Gaya
Baru Presiden Baru
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Oktober 2014
KISAH
sampul (cover story) terbaru dari
majalah internasional Time edisi 27 Oktober 2014 menampilkan foto karakter
yang sangat bagus (seperti biasanya) dari global superstar, Joko Widodo
(Jokowi), dan diberi tajuk: A New Hope.
Bagaimana
semestinya kita mereaksi secara mental-intelektual impresi global terhadap
pemimpin baru Indonesia per 20 Oktober 2014 ini; terhadap kita, bangsa
Indonesia sendiri? Anda punya kebebasan untuk itu. Untuk saya pribadi:
ironis.
Alasan
pertama, kata `harapan' ternyata masih lekat dengan realitas mutakhir bangsa
ini. Sebuah realitas yang menggambarkan bagaimana sesungguhnya negeri ini,
dalam usia matangnya, menjelang 70 tahun, dengan sejarah krisis, konflik dan
pergantian kekuasaannya, ternyata baru mampu memproduksi sebuah kata:
`harapan'.
Kenyataan
itu memberi kita alasan kedua, yakni ironi terjadi, ketika kesombongan politis
dan budaya--yang secara masif kita gembar-gemborkan sebagai
keunggulan--ternyata tak lebih dari gelembung harapan (bubble of hope) yang besar bentuk luarnya, tetapi hampa di
dalamnya. Kita, ternyata, masih terlalu dalam terbelit dalam persoalan yang
tak terselesaikan. Selalu gagal secara kultural memproduksi apa pun yang
dapat menyelesaikan persoalan itu secara komprehensif, memadamkan api
harapan.
Apakah
kenyataan ini, dalam pandangan global, menunjukkan kita tidak pernah
melangkah jauh dari masa revolusi kemerdekaan, ketika kita sibuk berbangsa
hanya untuk melahirkan `harapan', menciptakan `pintu gerbang emas'? Bahkan
`pintu gerbangnya' pun, mungkin, belum berhasil kita bangun. Bagaimana dengan
rumah, dengan perangkat lengkap di dalamnya, termasuk halaman dengan kebun
kecil yang hijau, ruang dapur yang nyaman, kamar mandi bersih, garasi, ruang
tamu yang hangat dan terbuka, perabot dan arsitektur berkarakter pemiliknya,
dan seterusnya?
Kutiplah
apa yang dikatakan sang presiden baru pada Hannah Beech dari Time yang mewawancarainya?
“Ekspektasi banyak orang sangat bahaya
buat saya.“ Lagi-lagi harapan, yang bahkan pada tingkat tertentu, karena
begitu masif dan dalamnya, dapat bermetamorfosis menjadi ancaman. Ketimbang
lawan-lawan politiknya yang hebat itu, presiden baru kita ternyata lebih
merasa tertantang oleh sebuah kata yang memang abstrak dan absurd: (sekali
lagi) harapan. Jangan-jangan,
Indonesia itu sendiri secara eksistensial sesungguhnya tak lebih dari sebuah
`harapan'? Hingga seorang indonesianis berani menyebut kita, sebagai bangsa,
tak lebih dari sesuatu yang imagined?
Ah...benarkah
hidup kita tidak lebih baik dari sebuah lagu populer, karya John Lennon? Yang
benar saja.
Ancaman harapan
Sudahlah.
Bagaimanapun kita harus bergerak. Dan jejak pertama dari gerakan itu
sebenarnya hal yang sederhana, tetapi ternyata begitu rumit dan sulit kita
lakukan: pengakuan. Pengakuan ialah
sebuah penerimaan akan realitas diri yang faktual (das sein) yang ternyata
masih kerdil dan inkreatif. Karena hanya manusia kerdil dan pecundang yang
rajin dan setia memproduksi harapan. Mungkin kita dapat berargumen kenyataan
itu sebenarnya lebih dirancang (nurtural) ketimbang alamiah (natural). Namun,
diskursus macam itu tak lebih istimewa dari debat kusir atau kegenitan
intelektual kelas menengah, ketimbang kearifan menerima realitas faktual itu.
Apa yang
mestinya kita sikapi dengan lebih matang (secara adab dan budaya) ialah
peluang dari siapa dan apa pun yang mendapat limpahan harapan itu akan segera
menjadi korban dari harapan itu sendiri. Itulah yang terjadi pada institusi
bernama KPK atau 22 anak muda yang tergabung dalam PSSI U-19. Secara tidak
fair, kita, 240 juta manusia ini kira-kira, menumpukkan harapan dari ribuan
kekecewaan yang kita tabung selama republik ini merdeka, pada dua entitas
itu. Dua sosok yang terengah-engah memikul karung beban itu sambil menghalau
badai dan pedang yang menghalangi langkah mereka. Dan tataplah, tangis
menggiriskan dari sebelas pemain yang menjadi pecundang total dalam kompetisi
AFC yang justru menjadi target utama mereka.
Jokowi,
lelaki desa sederhana yang sebenarnya sudah pantas diprofilkan banyak media
sebagai eksportir mebel yang sukses itu, kini harus menangguk beban harapan
yang ditumpuk dari masa lima presiden sebelumnya. Saya kira, kita menjadi
sangat tidak fair jika harus
terlibat dalam situasi itu. Kita, semua bagian dari bangsa ini, harus ikut
mengambil sebagian dari isi karung harapan, setidaknya yang menjadi porsi
alamiah kita, dan mengisinya dengan jawaban, tindakan, atau produk-produk
yang membuat gelembung harapan itu padat dengan jawaban nyata.
Indonesia,
bukan tanggung jawab Jokowi seorang, bukan persoalan seorang Presiden
saja.Dia tanggung jawab kita. Adalah kesalahan, bahkan dosa, bila kita merasa
berhak diam dan hanya menuntut harapan-harapan kecil kita terpenuhi, hanya
karena kita mencoblosnya atau ikut berteriak dengan kaos bergambar dia.
Apalagi jika kita justru berkepal tinju dan berselimut belati menghambat
semua usaha sang Presiden hanya untuk profit politik-ekonomi murahan yang
sifatnya temporer dan sektarian.
Dari
foto karakternya di majalah Time,
saya membaca, Jokowi juga membaca dengan baik semua kenyataan miris di atas.
Bukan hanya cahaya mata, tulang pipi, kerut, penampang dahi, bentuk bibir dan
garis di sekitarnya, tapi juga apa yang telah dilakukannya selama ini
menunjukkan hal itu. Mungkin kita kurang menyadari, dan lebih penting lagi,
kita tidak mengikuti untuk mendukungnya.
Sandera partai
Dari
banyak hal yang telah dilakukan Jokowi, hal pertama --dan paling
fenomenal--adalah kemampuannya merebut dukungan publik/rakyat dalam bentuk
jumlah suara untuk memenangkan pemilihan melawan pihak yang dalam segala
ukuran politik kontemporer kita jauh lebih unggul darinya. Bertimbunnya
analisis mengenai ini, tetap saja masih meninggalkan misteri mengapa
`sekadar' insinyur kehutanan yang medioker dalam bisnis, bisa mencapai sukses
yang menghasilkan banyak preseden dalam sejarah politik kita itu.
Hal
kedua, berlawanan dari yang pertama, Jokowi --terutama blok politiknya--gagal
mengapitalisasi kekuatan suara itu untuk juga menciptakan kemenangan politik
selepas perebutan suara dalam pemilihan. Jokowi dan timnya hanya sukses di
tiga menit di bilik suara, dan ternyata kalah telak (seperti U-19, bisa 3-0
bahkan sebagian menyebut 7-0) dalam pertandingan berikutnya.
Pertandingan
itu ternyata sama sekali menafikan keunggulan suporter (suara) karena berisi
manuver-manuver yang pragmatis bahkan oportunis, seperti gaya Maurinho
ketimbang idealis macam Wenger atau Guardiola dalam sepak bola Eropa.
Di sini
terlihat, betapa pun sebuah tim diisi oleh seorang `dewa' macam Leo Messi, ia
tidak akan bisa berbuat banyak ketika tim itu bekerja buruk, dan Kapten
sesungguhnya (yang berteriak-teriak) di luar lapangan gagal atau tidak luwes
membaca apa yang terjadi di lapangan.
Saya
kira, tim Jokowi harus jujur, sesungguhnya Presiden baru ini harus memikul
beban harapan historis di atas dalam sandera yang lebih mematikan ketimbang
relawan, partai koalisi, tradisi politik yang kasar dan melulu duit, yakni
diplomasi beku, jika tidak bebal, dari partainya sendiri, PDIP. Mari berterus
terang, ketimbang partai-partai politik lainnya, kita mengenal PDIP selama ini
sebagai kekuatan politik yang--katakanlah--masih ketat tautan ideologisnya.
Dalam makna lain, ia disandera oleh konservativisme atau kekakuan
ideologisnya sendiri.
Menjadi
tidak hangat, liat, fleksibel dan dinamis ketimbang partaipartai lain yang
relatif pragmatis dan oportunis, juga dalam menyikapi ideologinya sendiri.
Kita tahu ideologi utama politik kontemporer kita sebenarnya hanya satu:
kepentingan, tepatnya kepentingan meraih kekuasaan.
Kekuasaan
bagi kebanyakan kita adalah tujuan bukan alat mencapai tujuan-tujuan mulia
dari adanya politik. Ditambah dengan faktor --kita harus berani mengatakan
hal ini--sang ketua umum, Megawati Soekarnoputr--betapa pun kuat wibawa dan
karakternya--yang memiliki persoalan psikologis dalam menghadapi
lawan-lawannya, karena dibalut oleh emosi (semacam dendam, kekeraskepalaan,
ortodoksi ideologis dan sebagainya), memberi rantai besi yang kian memperberat
langkah presiden baru.
Jokowi's style
Tidak
masalah bila banyak pihak membantah hal ini. Karena betapa pun psikologi
politik di atas menyebabkan kekalahan berkali-kali KIH, Jokowi tetap membutuhkan
sang ketua umum untuk membentengi dirinya dari friksi dan resistensi sebagian
pendukung partainya sendiri. Untuk itu, sang presiden terpilih menjadi pihak
pertama yang mengusulkan agar sang ketua umum dipilih kembali untuk periode
berikutnya. Bila Megawati ikhlas dan kualitas kenegarawanannya mencuat lagi,
ia akan menjadi queen maker sesungguhnya,
ketimbang presiden mantan yang ingin menjadi king maker di balik koalisi lawan (KMP).
Jika
situasi itu dapat terwujud, ini akan menjadi hal ketiga yang positif, Jokowi
sebagai presiden dapat menjalankan style atau budaya politiknya sendiri, yang
notabene memang khas dan berbeda signifikan dengan para pendahulunya. Untuk
itu Jokowi harus berani sedikit mbalelo
dari tradisi politik PDIP sendiri, dari pagar-pagar psikologis dan ideologis queen maker-nya.
Yang lain, sebaiknya, harus ikhlas. Mau tak mau, karena Jokowi sudah
membuktikan, semua sukses yang dia peroleh sesungguhnya karena ia teguh dan
istikamah dengan budaya dan political
style-nya itu.
Bukan
hanya blusukan, manajemen relawan, pemilihan pendukung, gaya gerilya dalam
perang politik, pembacaan momen hingga kejelian membaca posisi lawan, tapi
juga pendekatan kultural dalam bernegosiasi atau mendekati lawan-lawan
tangguhnya. Apa yang dilakukannya beberapa hari belakangan, sebelum
pelantikan, mengunjungi satu persatu lawan politiknya, memperlihatkan tradisi
baru yang tak banyak retorika dan kampanye media massa, sebagaimana rajin
dilakukan pendahulunya.
Kita
tinggal menunggu, Jokowi secara instingtif menemukan momen untuk menemui counterpart tertangguhnya, dari PKS
dan pimpinan-pimpinan organisasi lainnya yang tidak setuju dengan dia. Kita
tidak tahu kapan, mengapa dan bagaimana, tapi kita akan lihat sang Presiden
akan melakukannya. Sebuah gaya dan budaya yang masih sulit kita semua
mengikutinya. Maka sebaiknya, kita ikuti atau sekurangnya mendukung. Bila
tidak, apakah kita akan terus memproduksi lingkaran involutif itu dan setia
hanya melahirkan sesuatu yang lebih absurd, new hope dan newest hope,
dan seterusnya. Betapapun indahnya, sudah saatnya kita berhenti mendendangkan
John Lennon, dan hidup dalam melodi hidup yang sebenarnya. Melawan kekerdilan
dan kepecundangan kita sendiri. Menaklukkan harapan, meraih kemenangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar