Kisah
Haji Mabrur Penjual Sepatu
A Adib ; Wartawan Suara Merdeka
|
SUARA
MERDEKA, 03 Oktober 2014
ALKISAH, setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, Abdullah bin
al-Mubarak tertidur dan bermimpi mendengarkan percakapan dua malaikat yang
turun dari langit.
”Berapa banyak yang datang (menunaikan ibadah haji) tahun ini?” tanya
malaikat kepada ”rekannya” tersebut. ”Sekitar 600 ribu.” ”Berapa banyak dari
mereka yang ibadah hajinya diterima.” ”Tidak ada satu pun.” Percakapan ini
membuat Abdullah gemetar dan menangis di dalam mimpi.
”Semua orang itu datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan
besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir
yang luas, tapi semua usaha mereka siasia,” pikirnya dalam mimpi.
Malaikat tadi melanjutkan bicaranya, ”Tapi ada seorang tukang sepatu
dari Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq. Dia tidak datang beribadah
haji tapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya diampuni-Nya.”
Setelah terjaga, Abdullah berkata pada dirinya sendiri, ”Malaikat itu
berbicara nyata dalam mimpiku. Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam
keputusan-Nya.” Dia pun memutuskan pergi ke Damaskus menjumpai orang yang
diceritakan malaikat tadi. ”Jadi, aku ke Damaskus dan menemukan tempat ia
tinggal. Aku menyapanya ketika ia keluar dari rumahnya.
Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kau lakukan?” ”Aku Ali bin
Mowaffaq, penjual sepatu,” jawab seorang pria sambil berdiri di pintu.
Abdullah pun menangis dan jatuh pingsan. Ketika Abdullah siuman, Ali si
pedagang sepatu pun menceritakan dirinya. Selama 40 tahun dirinya
merindu-rindu bisa menunaikan ibadah haji. Ia telah menyisihkan 350 dirham
hasil berjualan sepatu dan memutuskan akan ke Makkah.
Ali melanjutkan tuturannya, ”Tapi suatu hari, istriku mencium aroma
makanan yang dimasak tetangga sebelah, dan memohon agar ia yang lagi
mengandung bisa mencicipi sedikit. Aku pergi ke sebelah, mengetuk pintu
kemudian menjelaskan situasinya. Tetanggaku itu menangis, katanya sudah tiga
hari ini anaknya tidak makan apa-apa. Dia bilang, “hari ini aku melihat
keledai mati tergeletak dan aku memotongnya lalu memasak untuk mereka”
(anaknya-Red).
“Ini bukan makanan halal bagimu,” kata Ali sambil menatap Abdullah. Abdullah
serasa terbakar hatinya mendengar penuturan seperti itu, lalu ia mengambil
350 dirham yang disimpan di kantong, memberikannya kepada Ali seraya
berucap,” Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah uang perjalanan hajiku.”
Kisah itu kian memperjelas bahwa substansi ibadah haji juga mencakup
kepedulian terhadap sesama, sebagaimana ditunjukkan Ali yang meraih haji
mabrur dan diampuni dosanya meski ”hanya” baru berniat dan itu pun ”batal”
karena uang untuk pergi haji dia berikan ke tetangga yang mengalami kesempitan.
Padahal ia belum pernah berhaji dan ingin sekali pergi.
Antrean
Panjang
Hal itu perlu menjadi renungan, sejalan dengan saran Menag Lukman Hakim
Sjaifuddin supaya ada peraturan melarang orang berhaji jika berstatus sunah
atau bila orang itu berhaji lebih dari satu kali.
Salah satu aturan yang diperlukan adalah fatwa MUI yang melarang
beribadah haji berkali-kali. Usulan Menag beralasan karena pendaftar calon
haji terus meningkat tiap tahun. Hingga Juli 2014, data Kemenag mencatat
antrean calhaj sudah 2,2 juta orang.
Bahkan di sejumlah daerah daftar tunggu (waiting list)-nya belasan tahun. Selain itu, hukum berhaji kali
kedua dan seterusnya adalah sunah sehingga andai tidak mengulang pun tidak
apa-apa. Bahkan KH Ali Mustofa Yaqub menengarai haji mengulang itu boleh jadi
bukan sunah melainkan bisa-bisa makruh, bahkan haram. Tentu jika niatnya
hanya berburu status sosial.
(Haji Pengabdi Setan; 2006).
Pasalnya, mereka yang berangkat haji berulang-ulang tak menyadari
antrean panjang calon yang ingin menunaikan ibadah haji untuk kali pertama
alias berhukum wajib. Mereka juga sepertinya tidak menyadari di sekitarnya
masih banyak orang miskin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 28 juta lebih.
Memedomani kaidah usul fikih bahwa amal berkesinambungan itu lebih
utama ketimbang amal yang manfaatnya terhenti pada pribadi. Tokoh agama,
kiai, MUI perlu memberikan pencerahan kepada umat bahwa kewajiban berhaji itu
cukup sekali seperti Nabi Muhammad saw. Akan lebih baik jika dana untuk
berhaji kali kedua dan seterusnya itu diberikan kepada fakir miskin atau
beramal sosial sebagai amal jariyah yang manfaat dan pahalanya
berkesinambungan.
Andai jumlah mereka yang berhaji lebih dari sekali itu 8 ribu orang, dengan
asumsi biaya perjalanan haji (BPIH) Rp 30 juta maka bisa terkumpul sekitar Rp
240 miliar. Ketika uang itu didepositokan, pada akhir tahun bertambah 10
persen.
Mencontoh kisah penjual sepatu yang memperoleh haji mabrur karena
kepedulian terhadap nasib tetangga yang miskin, seberapa besar manfaat dana
itu bila untuk ibadah pribadi dibanding ibadah sosial yang berpahala
berkesinambungan. Alih-alih memberi kesempatan kepada mereka yang lama antre
untuk kali pertama ibadah haji yang berhukum wajib. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar