Masa
Depan Demokrasi Hongkong
Aris Heru Utomo ; Pemerhati Hubungan Internasional; Staf KBRI Beijing, China
|
DETIKNEWS,
13 Oktober 2014
Bom waktu bernama demokrasi warisan Inggris tahun 1997 akhirnya meletup
17 tahun kemudian ketika demonstrasi pelajar dan mahasiswa yang
mengatasnamakan gerakan pro demokrasi berlangsung pada akhir September 2014.
Sekitar sepuluh ribu demonstran menduduki kawasan pusat keuangan Hong Kong
guna menolak keterlibatan Beijing dalam nominasi calon Kepala Eksekutif Hong
Kong pada pemilihan umum langsung tahun 2017 mendatang.
Disebut sebagai bom waktu karena isu demokrasi sejatinya ditinggalkan
Gubernur Hong Kong terakhir, Chris Patten, menjelang pelepasan Hong Kong di
tahun 1990an. Oleh Beijing, isu demokrasi diadopsi dalam Basic Law pada tahun
1990 yang di antaranya memasukkan komitmen pemilihan kepala eksekutif di Hong
Kong secara langsung pada tahun 2017 dan pencalonannya akan dilakukan oleh
sebuah komite pemilihan.
Dimasukannya isu demokrasi oleh Beijing pada saat itu merupakan suatu
lompatan besar karena ketika menjadi koloni Inggris, masyarakat Hong Kong
justru tidak mengenal praktik demokrasi dalam memilih pemimpinnya. Di bawah
koloni Inggris, tidak sedikitpun masyarakat Hong Kong menikmati kehidupan
berdemokrasi karena sebanyak 28 orang Gubernur yang pernah memimpin Hong Kong
adalah pejabat yang ditunjuk langsung oleh London.
Ketika pada tahun 1997 Hong Kong kembali ke Tiongkok, setelah selama
155 tahun berada di bawah koloni Inggris, isu demokrasi langsung
diimplementasikan sehingga masyarakat Hong Kong bisa memiliki anggota
parlemen yang setengahnya dipilih langsung oleh publik dan setengahnya lagi
merupakan perwakilan dari apa yang disebut sebagai konsitusi fungsional.
Sedangkan pemimpin Hong Kong yang disebut sebagai Kepala Eksekutif dipilih
sendiri oleh masyarakat Hong Kong melalui sebuah komite yang beranggotakan
1.200 orang.
Selanjutnya sesuai Basic Law, kepala eksekutif akan dipilih langsung
oleh masyarakat Hong Kong pada tahun 2017 dan bukan oleh sebuah komite
seperti sekarang ini. Calon-calon kepala eksekutif dinominasikan oleh sebuah
komite pemilih yang anggota-anggotanya juga masyarakat Hong Kong sendiri.
Karenanya aksi demonstrasi menentang keputusan Kongres Rakyat Nasional
(Parlemen) Tiongkok pada Agustus 2014, yang memutuskan calon kepala eksekutif
yang maju dalam pemilihan mesti mendapat persetujuan komite pemilih, dan
diikuti dengan tindak kekerasan dipandang agak mengherankan karena keputusan
Parlemen Tiongkok tersebut sudah sejalan dengan Basic Law.
Seperti disebutkan dalam editorial harian China Daily tanggal 30
September 2014, surat kabar terbesar berbahasa Inggris di Tiongkok yang pandangannya
selalu sejalan dengan Pemerintah Tiongkok, sulit untuk membayangkan bahwa
kehidupan demokrasi di Hong Kong akan dapat dikembangkan melalui aksi
kekerasan, melakukan penyerangan ke kantor pemerintah dan memaksakan
kehendak. Sangat tidak terbayangkan bahwa tindak kekerasan akan dapat membawa
masyarakat kepada kehidupan dan harmoni sosial yang lebih baik.
Masih menurut editor China Daily, aksi demonstrasi di kawasan pusat
keuangan pada dasarnya tidak lebih dari upaya untuk memaksakan agenda yang dimiliki
para ektremis politik, sebutan bagi inisiator demonstrasi untuk menguasai
Hong Kong dengan cara apapun meski tidak demokratis, seperti tercermin dari
wacana pembentukan “pemimpin eksekutif bayangan” di Hong Kong melalui
referendum ilegal.
Pemerintah Tiongkok melihat bahwa berbagai aksi demonstrasi tersebut
pada dasarnya tidak terlepas dari intervensi asing untuk mengganggu
stabilitas politik dan ekonomi di Hong Kong yang berujung pada penggoyangan
stabilitas politik di Tiongkok seperti yang dilakukan kepada bekas Uni Soviet
dan negara-negara di Timur Tengah.
Lebih jauh Pemerintah Tiongkok juga meyakini bahwa aksi demonstrasi
bukan murni disebabkan oleh isu politik menyangkut pemilihan umum langsung
tetapi lebih kepada ketidakpuasan masyarakat Hong Kong terkait masalah
perekonomian yang sejalan dengan berkurangnya peran ekonomi Hong Kong. Jika
di tahun 90-an Hong Kong sangat berperan sebagai pusat keuangan dengan
menjadi pintu masuk para investor asing ke Tiongkok, maka kini peran tersebut
sudah sangat berkurang karena sudah tergantikan oleh beberapa kota lain di
Tiongkok seperti Shanghai dan Shenzhen.
Pada saat bersamaan, sebagai akibat dari semakin semakin membaiknya
tingkat kemakmuran warga Tiongkok daratan, terjadi pula peningkatan
kecemburuan sosial masyarakat Hong Kong terhadap masyarakat Tiongkok daratan.
Hal ini tampak antara lain dari semakin banyaknya properti di Hong Kong dan
kegiatan usaha yang dimiliki warga Tiongkok yang pada gilirannya menggeser
kesempatan usaha warga Hong Kong sendiri.
Melihat tidak cukupnya alasan politis para demonstran, stabilitas
politik Tiongkok yang terjaga, pertumbuhan ekonomi yang terus menguat dan
distribusi ekonomi yang merata di sebagian besar wilayah di Tiongkok, maka
upaya pemaksaan kehendak yang dilakukan para demonstran jelas tidak akan
berjalan efektif dalam mendesak Beijing dan mempengaruhi masyarakat Tiongkok.
Terlebih berbagai pemberitaan di internet mengenai demonstrasi sudah
dibatasi, khususnya di media sosial dengan antara lain melalui perang cyber
dan ditutupnya penggunaan instagram sehingga hembusannya tidak bertiup
kencang ke daratan Tiongkok.
Karena itu pula aksi demonstrasi yang sudah berlangsung dua minggu
tidak membuat Beijing mengubah kebijakannya. Kepala Eksekutif Hong Kong Leung
Chun-ying menolak tuntutan para demonstran dan mengatakan bahwa Tiongkok
tidak akan pernah membatalkan keputusan untuk melakukan nominasi untuk
jabatan kepala eksekutif seperti yang diminta demonstran. Leung juga menolak
tuntutan demonstran agar ia mengundurkan diri karena gagal melaksanakan Basic
Law.
Dengan sikap Beijing yang tetap dengan kebijakannya maka dapat
dipastikan praktik pemilihan umum langsung kepala eksekutif adalah seperti
apa yang telah disebutkan dalam Basic Law dan sesuai dengan keputusan
Parlemen Tiongkok. Dan sejalan dengan semakin meningkatnya peran kota-kota
lain di Tiongkok sebagai pusat industri keuangan seperti Shanghai dan
Shenzhen, maka nantinya Hong Kong akan menjadi seperti kota atau provinsi
lainnya di Tiongkok.
Dan pada saat itu terjadi, Tiongkok tidak akan lagi memiliki
keistimewaan yang diakibatkan prinsip “satu negara, dua sistem” yang dianut
Tiongkok dan itu berarti masa depan Hong Kong, termasuk tentunya kehidupan
demokrasi, akan sangat tergantung pada Beijing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar