Selasa, 07 Oktober 2014

Idul Adha dan Jokowi-Prabowo

Idul Adha dan Jokowi-Prabowo

Taufik Ikram Jamil  ;   Sastrawan
KOMPAS,  04 Oktober 2014




Tak berlebihan kiranya jika kawan saya Abdul Wahab menjuluki Idul Adha 1435 H tahun ini sebagai Idul Adha Jokowi-Prabowo. Sebab, inti dari salah satu hari besar Islam itu adalah berkurban atau berkorban, terutama menyingkirkan keinginan mementingkan diri atau kelompok sendiri. Ini amat perlu diimplementasikan Joko Widodo–Prabowo Subianto sebagai tokoh sentral dalamdua arus besar untuk Indonesia lebih baik.

Melalui layanan pesan pendek (SMS) yang dikirimkan kepada saya, Wahab menulis, ”Implementasi tersebut amat diperlukan, apalagi suhu politik menjelang pelantikan presiden terpilih 20 Oktober cenderung memanas lagi sementara rekonsiliasi kedua kubu belum nyata.”

Korban atau kurban yang dimaksudkan Wahab bersumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang berarti pemberian untuk menyatakan kebaktian dan kesetiaan.

Arti lainnya, sesuatu yang menjadi menderita. Buku ini tidak membedakan dua kata tersebut, lain dengan bahasa asalnya, yakni Arab, masing-masing diucapkan sebagai ”qurban” dan ”dhuhiyah” (Inggris: sacrifice serta victim).

Mengurbankan perasaan, mengacu pada pemaknaan kurban dalam pengertian etimologi ataupun terapan, bukan pada hukum ibadah yang berhubungan dengan penyembelihan hewan.

Di sisi lain, perasaan dikenal sebagai suatu keadaan jiwa pada individu akibat peristiwa atau persepsi yang dialami organisme menyiratkan hubungan dua arah antara dari dalam diri dan luar diri manusia.

Meskipun keadaan jiwa tersebut dapat dikolektifkan antara lain dengan cara mengorganisasikan individu-individu dalam satu persepsi, perasaan akan tetap menjadi wilayah personal sehingga memungkinkan suatu peristiwa ditanggapi berbeda-beda.

Rentetan peristiwa

Simbol dari upaya mengorganisasi individu-individu yang kemudian tetap menjadikan perasaan sebagai wilayah personal dalam pemilihan presiden adalah Jokowi dan Prabowo.

Hasil pilpres berupa capaian angka-angka pemilih sebagai peristiwa atau persepsi yang dialami oleh organisme kedua sosok itu, masing-masing hadir dalam diri mereka sebagai pihak menang dan kalah.

Begitu juga keinginan Nabi Ibrahim AS (alaihissalam) memiliki anak yang menjadi salah satu cikal-bakal pelaksanaan Idul Adha. Ini tentulah pada awalnya dilatarbelakangi persepsi yang dialami oleh organisme Sang Nabi setelah melihat bahwa seorang lelaki dan beristeri, memiliki anak.

Sampailah akhirnya, istri Ibrahim AS yakni Sarah meminta manusia suci itu mengawini Siti Hajar yang tak seberapa lama kemudian melahiran anak dan dinamakan Ismail.

Saat Ibrahim AS begitu bahagia, ia justru diperintahkan Allah SWT berkurban melalui cara dengan menyembelih anak yang diperolehnya dalam usia 98 tahun tersebut.

Bukankah Nabi Ibrahim AS mengurbankan perasaan cinta begitu besar kepada anaknya Ismail sehingga makhluk yang ditunggu-tunggunya puluhan tahun itu harus disembelih.

Makin banyak nilai mengurbankan perasaan jika peristiwa tersebut ditarik ke belakang dan ke depan. Misalnya, Sarah mengurbankan perasaan saat ia meminta Ibrahim AS menikahi Siti Hajar setelah pernikahan mereka puluhan tahun tidak memperoleh anak. Begitu pun Hajar, harus mengurbankan perasaan karena tinggal berdua dengan Ismail di padang pasir tandus sekian lama.

Begitulah Idul Adha yang ditandai dengan pengerjaan ibadah haji, pada satu sisi seperti menapak tilas pengurbanan Ibrahim AS dan keluarganya.

Hal ini akan memiliki makna khusus, manakala sifat-sifat pengurbanan itu dapat diterapkan dalam kehidupan setelah mengerjakan haji. Patutlah Nabi Muhammad SAW mengatakan, haji merupakan jihad tertinggi seorang Muslim.

Berlandaskan iman

Membalas pesan pendek Wahab, saya menulis, ”Kepada Prabowo, diperlukan pengurbanan perasaan yang tetap ingin menang walaupun melalui cara pembuktian kecurangan pemilu, tetapi terbantahkan di lembaga berkompeten semacam MK sesuai ketentuan berlaku. Begitu pula Jokowi, harus mengurbankan perasaan menang, antara lain, dengan cara tidak mengumbarkan kata-kata kurang berempati terhadap kubu yang kalah.”

Tetap merasa ingin menang yang menyelimuti jiwa Prabowo dapat diperlihatkan oleh banyak bukti. Di antaranya dengan cara menguasai parlemen untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah melalui DPRD sehingga meskipun tidak menjadi presiden, ia beserta koalisi yang dipimpinnya akan menguasai 31 dari 33 provinsi.

Belum lagi berkaitan dengan undang-undang MD3 dan penjaringan BPK. Seharusnya, Prabowo dan kawan-kawan memberikan laluan bagi Jokowi beserta tim untuk memimpin republik ini tanpa merecokinya.

Begitu pula Jokowi, bekerja sajalah dengan alur dan patutnya tanpa mengumbar kata-kata seperti menumpas mafia itu dan melindas mafia ini. Sangat disesalkan, tidak terlihat empati dari Jokowi dan partai pendukungnya, terutama PDI-P, ketika Ketua Umum Gerindra Ir Suhardi meninggal beberapa waktu lalu.

”Memang, alasan pengurbanan yang dilakukan Ibrahim dan keluarganya yang langsung pada Allah SWT pasti tidak sebanding dengan alasan kurban perasaan Prabowo dan Jokowi. Tetapi ketika kurban kedua sosok ini adalah untuk menyelamatkan bangsa, tentulah tidak menyimpang dari keinginan Mahatinggi itu karena mencintai bangsa bagian dari iman. Menyatukan orang bertikai merupakan pekerjaan mulia di sisi Islam,” tulis Wahab. Sampai pada kalimat itu, tak ada yang dapat saya komentari lagi. Saya setuju seratus persen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar