Idul
Adha dan Jokowi-Prabowo
Taufik Ikram Jamil ; Sastrawan
|
KOMPAS,
04 Oktober 2014
Tak
berlebihan kiranya jika kawan saya Abdul Wahab menjuluki Idul Adha 1435 H
tahun ini sebagai Idul Adha Jokowi-Prabowo. Sebab, inti dari salah satu hari
besar Islam itu adalah berkurban atau berkorban, terutama menyingkirkan
keinginan mementingkan diri atau kelompok sendiri. Ini amat perlu
diimplementasikan Joko Widodo–Prabowo Subianto sebagai tokoh sentral dalamdua
arus besar untuk Indonesia lebih baik.
Melalui
layanan pesan pendek (SMS) yang dikirimkan kepada saya, Wahab menulis, ”Implementasi tersebut amat diperlukan,
apalagi suhu politik menjelang pelantikan presiden terpilih 20 Oktober
cenderung memanas lagi sementara rekonsiliasi kedua kubu belum nyata.”
Korban
atau kurban yang dimaksudkan Wahab bersumber dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), yang berarti pemberian untuk menyatakan kebaktian dan
kesetiaan.
Arti
lainnya, sesuatu yang menjadi menderita. Buku ini tidak membedakan dua kata
tersebut, lain dengan bahasa asalnya, yakni Arab, masing-masing diucapkan
sebagai ”qurban” dan ”dhuhiyah” (Inggris: sacrifice
serta victim).
Mengurbankan
perasaan, mengacu pada pemaknaan kurban dalam pengertian etimologi ataupun
terapan, bukan pada hukum ibadah yang berhubungan dengan penyembelihan hewan.
Di sisi
lain, perasaan dikenal sebagai suatu keadaan jiwa pada individu akibat
peristiwa atau persepsi yang dialami organisme menyiratkan hubungan dua arah
antara dari dalam diri dan luar diri manusia.
Meskipun
keadaan jiwa tersebut dapat dikolektifkan antara lain dengan cara
mengorganisasikan individu-individu dalam satu persepsi, perasaan akan tetap
menjadi wilayah personal sehingga memungkinkan suatu peristiwa ditanggapi
berbeda-beda.
Rentetan peristiwa
Simbol
dari upaya mengorganisasi individu-individu yang kemudian tetap menjadikan
perasaan sebagai wilayah personal dalam pemilihan presiden adalah Jokowi dan
Prabowo.
Hasil
pilpres berupa capaian angka-angka pemilih sebagai peristiwa atau persepsi
yang dialami oleh organisme kedua sosok itu, masing-masing hadir dalam diri
mereka sebagai pihak menang dan kalah.
Begitu
juga keinginan Nabi Ibrahim AS (alaihissalam)
memiliki anak yang menjadi salah satu cikal-bakal pelaksanaan Idul Adha. Ini
tentulah pada awalnya dilatarbelakangi persepsi yang dialami oleh organisme
Sang Nabi setelah melihat bahwa seorang lelaki dan beristeri, memiliki anak.
Sampailah
akhirnya, istri Ibrahim AS yakni Sarah meminta manusia suci itu mengawini
Siti Hajar yang tak seberapa lama kemudian melahiran anak dan dinamakan
Ismail.
Saat
Ibrahim AS begitu bahagia, ia justru diperintahkan Allah SWT berkurban
melalui cara dengan menyembelih anak yang diperolehnya dalam usia 98 tahun
tersebut.
Bukankah
Nabi Ibrahim AS mengurbankan perasaan cinta begitu besar kepada anaknya
Ismail sehingga makhluk yang ditunggu-tunggunya puluhan tahun itu harus
disembelih.
Makin
banyak nilai mengurbankan perasaan jika peristiwa tersebut ditarik ke
belakang dan ke depan. Misalnya, Sarah mengurbankan perasaan saat ia meminta
Ibrahim AS menikahi Siti Hajar setelah pernikahan mereka puluhan tahun tidak
memperoleh anak. Begitu pun Hajar, harus mengurbankan perasaan karena tinggal
berdua dengan Ismail di padang pasir tandus sekian lama.
Begitulah
Idul Adha yang ditandai dengan pengerjaan ibadah haji, pada satu sisi seperti
menapak tilas pengurbanan Ibrahim AS dan keluarganya.
Hal ini
akan memiliki makna khusus, manakala sifat-sifat pengurbanan itu dapat
diterapkan dalam kehidupan setelah mengerjakan haji. Patutlah Nabi Muhammad
SAW mengatakan, haji merupakan jihad tertinggi seorang Muslim.
Berlandaskan iman
Membalas
pesan pendek Wahab, saya menulis, ”Kepada
Prabowo, diperlukan pengurbanan perasaan yang tetap ingin menang walaupun
melalui cara pembuktian kecurangan pemilu, tetapi terbantahkan di lembaga
berkompeten semacam MK sesuai ketentuan berlaku. Begitu pula Jokowi, harus
mengurbankan perasaan menang, antara lain, dengan cara tidak mengumbarkan
kata-kata kurang berempati terhadap kubu yang kalah.”
Tetap
merasa ingin menang yang menyelimuti jiwa Prabowo dapat diperlihatkan oleh
banyak bukti. Di antaranya dengan cara menguasai parlemen untuk melaksanakan
pemilihan kepala daerah melalui DPRD sehingga meskipun tidak menjadi presiden,
ia beserta koalisi yang dipimpinnya akan menguasai 31 dari 33 provinsi.
Belum
lagi berkaitan dengan undang-undang MD3 dan penjaringan BPK. Seharusnya,
Prabowo dan kawan-kawan memberikan laluan bagi Jokowi beserta tim untuk
memimpin republik ini tanpa merecokinya.
Begitu
pula Jokowi, bekerja sajalah dengan alur dan patutnya tanpa mengumbar
kata-kata seperti menumpas mafia itu dan melindas mafia ini. Sangat
disesalkan, tidak terlihat empati dari Jokowi dan partai pendukungnya,
terutama PDI-P, ketika Ketua Umum Gerindra Ir Suhardi meninggal beberapa
waktu lalu.
”Memang, alasan pengurbanan yang dilakukan Ibrahim
dan keluarganya yang langsung pada Allah SWT pasti tidak sebanding dengan
alasan kurban perasaan Prabowo dan Jokowi. Tetapi ketika kurban kedua sosok
ini adalah untuk menyelamatkan bangsa, tentulah tidak menyimpang dari
keinginan Mahatinggi itu karena mencintai bangsa bagian dari iman. Menyatukan
orang bertikai merupakan pekerjaan mulia di sisi Islam,” tulis
Wahab. Sampai pada kalimat itu, tak ada yang dapat saya komentari lagi. Saya
setuju seratus persen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar