UU
Pilkada Ciptakan Anomali
Agus Riewanto ; Penulis mengajar di Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Sebelas Maret
|
KORAN
JAKARTA, 03 Oktober 2014
Akhirnya Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU
Pilkada) disahkan DPR dengan mengembalikan prosesnya ke DPRD dalam rapat
paripurna melalui voting delapan
fraksi (PDIP, Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindar, dan Hanura) tanpa Fraksi
Partai Demokrat yang memilih walk out
sebelum voting (Koran Jakarta, 27 September 2014).
Publik nasional dan dunia mengecam DPR yang mengubah model pilkada dari
langsung ke perwakilan DPRD. Bahkan sejumlah media asing, seperti The New York Times, BBC, The Guardian,
Times, Sydney Morning Herald, dan Brisbane
Times (Jumat, 26/9/2014), meliput tentang kemarahan publik Indonesia yang
menginginkan pilkada secara langsung namun tak digubris DPR.
Media-media asing itu menyatakan pengesahan RUU sebagai cermin kemunduran
dalam transisi demokrasi dan perebutan kekuasaan secara telanjang oleh elite
politik. Sesungguhnya, dalam konteks hukum ketatanegaraan, pengesahan
tersebut bakal memantik problem serius ketidakharmonisan dan
ketidakkoherensian sistem pemerintahan antara pusat dan daerah. Dalam doktrin
hukum ketatanegaraan, menurut Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1971), norma dasar (UUD) untuk
menerjemahkan pilihan sistem pemerintahan pusat dan daerah harus koheren
(sama), bukan menyimpang (anomali).
Ketika sistem pemerintahan yang diadopsi pusat adalah presidensial,
sistem daerah juga harus presidensial. Sejarah mencatat MPR, sebelum
melakukan amendemen UUD 1945 asli, telah menyepakati lima pokok. Salah
satunya tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial.
Sesungguhnya, sejak amendemen UUD 1945 tahun 2002, Indonesia tetap
menganut sistem pemerintahan presidensial dengan salah satu ciri sebagaimana
tecermin pada Pasal 6A UUD 1945. Di situ dinyatakan presiden dan wakil
presiden dipilih langsung rakyat dalam pemilu presiden.
Pasal 7A menyatakan presiden tidak dapat dijatuhkan DPR di tengah masa
jabatan, kecuali menggunakan mekanisme pemakzulan (impeachment). Pasal 7C menyatakan presiden tidak dapat
membubarkan DPR. Pasal-pasal dalam UUD 1945 ini menjelaskan sistem
pemerintahan yang diadopsi dalam ketatanegaraan Indonesia adalah presidensial
murni.
Dengan demikian, sistem pemerintahan presidensial ini bukan hanya
berlaku di pusat yang dipimpin seorang presiden, namun juga harus linier
dengan sistem di daerah yang dipimpin kepala daerah (KD) seperti gubernur,
bupati dan wali kota. Keduanya harus mengadopsi sistem presidensial
sebagaimana tecermin dalam Pasal 6A, 7A dan 7C UUD 1945 pascaamendemen.
Esensi sistem presidensial dibanding parlementer dan atau quasi/hybrid
terletak pada model pilihan presiden: langsung oleh rakyat atau tidak.
Indonesia telah memilih secara langsung presiden pada tahun 2004, 2009, dan
2014.
Tujuannya agar presiden memiliki tingkat legitimasi tinggi, sama
kuatnya dengan DPR yang dipilih langsung rakyat sistem proporsional terbuka
dengan varian model suara terbanyak. Dengan demikian , antara DPR dan
presiden tidak dapat saling menjatuhkan, tapi saling mengontrol (checks and balances). Selain itu, agar
partisipasi politik rakyat menguat dan luas, masyarakat diberi kebebasan
untuk memilih dan menentukan pemimpin politiknya sesuai selera.
Pada akhirnya, presiden terpilih dapat menentukan kebijakan sesuai
dengan mandat rakyat. Pemilihan secara langsung tidak hanya pada presiden,
tapi juga KD. Sebab antara presiden dan KD memiliki tugas dan tanggung jawab
sama terhadap rakyat. Hubungan dengan DPR dan DPRD sebagai mitra sejajar
dalam menjalankan roda pemerintahan pusat-daerah. Jika presiden dipilih
langsung rakyat, konsekuensi logisnya KD juga harus dipilih secara langsung.
Anomali Pilkada kembali ke DPRD berarti hendak mempraktikkan sistem
presidensial anomali (menyimpang) dari norma dasar (UUD 1945) pasca-amendemen
yang menghendaki kesamaan sistem pemerintahan. KD dipilih oleh DPRD, maka
berarti pemerintah daerah menganut sistem parlementer, sedangkan pusat
menganut sistem presidensial. Bahaya hukum ketatanegaraan dari praktik sistem
parlementer di daerah ini, posisi parlemen daerah (DPRD) memiliki otoritas
politik yang lebih kuat dibanding KD karena DPRD memilih KD. DPRD merasa
lebih superior (legislative heavy),
sebaliknya posisi KD lemah (excecutive
weaks).
Sistem parlementer daerah akan berisiko politik. KD mudah diberhentikan
(dimakzulkan) di tengah jalan oleh DPRD melalui mosi tidak percaya jika
kebijakan politiknya tidak sejalan kehendak parlemen. Maka, dipastikan kelak
akan muncul aneka konflik politik saling sandera antara DPRD dan KD dalam
laporan pertanggungjawaban kinerja. Kebuntuan situasi dan instabilitas
politik sebagaimana diperkenalkan Scott Mainwaring (1993) akan kerap terjadi
di daerah hanya karena perbedaan haluan politik antara DPRD dan KD.
Kemudian dalam praktik sistem pemerintahan parlementer daerah ke depan,
bakal banyak tirani mayoritas di DPRD untuk memerdaya dan mengganggu
konsentrasi kerja KD karena lebih fokus memperhatikan kemauan parlemen
daripada rakyat. Di sinilah korupsi politik dan konspirasi jahat untuk
membagi keuntungan ekonomi politik antara DPRD dan KD tak dapat dihindarkan.
KD memerlukan persetujuan DPRD untuk memuluskan program kerja, anggaran, dan
peraturan daerah (perda).
DPRD akan memperjualbelikan persetujuan demi keuntungan-keuntungan
ekonomi dan pundi-pundi keuangan dari APBD yang dikelola KD. Itulah sebabnya
sistem parlementer daerah justru akan kian membuka keran kelahiran modus baru
budaya korupsi. Bahaya lain lagi praktik parlementer daerah, kesulitan
presiden terpilih Jokowi-JK dalam berkomunikasi, koordinasi, dan penyamaan
visi-misi dalam menjalankan program pemerintah pusat di daerah. Sebab
perbedaan pandangan politik dan cara pemilihan. Di titik ini, akan terjadi
budaya membangkang kepala daerah kepada presiden.
Itulah sebabnya praktik anomali sistem presidensial akan berdampak
daerah tak dapat memerintah secara efektif. Waktunya lebih banyak disita
untuk melayani DPRD. Secara eksplisit maupun implisit, dikhawatirkan sistem
pemerintahan presidensial bakal banyak mengalami jalan buntu.
Ini otomatis akan mematisurikan demokratisasi serta menghambat
kesejahteraan rakyat. UU Pilkada harus ditolak dengan melakukan uji materi ke
MK. UU Pilkada berpotensi melanggar ketentuan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 6A, 7A
dan 7C UUD 45 karena nyata-nyata mencabut kedaulatan rakyat. UU itu dimenangi
gerombolan elite politik dan mengubah ketatanegaraan dari presidensial murni
ke sistem presidensial yang anomali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar