Api
Referendum Skotlandia di Hongkong,
Taiwan,
dan Catalan
Reza Akbar Felayati ; Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Unair
|
JAWA
POS, 17 Oktober 2014
SULIT terelakkan referendum Skotlandia 18 September 2014 –meski
hasilnya, sebagian besar (55,3 persen) pemilih tetap setia bergabung dengan
Ingris Raya– kini memicu domino effect
jauh keluar daratan Eropa. Di Eropa sendiri domino effect referendum Skotlandia memicu semangat baru beberapa
negara bagian di sejumlah negara Eropa untuk memisahkan diri dari mother
state-nya. Mereka kini memicu militansi untuk berjuang menjadi negara
merdeka. Mengikuti jejak Skotlandia, Catalan akan mengadakan referendum pada
9 November 2014 untuk mencoba berpisah dari Spanyol.
Catalan selama ini memang merupakan salah satu negara bagian di Eropa
yang amat mendukung referendum Skotlandia. Artur Mas, presiden pemerintahan
otonom Catalan, menganggap referendum Skotlandia sebagai model sekaligus
pintu masuk untuk merdeka.
Gerakan kemerdekaan Catalan menyebar luas tidak lama setelah krisis
ekonomi melanda Spanyol pada 2012. Perbedaan-perbedaan politik dengan Spanyol
serta kebijakan-kebijakan Madrid yang membahayakan identitas Catalan
disebut-sebut sebagai pemicu utama Catalan untuk merdeka. Rakyat Catalan pun
kian merasakan tiadanya kesamaan, baik dari budaya, bahasa, maupun asal-usul
dengan Spanyol.
Efek
di Hongkong
Ibarat api. Efek referendum Skotlandia kini juga menjangkiti Hongkong.
Aktivis prodemokrasi wilayah kepulauan Tiongkok itu terus menggalang
aksi-aksi prodemokrasi yang amat militan. Meski tidak mudah, gerakan aktivis
prodemokrasi di Hongkong bisa mendorong langkah politik serupa di Catalan,
yaitu referendum.
Dengan intensitas arus nilai-nilai demokrasi global yang mustahil
terbendung kekuatan apa pun, referendum Skotlandia bisa menyulut inspirasi.
Memberi dampak dan persepsi yang kuat kepada masyarakat Hongkong untuk
menjadi negara otonom yang merdeka.
Kantor Berita Associated Press (AP), Rabu (15/10/2014), melansir, 30
demonstran prodemokrasi ditangkap aparat kepolisian Hongkong yang menggelar
aksi di terowongan dekat kantor pusat pemerintahan Hongkong. Pintu masuk aksi
aktivis prodemokrasi Hongkong, antara lain, memprotes rencana reformasi
pemilihan kepala eksekutif Hongkong 2017. Mereka menolak komite tetap yang
mewajibkan komite nominasi untuk menyetujui paling banyak tiga kandidat
pemilihan sebelum pemilihan umum dimulai.
Aktivis prodemokrasi Hongkong juga memprotes keputusan komite tetap
yang menegaskan bahwa kontestan kepala eksekutif Hongkong yang menang dalam
pemilu tidak otomatis berkuasa. Kepala eksekutif terpilih masih harus
diangkat resmi oleh pemerintah pusat di Beijing sebelum memangku jabatan.
Aktivis prodemokrasi menganggap persyaratan tersebut sebagai
pelanggaran Deklarasi Bersama Tiongkok-Britania. Padahal, isi deklarasi itu
hanya menyatakan bahwa kepala eksekutif cukup dipilih melalui pemilihan umum.
Sedangkan hukum dasar –semacam konstitusi– Hongkong menyatakan bahwa
pemilihan tersebut harus diadakan dengan hak pilih yang bersifat universal.
Pemilu yang bebas.
Referendum Skotlandia juga menjadi bahan komparasi. Banyak pengamat
politik di Hongkong yang melihat bahwa gerakan protes prodemokrasi di
Hongkong akan berhasil jika meniru referendum di Skotlandia.
Di Skotlandia sekitar 8.000 pemilih muda menghadiri debat televisi di
Glasgow untuk berdebat dengan pihak yang pro maupun kontra kemerdekaan.
Namun, di Hongkong sekelompok siswa sekolah menengah yang bergabung dengan
mahasiswa prodemokrasi melakukan boikot dan aksi turun ke jalan.
Di Taiwan partai oposisi Partai Progresif Demokratik mencoba
menghubungkan referendum Skotlandia untuk agenda politik domestik. Parpol
oposisi itu mempromosikan identitas Taiwan yang berbeda untuk pulau yang
berpemerintahan sendiri. Terpisah dari Tiongkok.
Sekalipun Taiwan sekarang memiliki presiden dan parlemen sendiri,
pemerintah Tiongkok tetap bersikeras menjadikan Taiwan sebagai salah satu
provinsi di Tiongkok. Pihak Beijing menegaskan, negara mana pun tidak dapat
memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Tiongkok jika mengakui Taiwan
sebagai negara merdeka.
Dalam situsnya, Partai Progresif Demokratik memuji ”nilai-nilai
demokrasi” di Skotlandia sebagai bukan hanya contoh bagi demokrasi global,
tetapi juga inspirasi untuk terus membangun dan memperkuat demokrasi di
Taiwan.
Menyulut
Gerakan Secession
Arus kuat globalisasi demokrasi saat ini memang menjadi instrumen utama
penyulut gerakan secession. Anthony Giddens dalam Runaway World (1999) mengatakan, globalisasi menjadi alasan bagi
kebangkitan kembali identitas budaya lokal di berbagai belahan dunia.
Jika orang-orang bertanya, misalnya, mengapa orang-orang Skotlandia
menginginkan kemerdekaan yang lebih besar di Kerajaan Inggris, jawabannya
tidak ditemukan hanya dalam sejarah kebudayaan mereka. Nasionalisme lokal
merebak sebagai respons terhadap kecenderungan globalisasi seiring dengan
melemahnya negara-negara lama.
Setelah tumbangnya rezim-rezim sipil dan militer yang otoriter, banyak
muncul dan berkembang arus kuat wacana demokratisasi dalam skup global.
Wacana demokrasi menjadi primadona suatu negara dalam menjalankan sistem
pemerintahannya. Demokrasi tumbuh di mana-mana bagaikan tumbuhnya jamur di
musim hujan.
Francis Fukuyama dalam The End of
History and The Last Man (1992)
menggambarkan menyebarnya virus demokrasi ke seluruh pelosok bumi sebagai
indikasi berkibarnya kemenangan demokrasi liberal. ”Terbentuklah abad demokrasi. Dan sejarah peradaban pun telah
berakhir,” kata Fukuyama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar