Jalur
Legislatif atau Langsung, Siapa Untung?
Mirawati Uniang ; Mahasiswa
Universitas Eka Sakti
|
HALUAN,
03 Oktober 2014
Pasca pemilu presiden (pilpres) 9 Juli lalu, suhu politik di negeri
ini bukannya menuju titik kondusif. Tapi malah sebaliknya, eskalasi politik
baik di daerah maupun di ranah nasional, kian menjadi-jadi dan semakin panas
saja. Menyusul disahkannya UU Pilkada dan ditolaknya uji materi UU MD3 dalam
waktu hampir bersamaan. Kedua produk hukum ini menuai pro-kontra yang meluas
jadi perdebatan sengit di ranah publik.
Seperti yang sudah diprediksi,
apapun keputusan – baik pilkada langsung maupun via DPRD – tetap saja
menyisakan sengketa yang bermuara ke ranah hukum. Diketuknya palu pilkada
lewat legislatif atau DPRD pada Jumat (26/9) dinihari tersebut, tak urung
membuat pihak yang kontra meradang. Pilkada via DPRD
disebut-sebut sebagai penyanderaan terhadap kedaulatan rakyat. UU pilkada
yang melegitimasi pemilihan kepala daerah (kada) lewat jalur legislatif ini
juga dianggap sebagai lonceng kematian demokrasi dan tergadainya hak-hak
politik rakyat.
Pertanyaannya kemudian, rakyat
yang mana? Sebab kalau ditelisik pemberitaan dan perang opini di berbagai
media selama ini, baik yang pro pilkada langsung ataupun kontra selalu
menyebut “perjuangan” mereka untuk kepentingan rakyat. Semua merasa paling
benar, paling hebat, paling berjasa, paling mewakili rakyat, paling merakyat
dan paling-paling yang lainnya. Ironis, rakyat selalu menjadi tumbal
dari perebutan kekuasaan di negeri ini.
Padahal, kalau diamati betul,
selama proses pilkada langsung sepuluh tahun terakhir ini, rakyat hanya dilibatkan
di ujung-ujungnya saja. Artinya, partisipasi rakyat tak lebih dari lima menit
saat pencoblosan. Itupun dengan prosentase yang rata-rata hanya limapuluh
persen saja. Sisanya, rakyat hanya menjadi penonton.
Sebagai bagian dari rakyat –
bukan anggota legislatif dan eksekutif – yang disebut-sebut itu, gerah
juga Saya mendengarnya. Sebab, makin ke ujung, makin kelihatan siapa
yang paling berkepentingan dan apa motif di balik dagelan politik ala Senayan
tersebut. Dari awal ketika UU pilkada masih berupa embrio, sudah ketahuan
ada dua kelompok besar yang sedang bertarung berebut kekuasaan.
Di tataran elit pusat, pro
kontra UU Pilkada tak lebih dari adu nyali antara dua kelompok besar, yang
masing-masing dimotori PDI-P dan Partai Gerindra (Koalisi Merah Putih). Para
aktor yang melantai di gedung Senayan itu begitu piawai memainkan peran
masing-masing, dengan arahan sutradara handal. Belum lagi “penata panggung”
yang lihai, sehingga menghasilkan tontonan politik yang luar biasa hebatnya.
Manuver Partai Demokrat di
detik-detik terakhir semakin menguatkan adanya skenario besar yang sedang
dimainkan. Terbukti, usai pengesahan UU pilkada, masih ada serentetan episode
lain yang harus segera tayang ke ruang publik. Kali ini, partai Demokrat
sebagai pemain inti. UU Pilkada dinilai cacat hukum. SBY disebut-sebut
melakukan politik dua muka yang berujung kecaman banyak pihak. Tak ingin
citra diri dan partainya ternoda, SBY pun berang dan berencana memperkarakan
undang-undang tersebut ke ranah hukum.
Pada tahap ini, sebenarnya
sedang berkelindan berbagai kepentingan, intrik dan strategi politik.
Sekaligus memberi sinyal adanya “sesuatu” di internal Partai Demokrat. Dan
ini, politik tingkat tinggi yang hanya dimengerti, dipahami dan dilakoni para
elit parpol dan kekuasaan. Sedangkan rakyat badarai hanya sebagai penonton.
Sementara di daerah, opera
sabun UU Pilkada juga tak kalah hebohnya. Para walikota dan bupati serentak
menolak pilkada via legislatif. Sebaliknya, para anggota dewan – khususnya
Koalisi Merah Putih – justru sangat menginginkan pemilihan lewat jalur
legislatif ini. Masing-masing pihak bertahan dengan argumentasinya, termasuk
pengerahan massa. Namun keduanya sama-sama beralasan untuk kepentingan
rakyat. Tampak sekali bagaimana “duel” dua kelompok ini tak lebih
dari upaya menyelamatkan kepentingan masing-masing.
Para (calon) kepala daerah khawatir,
pemilihan model DPRD akan membuat mereka tidak leluasa lagi seperti
sebelumnya. Termasuk membangun dinasti politik dan kekuasaan yang selama
ini banyak terjadi. Sementara bagi kalangan legislatif, ini kesempatan untuk
menunjukkan taring bahwa mereka lebih berkuasa dan memiliki power untuk menentukan
calon kepala daerah. Kucuran fulus pun ditenggarai lebih mudah mengalir
dibanding pemilihan langsung.
Terlepas dari pro kontra
tersebut, bila ditilik dari sisi anggaran, pilkada via legislatif memang
memungkinkan terjadinya penghematan atau efisiensi yang cukup signifikan. Terutama
untuk biaya kampanye, sosialisasi dan pengamanan oleh TNI/Polri yang
menyedot lumayan besar dana setiap kali kampanye.
Lalu, bagaimana dengan perilaku
koruptif yang selama ini sudah membudaya dan tersistematis? Meski pilkada
langsung dituding sebagai biang kerok maraknya korupsi – terbukti 235 kepala
daerah tersandung kasus pidana korupsi – namun tidak ada jaminan model
pemilihan via DPRD ini bebas korupsi. Bisa jadi, korupsi akan ber-reinkarnasi
atau menjelma dalam wujud dan sistem lainnya.
Nah, pertanyaannya kini, siapa
yang diuntungkan? Ada pihak-pihak yang akan memperoleh keuntungan, baik pemilihan
langsung maupun jalur DPRD. Para pengamat politik, lembaga survey, konsultan
(baca juga: calo) politik, dukun politik, dan pengusaha advertising yang
terbiasa menerima order baliho, spanduk adalah pihak-pihak yang kehilangan
“lahan” jika pilkada via DPRD.
Sejumlah media partisan
sepertinya juga akan gulung tikar. Karena calon kada tidak perlu lagi politik
pencitraan, tebar pesona dan popularitas ala bintang atau selebritis.
Menyusul para artis dangdut yang sepi order manggung di pentas pilkada. Tak
ayal, MK pun akan sepi sidang. Paling cuma sengketa pilpres atau pileg sekali
lima tahun.
Tapi sandiwara politik itu
belum usai. Masih banyak kesempatan. Episode UU Pilkada masih panjang. Masih
banyak kejutan-kejutan lain sebelum akhirnya menjadi anti klimaks. Apalagi
belakangan muncul pula saran dari Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza
Mahendra yang meminta SBY dan Jokowi untuk tidak menandatangi UU tersebut.
Rencana kehadiran perppu pun akan semakin memperpanjang drama politik ini.
Apapun itu, satu yang perlu
digarisbawahi, berhentilah menjadikan rakyat sebagai tumbal! Sebab, saat elit
berebut pengaruh dan kekuasaan ala dagelan politik Senayan, rakyat justru
sedang bakatuntang melanjutkan hidup yang semakin sulit. Mulai dari kenaikan
BBM, tarif listrik, pendidikan yang semakin mahal dan problematika kemiskinan
lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar