Rabu, 22 Oktober 2014

Gaya Baru Presiden Baru

Gaya Baru Presiden Baru

Radhar Panca Dahana ; Budayawan
MEDIA INDONESIA, 20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


KISAH sampul (cover story) terbaru dari majalah internasional Time edisi 27 Oktober 2014 menampilkan foto karakter yang sangat bagus (seperti biasanya) dari global superstar, Joko Widodo (Jokowi), dan diberi tajuk: A New Hope.
Bagaimana semestinya kita mereaksi secara mental-intelektual impresi global terhadap pemimpin baru Indonesia per 20 Oktober 2014 ini; terhadap kita, bangsa Indonesia sendiri? Anda punya kebebasan untuk itu. Untuk saya pribadi: ironis.
Alasan pertama, kata `harapan' ternyata masih lekat dengan realitas mutakhir bangsa ini. Sebuah realitas yang menggambarkan bagaimana sesungguhnya negeri ini, dalam usia matangnya, menjelang 70 tahun, dengan sejarah krisis, konflik dan pergantian kekuasaannya, ternyata baru mampu memproduksi sebuah kata: `harapan'.
Kenyataan itu memberi kita alasan kedua, yakni ironi terjadi, ketika kesombongan politis dan budaya--yang secara masif kita gembar-gemborkan sebagai keunggulan--ternyata tak lebih dari gelembung harapan (bubble of hope) yang besar bentuk luarnya, tetapi hampa di dalamnya. Kita, ternyata, masih terlalu dalam terbelit dalam persoalan yang tak terselesaikan. Selalu gagal secara kultural memproduksi apa pun yang dapat menyelesaikan persoalan itu secara komprehensif, memadamkan api harapan.
Apakah kenyataan ini, dalam pandangan global, menunjukkan kita tidak pernah melangkah jauh dari masa revolusi kemerdekaan, ketika kita sibuk berbangsa hanya untuk melahirkan `harapan', menciptakan `pintu gerbang emas'? Bahkan `pintu gerbangnya' pun, mungkin, belum berhasil kita bangun. Bagaimana dengan rumah, dengan perangkat lengkap di dalamnya, termasuk halaman dengan kebun kecil yang hijau, ruang dapur yang nyaman, kamar mandi bersih, garasi, ruang tamu yang hangat dan terbuka, perabot dan arsitektur berkarakter pemiliknya, dan seterusnya?
Kutiplah apa yang dikatakan sang presiden baru pada Hannah Beech dari Time yang mewawancarainya? “Ekspektasi banyak orang sangat bahaya buat saya.“ Lagi-lagi harapan, yang bahkan pada tingkat tertentu, karena begitu masif dan dalamnya, dapat bermetamorfosis menjadi ancaman. Ketimbang lawan-lawan politiknya yang hebat itu, presiden baru kita ternyata lebih merasa tertantang oleh sebuah kata yang memang abstrak dan absurd: (sekali lagi) harapan. Jangan-jangan, Indonesia itu sendiri secara eksistensial sesungguhnya tak lebih dari sebuah `harapan'? Hingga seorang indonesianis berani menyebut kita, sebagai bangsa, tak lebih dari sesuatu yang imagined?
Ah...benarkah hidup kita tidak lebih baik dari sebuah lagu populer, karya John Lennon? Yang benar saja.
Ancaman harapan
Sudahlah. Bagaimanapun kita harus bergerak. Dan jejak pertama dari gerakan itu sebenarnya hal yang sederhana, tetapi ternyata begitu rumit dan sulit kita lakukan: pengakuan. Pengakuan ialah sebuah penerimaan akan realitas diri yang faktual (das sein) yang ternyata masih kerdil dan inkreatif. Karena hanya manusia kerdil dan pecundang yang rajin dan setia memproduksi harapan. Mungkin kita dapat berargumen kenyataan itu sebenarnya lebih dirancang (nurtural) ketimbang alamiah (natural). Namun, diskursus macam itu tak lebih istimewa dari debat kusir atau kegenitan intelektual kelas menengah, ketimbang kearifan menerima realitas faktual itu.
Apa yang mestinya kita sikapi dengan lebih matang (secara adab dan budaya) ialah peluang dari siapa dan apa pun yang mendapat limpahan harapan itu akan segera menjadi korban dari harapan itu sendiri. Itulah yang terjadi pada institusi bernama KPK atau 22 anak muda yang tergabung dalam PSSI U-19. Secara tidak fair, kita, 240 juta manusia ini kira-kira, menumpukkan harapan dari ribuan kekecewaan yang kita tabung selama republik ini merdeka, pada dua entitas itu. Dua sosok yang terengah-engah memikul karung beban itu sambil menghalau badai dan pedang yang menghalangi langkah mereka. Dan tataplah, tangis menggiriskan dari sebelas pemain yang menjadi pecundang total dalam kompetisi AFC yang justru menjadi target utama mereka.
Jokowi, lelaki desa sederhana yang sebenarnya sudah pantas diprofilkan banyak media sebagai eksportir mebel yang sukses itu, kini harus menangguk beban harapan yang ditumpuk dari masa lima presiden sebelumnya. Saya kira, kita menjadi sangat tidak fair jika harus terlibat dalam situasi itu. Kita, semua bagian dari bangsa ini, harus ikut mengambil sebagian dari isi karung harapan, setidaknya yang menjadi porsi alamiah kita, dan mengisinya dengan jawaban, tindakan, atau produk-produk yang membuat gelembung harapan itu padat dengan jawaban nyata.
Indonesia, bukan tanggung jawab Jokowi seorang, bukan persoalan seorang Presiden saja.Dia tanggung jawab kita. Adalah kesalahan, bahkan dosa, bila kita merasa berhak diam dan hanya menuntut harapan-harapan kecil kita terpenuhi, hanya karena kita mencoblosnya atau ikut berteriak dengan kaos bergambar dia. Apalagi jika kita justru berkepal tinju dan berselimut belati menghambat semua usaha sang Presiden hanya untuk profit politik-ekonomi murahan yang sifatnya temporer dan sektarian.
Dari foto karakternya di majalah Time, saya membaca, Jokowi juga membaca dengan baik semua kenyataan miris di atas. Bukan hanya cahaya mata, tulang pipi, kerut, penampang dahi, bentuk bibir dan garis di sekitarnya, tapi juga apa yang telah dilakukannya selama ini menunjukkan hal itu. Mungkin kita kurang menyadari, dan lebih penting lagi, kita tidak mengikuti untuk mendukungnya.
Sandera partai
Dari banyak hal yang telah dilakukan Jokowi, hal pertama --dan paling fenomenal--adalah kemampuannya merebut dukungan publik/rakyat dalam bentuk jumlah suara untuk memenangkan pemilihan melawan pihak yang dalam segala ukuran politik kontemporer kita jauh lebih unggul darinya. Bertimbunnya analisis mengenai ini, tetap saja masih meninggalkan misteri mengapa `sekadar' insinyur kehutanan yang medioker dalam bisnis, bisa mencapai sukses yang menghasilkan banyak preseden dalam sejarah politik kita itu.
Hal kedua, berlawanan dari yang pertama, Jokowi --terutama blok politiknya--gagal mengapitalisasi kekuatan suara itu untuk juga menciptakan kemenangan politik selepas perebutan suara dalam pemilihan. Jokowi dan timnya hanya sukses di tiga menit di bilik suara, dan ternyata kalah telak (seperti U-19, bisa 3-0 bahkan sebagian menyebut 7-0) dalam pertandingan berikutnya.
Pertandingan itu ternyata sama sekali menafikan keunggulan suporter (suara) karena berisi manuver-manuver yang pragmatis bahkan oportunis, seperti gaya Maurinho ketimbang idealis macam Wenger atau Guardiola dalam sepak bola Eropa.
Di sini terlihat, betapa pun sebuah tim diisi oleh seorang `dewa' macam Leo Messi, ia tidak akan bisa berbuat banyak ketika tim itu bekerja buruk, dan Kapten sesungguhnya (yang berteriak-teriak) di luar lapangan gagal atau tidak luwes membaca apa yang terjadi di lapangan.
Saya kira, tim Jokowi harus jujur, sesungguhnya Presiden baru ini harus memikul beban harapan historis di atas dalam sandera yang lebih mematikan ketimbang relawan, partai koalisi, tradisi politik yang kasar dan melulu duit, yakni diplomasi beku, jika tidak bebal, dari partainya sendiri, PDIP. Mari berterus terang, ketimbang partai-partai politik lainnya, kita mengenal PDIP selama ini sebagai kekuatan politik yang--katakanlah--masih ketat tautan ideologisnya. Dalam makna lain, ia disandera oleh konservativisme atau kekakuan ideologisnya sendiri.
Menjadi tidak hangat, liat, fleksibel dan dinamis ketimbang partaipartai lain yang relatif pragmatis dan oportunis, juga dalam menyikapi ideologinya sendiri. Kita tahu ideologi utama politik kontemporer kita sebenarnya hanya satu: kepentingan, tepatnya kepentingan meraih kekuasaan.
Kekuasaan bagi kebanyakan kita adalah tujuan bukan alat mencapai tujuan-tujuan mulia dari adanya politik. Ditambah dengan faktor --kita harus berani mengatakan hal ini--sang ketua umum, Megawati Soekarnoputr--betapa pun kuat wibawa dan karakternya--yang memiliki persoalan psikologis dalam menghadapi lawan-lawannya, karena dibalut oleh emosi (semacam dendam, kekeraskepalaan, ortodoksi ideologis dan sebagainya), memberi rantai besi yang kian memperberat langkah presiden baru.
Jokowi's style
Tidak masalah bila banyak pihak membantah hal ini. Karena betapa pun psikologi politik di atas menyebabkan kekalahan berkali-kali KIH, Jokowi tetap membutuhkan sang ketua umum untuk membentengi dirinya dari friksi dan resistensi sebagian pendukung partainya sendiri. Untuk itu, sang presiden terpilih menjadi pihak pertama yang mengusulkan agar sang ketua umum dipilih kembali untuk periode berikutnya. Bila Megawati ikhlas dan kualitas kenegarawanannya mencuat lagi, ia akan menjadi queen maker sesungguhnya, ketimbang presiden mantan yang ingin menjadi king maker di balik koalisi lawan (KMP).
Jika situasi itu dapat terwujud, ini akan menjadi hal ketiga yang positif, Jokowi sebagai presiden dapat menjalankan style atau budaya politiknya sendiri, yang notabene memang khas dan berbeda signifikan dengan para pendahulunya. Untuk itu Jokowi harus berani sedikit mbalelo dari tradisi politik PDIP sendiri, dari pagar-pagar psikologis dan ideologis queen maker-nya. Yang lain, sebaiknya, harus ikhlas. Mau tak mau, karena Jokowi sudah membuktikan, semua sukses yang dia peroleh sesungguhnya karena ia teguh dan istikamah dengan budaya dan political style-nya itu.
Bukan hanya blusukan, manajemen relawan, pemilihan pendukung, gaya gerilya dalam perang politik, pembacaan momen hingga kejelian membaca posisi lawan, tapi juga pendekatan kultural dalam bernegosiasi atau mendekati lawan-lawan tangguhnya. Apa yang dilakukannya beberapa hari belakangan, sebelum pelantikan, mengunjungi satu persatu lawan politiknya, memperlihatkan tradisi baru yang tak banyak retorika dan kampanye media massa, sebagaimana rajin dilakukan pendahulunya.
Kita tinggal menunggu, Jokowi secara instingtif menemukan momen untuk menemui counterpart tertangguhnya, dari PKS dan pimpinan-pimpinan organisasi lainnya yang tidak setuju dengan dia. Kita tidak tahu kapan, mengapa dan bagaimana, tapi kita akan lihat sang Presiden akan melakukannya. Sebuah gaya dan budaya yang masih sulit kita semua mengikutinya. Maka sebaiknya, kita ikuti atau sekurangnya mendukung. Bila tidak, apakah kita akan terus memproduksi lingkaran involutif itu dan setia hanya melahirkan sesuatu yang lebih absurd, new hope dan newest hope, dan seterusnya. Betapapun indahnya, sudah saatnya kita berhenti mendendangkan John Lennon, dan hidup dalam melodi hidup yang sebenarnya. Melawan kekerdilan dan kepecundangan kita sendiri. Menaklukkan harapan, meraih kemenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar