset.

Tak jelas dasar penetapan target itu. Banyak yang bercanda dengan mengatakan dukungan minimalis kok minta hasil besar mengingat di Asian Games sebelumnya Indonesia hanya membawa pulang 4 emas. Artinya, pemerintah tak cukup paham basis peta dan data pembinaan prestasi olahraga nasional. Ketika kegagalan menghampiri, sebagaimana bisa dibaca di beragam media, Kemenpora menegaskan janganlah menyalahkan pemerintah. Lalu siapa harus bertanggung jawab? Bagaimana olahraga nasional harus dikelola?

Reposisi peran pemerintah

Saat ini prestasi olahraga di ajang internasional  harus kembali disangkutkan pada harkat dan martabat bangsa. Olahraga juga harus dipandang sebagai social fabric yang menjadi gambaran kemajuan bangsa. Terkait ini banyak negara sangat serius membangun sektor olahraga. Jadi, sangat naif jika pemerintah kita tetap tidak peduli terhadap pembangunan olahraga.

Selain soal martabat bangsa di mata internasional, kemajuan olahraga juga bentuk respons atas tuntutan rakyat yang dahaga prestasi. Pemerintah tidak dapat menutup mata betapa besarnya antusiasme masyarakat terhadap perkembangan olahraga. Pemerintah jangan lagi ikut bermain kucing-kucingan dan beranggapan prestasi olahraga bukan sesuatu yang penting. Banyak sejarah membuktikan bahwa olahraga dapat menjadi modal efektif dalam diplomasi global. Bersanding dengan persaingan ekonomi dan perebutan pengaruh, olahraga telah memasuki fenomena the global sporting arm race.

Jika pemerintah peka dengan tren global, pembangunan olahraga harus dilakukan dengan  sangat serius. Apabila perlu, ambil alih seluruh domain strategis dalam pembinaan dan pengelolaan olahraga nasional. Peran ini sudah diatur dalam UU Sistem Keolahragaan Nasional {Bab V Pasal 13 Ayat (1), BAB VIII Pasal 32 Ayat (1)}. Hilangkan keraguan bahwa peran pemerintah dalam pengelolaan olahraga bertentangan dengan Olympic charter. Banyak negara juga melakukan hal serupa, terutama di negara-negara berkembang.

Upaya menjauhkan peran pemerintah dalam pembinaan olahraga hanya menciptakan keterpurukan laten. Pembiaran oleh pemerintah berarti memelihara konflik permanen di kalangan pengelola olahraga. Olahraga nasional hanya akan menjadi ajang para pencari rente yang berebut remah-remah anggaran pemerintah. Untuk mengakhirinya, pemerintah harus bertindak. Salah satu visi besar yang diusung presiden terpilih adalah ”revolusi mental”. Hendaknya visi ini juga menjangkau sektor olahraga. Sistem pembinaan dan pengelolaan olahraga harus direvolusi.

Tinggalkan cara-cara lama yang sudah terbukti gagal, terapkan sistem baru yang dapat menjamin pencapaian prestasi tinggi. Mencontoh sistem pembinaan negara lain yang sukses bukan berarti kurang nasionalis. Segala peraturan yang menghambat hapus saja, ganti dengan peraturan yang mendorong kemajuan.
Institusi yang selama ini jadi sumber konflik bubarkan saja, susun tata kelola baru yang mempermudah koordinasi dan sistem kontrol. Sebagai uji keseriusan pembaruan pembangunan olahraga, pemerintah harus berani menetapkan visi dan sasaran yang jelas. Tetapkan bahwa kemajuan olahraga adalah salah satu tolok ukur kesuksesan revolusi mental. Sasaran ini beralasan karena dalam olahraga ada karakter goodsportmanship. Sebagai padanan, pembaruan di bidang olahraga akan jauh lebih mudah dibandingkan dengan di sektor birokrasi.

Mengelola prestasi

Peran pemerintah sangat penting, bukan karena tugas UU dan menyangkut  profiling bangsa di mata bangsa lain, melainkan karena pencapaian prestasi olahraga meliputi persyaratan yang kompleks. Kekuatan riset, penerapan iptek, serta dukungan sosial, ekonomi, politik (anggaran, kebijakan, dan apresiasi rakyat) dapat optimal jika pemerintah terlibat. Soal kebijakan, misalnya, hingga kini belum ada grand strategy tentang cara olahraga dibangun. Ketiadaan itu meniadakan panduan bagaimana prestasi olahraga nasional mesti dikelola. Ini domain pemerintah sehingga tak ada alasan pemerintah tak terlibat dalam pembangunan olahraga. Fondasi ini penting karena saat ini olahraga tak bisa lagi dikelola oleh lembaga ad hoc dengan sistem primitif.  Keberadaan  managing excellence in sports performance adalah jaminan dalam membangun sistem pencapaian keunggulan.

Bahkan penataan kelembagaan saja tak cukup, harus diikuti pula dengan revolusi mental menyangkut perubahan paradigma. Paradigma bahwa olahraga adalah national instrument, olahraga adalah alat perjuangan untuk menunjukkan kejayaan bangsa di mata internasional harus melekat pada semua pemangku kepentingan. Kesadaran paradigma dapat meminimalkan resistensi terhadap setiap upaya terbaik untuk kemajuan olahraga nasional.

Bentuk perubahan tersebut adalah upaya yang mengacu pada praktik terbaik, yaitu HPP. Pelibatan sports science adalah keharusan karena merupakan prasyarat dari HPP. Pengelolaan secara profesional tidak amatiran akan menjamin tata kelola penganggaran. Dengan model ini dan diawali penerapan sistem long term athlete development, penataan prestasi atlet akan lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar