Selasa, 07 Oktober 2014

Relasi Diaspora WNI Jejaring NIIS

Relasi Diaspora WNI Jejaring NIIS

M Syauqillah  ;   Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Marmara, Istanbul, Turki
KOMPAS,  03 Oktober 2014




DEKLARASI Solo dan Malang serta video persuasi oleh Abu Muhammad al-Indonesi untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) memberikan sinyal kuat bahwa gerakan yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi itu telah memiliki pengikut di Indonesia. Menurut sejumlah sumber, jihadis asal Indonesia bahkan berperan serta dalam konflik di Suriah.

Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan lahirnya hubungan diaspora warga negara Indonesia dan jejaring NIIS, antara lain, adalah faktor geografis, imigrasi, kultural, dan imigrasi. Faktor geografis merupakan faktor utama yang memungkinkan jihadis Indonesia mengakses Suriah dan Irak melalui sebuah negara terbuka seperti Turki.

Migrasi penduduk dari negara lain menjadi faktor lain yang menciptakan relasi diaspora WNI dengan jejaring NIIS. Saat ini Turki relatif terbuka bagi warga asing, termasuk pelajar. Jumlah pelajar hingga mahasiswa Indonesia di Turki mencapai lebih dari 800 orang, tersebar di seluruh pelosok Turki.

Keterbukaan masyarakat Turki sebagai modal pariwisata turut berperan. Adalah lumrah menyaksikan warga Turki menawarkan bantuan pada warga asing, apalagi warga Indonesia, meskipun mereka harus berbicara dalam bahasa isyarat.
Masyarakat Turki umumnya menyukai warga Indonesia pasca perjumpaan di Tanah Suci. Mereka kerap menyebut hubungan Turki-Indonesia sebagai kardes (sahabat).

Istilah ’hizmet’’ atau ’melayani’ adalah istilah yang sangat terkenal dan menjadi slogan warga Turki untuk kardes. Seorang pelajar di Istanbul pernah menyatakan sukarela memberikan bantuan kepada sejumlah anggota gerakan Mujahidin Indonesia. Bahkan, ia menawarkan rumahnya untuk bermalam dan menjadi pemandu acara ”jalan-jalan” mereka.

Setelah beberapa hari berinteraksi, barulah sang pelajar mengetahui bahwa tamu yang didampinginya adalah utusan ormas untuk mempelajari medan di Turki, sebelum menyuplai rombongan jihadis ke Suriah.

Pelajar itu pun mengaku ditawari bergabung dalam gerakan mereka, setidaknya menjadi contact person bagi rombongan jihadis yang akan masuk ke Suriah melalui Turki. Para pelajar umumnya masih SMA dan mahasiswa tingkat awal memang tidak banyak yang paham tentang konstelasi di Suriah.

Hal lain yang menjadi faktor semakin berkembangnya jejaring NIIS masuk ke Suriah melalui Turki adalah kemudahan pengurusan imigrasi bagi warga negara Indonesia. Turki, setelah kunjungan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 bersepakat memberlakukan visa on arrival (VOA) sebesar 35 dollar AS di Bandara Internasional Ataturk.

Selain menjadi lahan jihadis, Turki juga menjadi area transit bantuan kemanusiaan asal Indonesia. Mulai dari lembaga yang kredibel dan terbiasa menyalurkan bantuan kemanusiaan hingga organisasi yang menjadi bagian dari kelompok radikal, yang sebenarnya ke Turki untuk memburu mahasiswa sebagai contact person warga negara Indonesia.

Dua terjerat

Jauh sebelum diulas media, ada dua pelajar Indonesia di Turki yang telah bergabung dengan ISIS. Padahal, kedua pelajar tersebut sebelumnya anggota kelompok Islam yang terkenal moderat, humanis, dan pluralis di Turki, yaitu Fethullah Gulen.

Kedua pelajar itu penerima beasiswa dari Kementerian Agama Turki dan beasiswa kelompok Gulen, yang ternyata bukan jaminan mereka terbebas dari kontaminasi gerakan Islam radikal.

Kedua pelajar Indonesia itu alumni sekolah milik jaringan Fethullah Gulen di Indonesia. Setelah ditelusuri lebih jauh, kedua pelajar tersebut tak hanya memiliki relasi dengan jejaring NIIS dunia maya, melainkan juga kontak dengan jaringan NIIS di Surabaya, Malang, dan Solo.

Menyikapi meluasnya jejaring NIIS dan diaspora WNI, pemerintah kiranya perlu bertindak preventif melalui Kementerian Luar Negeri, pejabat imigrasi dan Badan Nasional Pencegahan Terorisme untuk mencegah bertambahnya WNI yang bergabung dengan NIIS.

Langkah tersebut dapat diambil bekerja sama dengan Pemerintah Turki, mulai dengan bertukar informasi terkait jumlah WNI yang menetap di Turki. Pemerintah Indonesia juga harus memiliki basis data termutakhir ihwal jumlah WNI beserta aktivitasnya di Turki, khususnya terkait izin tinggal menggunakan VOA yang hanya berlaku satu bulan.

Basis data itu selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan arah kebijakan Pemerintah Indonesia, terutama untuk mencegah jihadis berulah saat kembali ke Tanah Air, sebagaimana yang terjadi pada alumni Afganistan.

Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh kedutaan besar dan konsulat jenderal yang ada di Turki perlu proaktif dalam memberikan wawasan kebangsaan. Dinamika sosial Turki dengan beragam kelompok keagamaan yang berperan sebagai pemberi beasiswa bagi pelajar WNI merupakan tantangan tersendiri bagi perwakilan Indonesia untuk menumbuhkan nasionalisme keindonesiaan.

Pemerintah Indonesia melalui perwakilannya di Turki harus menggalang kerja sama dengan berbagai yayasan sosial lokal di Turki untuk mengampanyekan penolakan terhadap NIIS. Selain itu, pencegahan perluasan NIIS di Indonesia harus dimulai dari pintu masuk Suriah dan Irak.

Pengalaman dua pelajar Indonesia di Turki adalah bukti bahwa terdapat kelemahan dalam pembinaan WNI di Turki, baik oleh perwakilan resmi Indonesia di Turki, maupun oleh yayasan-yayasan sosial setempat.

Langkah-langkah preventif tentunya tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga tanggung jawab semua WNI yang menetap di Turki. Dalam setiap interaksi dengan warga lokal ataupun sesama warga asing, warga Indonesia harus mawas diri, khususnya yang mencoba menggaet simpati dengan dalil-dalil keagamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar