Sabtu, 04 Oktober 2014

Jalur Legislatif atau Langsung, Siapa Untung?

Jalur Legislatif atau Langsung, Siapa Untung?

Mirawati Uniang  ;   Mahasiswa Universitas Eka Sakti
HALUAN,  03 Oktober 2014




Pasca pemilu presiden (pilpres) 9 Juli lalu, suhu politik di negeri ini bukannya menuju titik kondusif. Tapi malah sebaliknya, eskalasi politik baik di daerah maupun di ranah nasional, kian menjadi-jadi dan semakin panas saja. Menyusul disahkannya UU Pilkada dan ditolaknya uji materi UU MD3 dalam waktu hampir bersa­maan. Kedua produk hukum ini menuai pro-kontra yang meluas jadi perdebatan sengit di ranah publik.
Seperti yang sudah dipre­diksi, apapun keputusan – baik pilkada langsung maupun via DPRD – tetap saja menyisakan sengketa yang bermuara ke ranah hukum. Diketuknya palu pilkada lewat legislatif atau DPRD pada Jumat (26/9) dinihari tersebut, tak urung membuat pihak yang kontra meradang.  Pilkada  via DPRD disebut-sebut sebagai pe­nyanderaan terhadap kedaula­tan rakyat. UU pilkada yang melegitimasi pemilihan kepala daerah (kada) lewat jalur legislatif ini juga dianggap sebagai lonceng kematian demokrasi dan tergadainya hak-hak politik rakyat.

Pertanyaannya kemudian, rakyat yang mana? Sebab kalau ditelisik pemberitaan dan perang opini di berbagai media selama ini, baik yang pro pilkada langsung ataupun kontra selalu menyebut “perjua­ngan” mereka untuk kepen­tingan rakyat. Semua merasa paling benar, paling hebat, paling berjasa, paling mewakili rakyat, paling merakyat dan paling-paling yang lainnya.  Ironis, rakyat selalu menjadi tumbal dari perebutan ke­kuasaan di negeri ini.
Padahal, kalau diamati betul, selama proses pilkada langsung sepuluh tahun ter­akhir ini, rakyat hanya dili­batkan di ujung-ujungnya saja. Artinya, partisipasi rakyat tak lebih dari lima menit saat pencoblosan. Itupun dengan prosentase yang rata-rata hanya limapuluh persen saja. Sisa­nya, rakyat hanya menjadi penonton.
Sebagai ba­gian dari rakyat – bu­­kan ang­gota legis­latif dan ek­se­kutif – yang disebut-sebut itu, ge­rah juga Sa­ya men­de­ngar­­nya. Se­bab, makin ke ujung, makin keli­ha­tan siapa yang paling ber­kepen­ti­ngan dan a­pa motif di balik dagelan politik ala Se­nayan ter­­­sebut. Dari awal ketika UU pilkada ma­sih berupa embrio, sudah ketahuan ada dua kelom­pok besar yang sedang bertarung berebut kekuasaan.
Di tataran elit pusat, pro kontra UU Pilkada tak lebih dari adu nyali antara dua kelompok besar, yang masing-masing dimotori PDI-P dan Partai Gerindra (Koalisi Merah Putih). Para aktor yang melantai di gedung Senayan itu begitu piawai memainkan peran masing-masing, dengan arahan sutradara handal. Belum lagi “penata panggung” yang lihai, sehingga meng­hasilkan tontonan politik yang luar biasa hebatnya.
Manuver Partai Demokrat di detik-detik terakhir semakin menguatkan adanya skenario besar yang sedang dimainkan. Terbukti, usai pengesahan UU pilkada, masih ada serentetan episode lain yang harus segera tayang ke ruang publik. Kali ini, partai Demokrat sebagai pemain inti. UU Pilkada dinilai cacat hukum. SBY disebut-sebut melakukan politik dua mu­ka yang berujung kecaman ba­nyak pihak. Tak ingin citra diri dan partainya ternoda, SBY pun berang dan berencana mem­perkarakan undang-undang tersebut ke ranah hukum.
Pada tahap ini, sebenarnya sedang berkelindan berbagai kepentingan, intrik dan strategi politik. Sekaligus memberi sinyal adanya “sesuatu” di internal Partai Demokrat. Dan ini, politik tingkat tinggi yang hanya dimengerti, dipahami dan dilakoni para elit parpol dan kekuasaan. Se­dang­kan rakyat badarai hanya sebagai penonton.
Sementara di daerah, opera sabun UU Pilkada juga tak kalah hebohnya. Para walikota dan bupati serentak menolak pilkada via legislatif. Sebalik­nya, para anggota dewan – khu­susnya Koalisi Merah Putih – justru sangat me­nginginkan pemilihan le­wat jalur legislatif ini. Ma­sing-masing pihak berta­han dengan argumen­ta­si­nya, ter­ma­suk penge­rahan mas­sa. Na­mun ke­dua­nya sa­ma-sama ber­alasan un­­tuk ke­pen­tingan rak­yat. Tam­­pak se­kali bagai­mana “du­el” dua kelom­pok ini tak leb­ih dari upaya me­nye­­la­mat­­­kan ke­pen­tingan ma­sing-masing.
Para (ca­lon) kepala daerah kha­watir, pe­milihan mo­del DPRD akan mem­buat mereka tidak leluasa lagi seperti sebelumnya. Termasuk mem­­bangun dinasti politik dan kekuasaan yang selama ini banyak terjadi. Sementara bagi kalangan legislatif, ini kesem­patan untuk menunjukkan taring bahwa mereka lebih berkuasa dan memiliki power untuk menen­tukan calon kepala daerah. Kucuran fulus pun ditenggarai lebih mudah mengalir dibanding pemilihan langsung.
Terlepas dari pro kontra tersebut, bila ditilik dari sisi anggaran, pilkada via legislatif memang memungkinkan terja­dinya penghematan atau efisiensi yang cukup signifikan. Te­rutama untuk biaya kam­panye, sosialisasi dan penga­manan oleh TNI/Polri yang menyedot lumayan besar dana setiap kali kampanye.
Lalu, bagaimana dengan perilaku koruptif yang selama ini sudah membudaya dan tersistematis? Meski pilkada langsung dituding sebagai biang kerok maraknya korupsi – terbukti 235 kepala daerah tersandung kasus pidana korupsi – namun tidak ada jaminan model pemilihan via DPRD ini bebas korupsi. Bisa jadi, korupsi akan ber-reinkar­nasi atau menjelma dalam wujud dan sistem lainnya.
Nah, pertanyaannya kini, siapa yang diuntungkan? Ada pihak-pihak yang akan mem­peroleh keuntungan, baik pemilihan langsung maupun jalur DPRD. Para pengamat po­litik, lembaga survey, kon­sultan (baca juga: calo) politik, du­kun politik, dan pengusaha adver­tising yang terbiasa me­nerima order baliho, spanduk adalah pihak-pihak yang kehila­ngan “lahan” jika pilkada via DPRD.
Sejumlah media partisan sepertinya juga akan gulung tikar. Karena calon kada tidak perlu lagi politik pencitraan, tebar pesona dan popularitas ala bintang atau selebritis. Menyusul para artis dangdut yang sepi order manggung di pentas pilkada. Tak ayal, MK pun akan sepi sidang. Paling cuma sengketa pilpres atau pileg sekali lima tahun.
Tapi sandiwara politik itu belum usai. Masih banyak kesempatan. Episode UU Pilkada masih panjang. Masih banyak kejutan-kejutan lain sebelum akhirnya menjadi anti klimaks. Apalagi belakangan muncul pula saran dari Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra yang meminta SBY dan Jokowi untuk tidak menandatangi UU tersebut. Rencana kehadiran perppu pun akan semakin mem­perpanjang drama politik ini.
Apapun itu, satu yang perlu digarisbawahi, berhentilah menjadikan rakyat sebagai tumbal! Sebab, saat elit berebut pengaruh dan kekuasaan ala dagelan politik Senayan, rakyat justru sedang bakatuntang melanjutkan hidup yang semakin sulit. Mulai dari kenaikan BBM, tarif listrik,  pendidikan yang semakin mahal dan problematika ke­miskinan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar