Minggu, 19 Oktober 2014

Api Referendum Skotlandia di Hongkong, Taiwan, dan Catalan

                  Api Referendum Skotlandia di Hongkong,

Taiwan, dan Catalan

Reza Akbar Felayati  ;   Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Unair
JAWA POS,  17 Oktober 2014

                                                                                                                       


SULIT terelakkan referendum Skotlandia 18 September 2014 –meski hasilnya, sebagian besar (55,3 persen) pemilih tetap setia bergabung dengan Ingris Raya– kini memicu domino effect jauh keluar daratan Eropa. Di Eropa sendiri domino effect referendum Skotlandia memicu semangat baru beberapa negara bagian di sejumlah negara Eropa untuk memisahkan diri dari mother state-nya. Mereka kini memicu militansi untuk berjuang menjadi negara merdeka. Mengikuti jejak Skotlandia, Catalan akan mengadakan referendum pada 9 November 2014 untuk mencoba berpisah dari Spanyol.

Catalan selama ini memang merupakan salah satu negara bagian di Eropa yang amat mendukung referendum Skotlandia. Artur Mas, presiden pemerintahan otonom Catalan, menganggap referendum Skotlandia sebagai model sekaligus pintu masuk untuk merdeka.

Gerakan kemerdekaan Catalan menyebar luas tidak lama setelah krisis ekonomi melanda Spanyol pada 2012. Perbedaan-perbedaan politik dengan Spanyol serta kebijakan-kebijakan Madrid yang membahayakan identitas Catalan disebut-sebut sebagai pemicu utama Catalan untuk merdeka. Rakyat Catalan pun kian merasakan tiadanya kesamaan, baik dari budaya, bahasa, maupun asal-usul dengan Spanyol.

Efek di Hongkong

Ibarat api. Efek referendum Skotlandia kini juga menjangkiti Hongkong. Aktivis prodemokrasi wilayah kepulauan Tiongkok itu terus menggalang aksi-aksi prodemokrasi yang amat militan. Meski tidak mudah, gerakan aktivis prodemokrasi di Hongkong bisa mendorong langkah politik serupa di Catalan, yaitu referendum.

Dengan intensitas arus nilai-nilai demokrasi global yang mustahil terbendung kekuatan apa pun, referendum Skotlandia bisa menyulut inspirasi. Memberi dampak dan persepsi yang kuat kepada masyarakat Hongkong untuk menjadi negara otonom yang merdeka.

Kantor Berita Associated Press (AP), Rabu (15/10/2014), melansir, 30 demonstran prodemokrasi ditangkap aparat kepolisian Hongkong yang menggelar aksi di terowongan dekat kantor pusat pemerintahan Hongkong. Pintu masuk aksi aktivis prodemokrasi Hongkong, antara lain, memprotes rencana reformasi pemilihan kepala eksekutif Hongkong 2017. Mereka menolak komite tetap yang mewajibkan komite nominasi untuk menyetujui paling banyak tiga kandidat pemilihan sebelum pemilihan umum dimulai.

Aktivis prodemokrasi Hongkong juga memprotes keputusan komite tetap yang menegaskan bahwa kontestan kepala eksekutif Hongkong yang menang dalam pemilu tidak otomatis berkuasa. Kepala eksekutif terpilih masih harus diangkat resmi oleh pemerintah pusat di Beijing sebelum memangku jabatan.

Aktivis prodemokrasi menganggap persyaratan tersebut sebagai pelanggaran Deklarasi Bersama Tiongkok-Britania. Padahal, isi deklarasi itu hanya menyatakan bahwa kepala eksekutif cukup dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan hukum dasar –semacam konstitusi– Hongkong menyatakan bahwa pemilihan tersebut harus diadakan dengan hak pilih yang bersifat universal. Pemilu yang bebas.

Referendum Skotlandia juga menjadi bahan komparasi. Banyak pengamat politik di Hongkong yang melihat bahwa gerakan protes prodemokrasi di Hongkong akan berhasil jika meniru referendum di Skotlandia.

Di Skotlandia sekitar 8.000 pemilih muda menghadiri debat televisi di Glasgow untuk berdebat dengan pihak yang pro maupun kontra kemerdekaan. Namun, di Hongkong sekelompok siswa sekolah menengah yang bergabung dengan mahasiswa prodemokrasi melakukan boikot dan aksi turun ke jalan.

Di Taiwan partai oposisi Partai Progresif Demokratik mencoba menghubungkan referendum Skotlandia untuk agenda politik domestik. Parpol oposisi itu mempromosikan identitas Taiwan yang berbeda untuk pulau yang berpemerintahan sendiri. Terpisah dari Tiongkok.

Sekalipun Taiwan sekarang memiliki presiden dan parlemen sendiri, pemerintah Tiongkok tetap bersikeras menjadikan Taiwan sebagai salah satu provinsi di Tiongkok. Pihak Beijing menegaskan, negara mana pun tidak dapat memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Tiongkok jika mengakui Taiwan sebagai negara merdeka.

Dalam situsnya, Partai Progresif Demokratik memuji ”nilai-nilai demokrasi” di Skotlandia sebagai bukan hanya contoh bagi demokrasi global, tetapi juga inspirasi untuk terus membangun dan memperkuat demokrasi di Taiwan.

Menyulut Gerakan Secession

Arus kuat globalisasi demokrasi saat ini memang menjadi instrumen utama penyulut gerakan secession. Anthony Giddens dalam Runaway World (1999) mengatakan, globalisasi menjadi alasan bagi kebangkitan kembali identitas budaya lokal di berbagai belahan dunia.

Jika orang-orang bertanya, misalnya, mengapa orang-orang Skotlandia menginginkan kemerdekaan yang lebih besar di Kerajaan Inggris, jawabannya tidak ditemukan hanya dalam sejarah kebudayaan mereka. Nasionalisme lokal merebak sebagai respons terhadap kecenderungan globalisasi seiring dengan melemahnya negara-negara lama.

Setelah tumbangnya rezim-rezim sipil dan militer yang otoriter, banyak muncul dan berkembang arus kuat wacana demokratisasi dalam skup global. Wacana demokrasi menjadi primadona suatu negara dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Demokrasi tumbuh di mana-mana bagaikan tumbuhnya jamur di musim hujan.

Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man  (1992) menggambarkan menyebarnya virus demokrasi ke seluruh pelosok bumi sebagai indikasi berkibarnya kemenangan demokrasi liberal. ”Terbentuklah abad demokrasi. Dan sejarah peradaban pun telah berakhir,” kata Fukuyama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar