Senin, 20 Oktober 2014

Jokowi Vs Otoritarianisme Parlemen

                        Jokowi Vs Otoritarianisme Parlemen

Philip Jusario Vermonte  ;   Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta
DETIKNEWS,  10 Oktober 2014

                                                                                                                       


Dalam literatur ilmu politik telah lama diketahui bahwa ada persoalan serius dengan sistem presidensial ketika dijalankan dalam konteks sistem multipartai. Alasannya sederhana: sistem presidensial mengandaikan cabang kekuasaan eksekutif, yaitu presiden, memiliki kekuasaan yang didesain agar menjadi besar, sementara sistem multipartai menghasilkan parlemen sebagai cabang kekuasaan legislatif, juga dengan kekuasaan besar. Sebab, mungkin saja partai dari presiden terpilih tidak memiliki suara mayoritas di parlemen.

Indonesia mungkin adalah contoh terbaik dari inkompatibilitas antara sistem presidensial dan sistem multipartai ini. Ketika terpilih menjadi presiden dengan mekanisme pemilihan langsung pada 2004, Partai Demokrat sebagai penyokong Susilo Bambang Yudhoyono hanya mendapat 7 persen suara. Keadaan menjadi menguntungkan hanya terjadi setelah beberapa bulan pemerintahan berjalan, pasangannya, Wakil Presiden Jusuf Kalla, berhasil merebut posisi Ketua Umum Partai Golkar. Yudhoyono dan Demokrat “diselamatkan” oleh JK dan Golkar.

Pada periode kedua, 2009-2014, jalan yang dipilih Yudhoyono adalah membentuk koalisi gemuk, yaitu mengajak sebanyak mungkin partai menjadi penyokongnya melalui pemberian portofolio kementerian. Namun kita menyaksikan bagaimana secara intrinsik pemberian kursi menteri kepada banyak partai menjadi bermasalah karena paling tidak dua alasan.

Pertama, presiden menjadi tersandera oleh koalisinya sendiri karena koalisi yang dibuat bukan karena persamaan ideologi, tapi ditopang oleh partai-partai politik yang amat pragmatis. Kedua, pemberian kursi kabinet dalam koalisi gemuk pada dasarnya menciptakan preseden buruk, yakni partai-partai politik tidak takut akan mengalami kekalahan dalam pemilu karena toh pada akhirnya ikut serta dalam kekuasaan. Artinya, efek elektoral pemilu tidak terjadi.

Padahal seharusnya pemilu menjadi ajang pengadilan lima tahunan oleh rakyat di mana partai-partai yang dianggap memiliki kinerja baik akan diberi reward dalam bentuk dipilih kembali atau diberi punishment bila dianggap tidak berkinerja baik dengan cara tidak dipilih lagi dan seharusnya terlempar dari kekuasaan.

Dari pengalaman 10 tahun pemerintahan Yudhoyono inilah Jokowi tak melakukan transaksi kursi menteri kepada banyak partai di muka alias mencoba membangun koalisi lebih ramping. Tapi langkah ini lalu mendapat perlawanan sengit dari Koalisi Merah Putih pimpinan Prabowo Subianto. Perlawanan ini berakibat pada terbentuknya pembelahan di dalam tubuh DPR.

Parlemen yang terbelah menjadi dua blok kekuatan sebetulnya baik karena akan memudahkan pemilih menilai kinerja dan posisi partai-partai politik dalam berbagai isu/kebijakan dan memberi punishment ataupun reward dalam pemilu. Tapi kita menyaksikan, beberapa hari terakhir, partai-partai politik dalam koalisi bertarung tidak dalam rangka memutuskan kebijakan mana yang harus diambil, tapi mereka bertarung dalam mengubah aturan main demokrasi yang dijalankan. Sebagaimana terlihat bagaimana Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah disahkan tanpa mengikutkan masyarakat dalam pertimbangannya. Dari dua contoh itu, tidak diragukan lagi bahwa Jokowi akan menghadapi DPR yang terpolarisasi dan hostile pada kepresidenannya.
Kedua, selain menghadapi DPR yang terpolarisasi dan tidak “ramah” pada kepresidenannya, Jokowi menghadapi kenyataan bahwa PDI Perjuangan sebagai partai yang mencalonkannya dalam pemilu lalu boleh jadi tidak mendukungnya sepenuh hati dalam masa pemerintahannya. Megawati yang sangat dominan di PDI Perjuangan dan aspirasi politik pribadi Puan Maharani adalah dua hal yang menjadikan Jokowi tidak bisa sepenuhnya menggunakan Partai Banteng sebagai “kaki”-nya di DPR karena kontrol efektif atas partai itu tidak berada di tangannya.

Ketiga, karena kerumitan mendapatkan dukungan penuh, baik dari DPR maupun dari PDI Perjuangan, Jokowi memiliki dua opsi terbatas untuk membentuk basis dukungannya sendiri. Dua opsi itu adalah memanfaatkan dan membentuk lembaga/kantor kepresidenan yang kuat yang diisi oleh orang-orang pilihannya sendiri yang dipercayainya. Karena penentuan jabatan menteri semakin sulit untuk dihindari dari kompromi, Jokowi sangat boleh jadi terpaksa tunduk pada tekanan dari luar dirinya untuk mengakomodasi menteri-menteri yang bukan pilihannya sendiri.

Hanya kantor kepresidenan yang sangat mungkin menjadi arena yang dibentuknya sendiri secara bebas. Kantor kepresidenan bisa menjadi dapur kajian, baik dalam konteks kebijakan yang harus diambil presiden maupun dalam mengolah dan mempersiapkan rancangan undang-undang yang akan memudahkan Jokowi memerintah dan diajukan kepada DPR sebagai inisiatif pemerintah. Sebelum ini, legal drafting tersebar di kementerian dan menjadikan proses inisiatif RUU dari pemerintah berjalan lamban.

Opsi lain adalah mengelola dukungan publik sedemikian rupa sehingga menjadi pressure group yang baru bagi partai-partai maupun bagi DPR ataupun DPRD. Modalitas Jokowi untuk meminta dukungan publik amatlah besar sebagaimana terlihat dalam proses pilpres yang lalu. Tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengelola dukungan publik yang tersebar menjadi kekuatan politik baru (new politics) yang solid.

Tapi, di tengah kecenderungan lawan politiknya, yaitu koalisi pimpinan Prabowo Subianto, melakukan politik dengan cara amat konvensional (di antaranya dengan mengubah tata tertib dan aturan main dalam sesi terbatas dan menafikan suara publik), maka politik nonkonvensional yang melibatkan publik menjadi sebuah terobosan yang perlu dilakukan. Alasan bagi pelibatan publik dengan lebih masif dan sistematis amat sederhana, yaitu demokrasi dalam maknanya yang paling mendasar adalah rakyat yang berdaulat. Bila segelintir elite dan bukan rakyat yang berdaulat, namanya adalah otoritarianisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar