Jokowi
Vs Otoritarianisme Parlemen
Philip Jusario Vermonte ; Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta
|
DETIKNEWS,
10 Oktober 2014
Dalam literatur ilmu politik telah lama diketahui bahwa ada persoalan
serius dengan sistem presidensial ketika dijalankan dalam konteks sistem
multipartai. Alasannya sederhana: sistem presidensial mengandaikan cabang
kekuasaan eksekutif, yaitu presiden, memiliki kekuasaan yang didesain agar
menjadi besar, sementara sistem multipartai menghasilkan parlemen sebagai
cabang kekuasaan legislatif, juga dengan kekuasaan besar. Sebab, mungkin saja
partai dari presiden terpilih tidak memiliki suara mayoritas di parlemen.
Indonesia mungkin adalah contoh terbaik dari inkompatibilitas antara
sistem presidensial dan sistem multipartai ini. Ketika terpilih menjadi
presiden dengan mekanisme pemilihan langsung pada 2004, Partai Demokrat
sebagai penyokong Susilo Bambang Yudhoyono hanya mendapat 7 persen suara.
Keadaan menjadi menguntungkan hanya terjadi setelah beberapa bulan
pemerintahan berjalan, pasangannya, Wakil Presiden Jusuf Kalla, berhasil
merebut posisi Ketua Umum Partai Golkar. Yudhoyono dan Demokrat
“diselamatkan” oleh JK dan Golkar.
Pada periode kedua, 2009-2014, jalan yang dipilih Yudhoyono adalah
membentuk koalisi gemuk, yaitu mengajak sebanyak mungkin partai menjadi
penyokongnya melalui pemberian portofolio kementerian. Namun kita menyaksikan
bagaimana secara intrinsik pemberian kursi menteri kepada banyak partai
menjadi bermasalah karena paling tidak dua alasan.
Pertama, presiden menjadi tersandera oleh koalisinya sendiri karena
koalisi yang dibuat bukan karena persamaan ideologi, tapi ditopang oleh
partai-partai politik yang amat pragmatis. Kedua, pemberian kursi kabinet
dalam koalisi gemuk pada dasarnya menciptakan preseden buruk, yakni
partai-partai politik tidak takut akan mengalami kekalahan dalam pemilu
karena toh pada akhirnya ikut serta dalam kekuasaan. Artinya, efek elektoral
pemilu tidak terjadi.
Padahal seharusnya pemilu menjadi ajang pengadilan lima tahunan oleh
rakyat di mana partai-partai yang dianggap memiliki kinerja baik akan diberi
reward dalam bentuk dipilih kembali atau diberi punishment bila dianggap
tidak berkinerja baik dengan cara tidak dipilih lagi dan seharusnya terlempar
dari kekuasaan.
Dari pengalaman 10 tahun pemerintahan Yudhoyono inilah Jokowi tak
melakukan transaksi kursi menteri kepada banyak partai di muka alias mencoba
membangun koalisi lebih ramping. Tapi langkah ini lalu mendapat perlawanan
sengit dari Koalisi Merah Putih pimpinan Prabowo Subianto. Perlawanan ini
berakibat pada terbentuknya pembelahan di dalam tubuh DPR.
Parlemen yang terbelah menjadi dua blok kekuatan sebetulnya baik karena
akan memudahkan pemilih menilai kinerja dan posisi partai-partai politik
dalam berbagai isu/kebijakan dan memberi punishment ataupun reward dalam
pemilu. Tapi kita menyaksikan, beberapa hari terakhir, partai-partai politik
dalam koalisi bertarung tidak dalam rangka memutuskan kebijakan mana yang
harus diambil, tapi mereka bertarung dalam mengubah aturan main demokrasi
yang dijalankan. Sebagaimana terlihat bagaimana Undang-Undang MD3 dan
Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah disahkan tanpa mengikutkan masyarakat
dalam pertimbangannya. Dari dua contoh itu, tidak diragukan lagi bahwa Jokowi
akan menghadapi DPR yang terpolarisasi dan hostile pada kepresidenannya.
Kedua, selain menghadapi DPR yang terpolarisasi dan tidak “ramah” pada
kepresidenannya, Jokowi menghadapi kenyataan bahwa PDI Perjuangan sebagai
partai yang mencalonkannya dalam pemilu lalu boleh jadi tidak mendukungnya
sepenuh hati dalam masa pemerintahannya. Megawati yang sangat dominan di PDI
Perjuangan dan aspirasi politik pribadi Puan Maharani adalah dua hal yang
menjadikan Jokowi tidak bisa sepenuhnya menggunakan Partai Banteng sebagai
“kaki”-nya di DPR karena kontrol efektif atas partai itu tidak berada di
tangannya.
Ketiga, karena kerumitan mendapatkan dukungan penuh, baik dari DPR
maupun dari PDI Perjuangan, Jokowi memiliki dua opsi terbatas untuk membentuk
basis dukungannya sendiri. Dua opsi itu adalah memanfaatkan dan membentuk
lembaga/kantor kepresidenan yang kuat yang diisi oleh orang-orang pilihannya
sendiri yang dipercayainya. Karena penentuan jabatan menteri semakin sulit
untuk dihindari dari kompromi, Jokowi sangat boleh jadi terpaksa tunduk pada
tekanan dari luar dirinya untuk mengakomodasi menteri-menteri yang bukan
pilihannya sendiri.
Hanya kantor kepresidenan yang sangat mungkin menjadi arena yang
dibentuknya sendiri secara bebas. Kantor kepresidenan bisa menjadi dapur
kajian, baik dalam konteks kebijakan yang harus diambil presiden maupun dalam
mengolah dan mempersiapkan rancangan undang-undang yang akan memudahkan
Jokowi memerintah dan diajukan kepada DPR sebagai inisiatif pemerintah.
Sebelum ini, legal drafting tersebar di kementerian dan menjadikan proses
inisiatif RUU dari pemerintah berjalan lamban.
Opsi lain adalah mengelola dukungan publik sedemikian rupa sehingga
menjadi pressure group yang baru bagi partai-partai maupun bagi DPR ataupun
DPRD. Modalitas Jokowi untuk meminta dukungan publik amatlah besar
sebagaimana terlihat dalam proses pilpres yang lalu. Tentu membutuhkan waktu yang
tidak sebentar untuk mengelola dukungan publik yang tersebar menjadi kekuatan
politik baru (new politics) yang
solid.
Tapi, di tengah kecenderungan lawan politiknya, yaitu koalisi pimpinan
Prabowo Subianto, melakukan politik dengan cara amat konvensional (di
antaranya dengan mengubah tata tertib dan aturan main dalam sesi terbatas dan
menafikan suara publik), maka politik nonkonvensional yang melibatkan publik
menjadi sebuah terobosan yang perlu dilakukan. Alasan bagi pelibatan publik
dengan lebih masif dan sistematis amat sederhana, yaitu demokrasi dalam
maknanya yang paling mendasar adalah rakyat yang berdaulat. Bila segelintir
elite dan bukan rakyat yang berdaulat, namanya adalah otoritarianisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar