Belajar
Aktif Bersama-sama
Harris Iskandar ; Direktur Pembinaan SMA Kemendikbud
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Oktober 2014
SEBAGIAN
besar guru masih kesulitan mewujudkan proses pembelajaran aktif. Dari hasil
pengamatan di beberapa kelas SMA, kendala pelaksanaan kurikulum 2013 terutama
dalam menerapkan cara pembelajaran aktif dan mengurangi metode ceramah.
Pengalaman yang kurang menyenangkan tiga dekade lalu dalam implementasi CBSA
(cara belajar siswa aktif) mungkin ikut berkontribusi pada tingkat
kepercayaan diri para guru menerapkan cara-cara baru. Metode pembelajaran
aktif ternyata lebih mudah dikatakan daripada dilaksanakan. Bahkan dalam sesi
diklat guru sekalipun, instruktur nasional belum semuanya mampu menghadirkan
contoh konkret kepada guru-guru bagaimana upaya mewujudkannya proses
pembelajaran aktif di kelas.
Tuntutan
kurikulum 2013 itu sebenarnya sangat revolusioner. Metode pembelajaran aktif
telah menjungkirbalikkan paradigma, konsep, dan kebiasaan mengajar yang
selama berabad-abad ini berjalan.Sejak sistem pendidikan mulai menjadi bagian
dari peradaban manusia, 600 tahun lalu, mengajar atau memberi kuliah dengan
metode ceramah ala Aristotles merupakan metode utama transmisi pengetahuan
dari guru kepada peserta didik di seluruh belahan dunia, di semua jenjang,
mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Lalu sekarang dengan
penyempurnaan kurikulum 2013, metode ceramah itu harus dikurangi, bahkan
kalau bisa ditinggalkan. Hal itu tiada lain disebabkan berbagai riset
pembelajaran secara konsisten menunjukkan metode ceramah terbukti kurang
efektif bagi proses belajar peserta didik jika dibandingkan dengan metode
pembelajaran aktif. Namun, masalahnya, bagaimana cara mewujudkan proses pembelajaran
aktif itu di kelas?
Peer instruction
Seorang
ahli fisika dan Guru Besar Harvard University Eric Mazur ialah seorang dosen
favorit, dengan evaluasi dari mahasiswa 4,2-4,5 (skala 5), dan tes akhir
semester mahasiswanya spektakuler. “Namun, itu semua hanya ilusi,“ katanya.
Nilai akhir mahasiswa yang bagus-bagus tidak lebih dari sekadar `kontes
popularitas', ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan hampir tidak ada.
Mahasiswa memang dapat dengan mudah menyelesaikan soal-soal berbasis buku
teks, lincah dengan persamaan dan cekatan menggunakan rumus-rumus. Namun,
ketika mereka diberi soal dari kehidupan nyata yang menuntut pemahaman akan
konsep, ternyata tidak ada bedanya antara mahasiswa semester akhir dan
mahasiswa semester awal. Contohnya pemahaman tentang konsep ‘kecepatan’, “Apa
yang terjadi jika sebuah truk trailer besar bertabrakan dengan sebuah sedan?”
Mahasiswa yang sudah hafal dan cekatan menggunakan rumus hukum Newton ketiga
hanya bisa terpaku.
Memberi
kuliah dengan metode ceramah terbukti tidak membuat mahasiswa belajar
sebagaimana yang diharapkan. Padahal, peristiwa itu terjadi di Harvard,
tempat mahasiswa pilihan sedunia. Pada 1997, Eric Mazur menyadari
kekeliruannya dan meninggalkan metode ceramah begitu saja, lalu mencoba cara
baru di kelasnya dengan menggunakan strategi pembelajaran interaktif, yang
kemudian dikenal peer instruction
atau belajar dari sesama teman.
Pada
umumnya, proses pembelajaran di kelas dimulai dengan ceramah dosen untuk
menyampaikan pokok bahasan. Lalu diikuti dengan diskusi kelas untuk
mengasimilasi dan menginternalisasi pemahaman peserta didik terhadap pokok
bahasan tersebut. Metode peer
instruction membalikkan urutannya. Sebelum kelas, mahasiswa diberi tugas
membaca dan menjawab beberapa pertanyaan pokok.
Pada
saat pembelajaran di kelas, waktu tidak lagi digunakan untuk ceramah, tapi
sepenuhnya digunakan untuk berdiskusi dalam kelompok kecil membahas jawaban
satu sama lain, dosen me-review jawaban. Mahasiswa kemudian mendiskusikan
lagi jawabannya dalam kelompok kecil, begitulah seterusnya, pengulangan
proses itu dua sampai tiga kali. Diskusi kecil ini sering kali melahirkan
pertanyaanpertanyaan baru yang lebih sulit daripada pertanyaan pokok. Pada
akhir sesi, dosen me-review kembali jawaban peserta didik dan memutuskan
apakah perlu penjelasan lebih lanjut sebelum mulai pada topik bahasan
selanjutnya.
Eric
Mazur sangat puas dengan hasil akhir metode barunya ini. Mahasiswa lebih
mudah memahami konsep-konsep bahasan, bahkan konsep yang paling kompleks
sekalipun. Tugas baca dan menjawab pertanyaan pokok harus diberikan terlebih
dahulu sebelum kelas mulai. Jadi, PR bukan setelah pelajaran, melainkan
diberikan sebelumnya. Jam pelajaran diisi dengan diskusi kelompok kecil.
Peran guru bukan lagi berceramah, melainkan memfasilitasi dan membimbing
proses diskusi setiap kelompok belajar. Dengan metode itu, guru dituntut
menemukenali gaya belajar dan tingkat pemahaman setiap peserta didik sehingga
guru dapat membantu mereka memahami topic pembahasan.
Fenomena Youtube
Keberhasilan
peer instruction membuktikan
kekuatan bahasa dan budaya dalam efektivitas pembelajaran ternyata sangat
besar. Belajar bersama teman sering kali jauh lebih efektif daripada belajar
dari guru. Saya mungkin tidak akan pernah meraih pendidikan sampai S-3 di Amerika
kalau seandainya di SMA dulu tidak ikut-ikutan belajar bersama teman sekelas
saya yang sangat pintar dan senang berbagi pengetahuan. Kehadiran Youtube dan
media sosial lainnya yang sudah menjadi bagian kehidupan peserta didik pada
saat ini berpotensi memperluas lingkup kegiatan belajar bersama.
Shilpa
Yarlagadda ialah seorang peserta didik Henry M Gunn High School di Palo Alto,
California, Amerika Serikat. Ia berhasil mendirikan Club Academia
(Clubacademia.org). Sebuah laman yang menyajikan video tutorial singkat
hampir mencakup seluruh topik kurikulum SMA, yang dibuat bersama-sama
temannya. Semua video dibuat peserta didik, dari peserta didik dan untuk
peserta didik. Pengunjungnya bukan hanya teman sejawatnya di sekolah,
melainkan peserta didik seluruh dunia. Menurut pengakuan Shilpa, pembuatan
video tutorial itu awalnya tidak sengaja. Shilpa ialah anak pintar dan murah
berbagi kepada sesama temannya. Namun, ketika kegiatannya sangat padat
mengikuti perlombaan robot, ia membuat video agar tetap bisa membantu
temannya belajar.
Kutukan ilmu
Apa di
balik keberhasilan peer instruction dan clubacademia? Penjelasannya terang benderang. Karena
materi pengetahuan disampaikan sesame peserta didik yang baru saja memahami
pengetahuan tersebut, dengan gaya bahasa dan latar belakang cerita yang mudah
diterima (nyambung). Bahasa dan budaya yang membungkus pesan ternyata sangat
penting dalam efektivitas komunikasi. Guru, dosen, bahkan seorang ahli
sekalipun belum tentu mampu menyampaikan pengetahuan seefektif mereka. Kita
umumnya sudah lupa bagaimana caranya otak kita bekerja pada awal memahami
suatu konsep.
George
Lowenstein menyebutnya kutukan ilmu pengetahuan (the curse of knowledge
(Trainingbyfire.com). Sekali kita memahami suatu pengetahuan, akan sangat
sulit menghapusnya dan mendapatkan kembali perspektif sebelum mengetahui.
Dampak negatifnya, kita mengalami kesulitan menyampaikan sebuah konsep kepada
orang yang sama sekali belum tahu. Jadi, ketika kita menyampaikan sebuah
konsep, yang keluar ialah jargon-jargon yang tidak dipahami, istilah-istilah
yang tidak mudah dicerna, singkatan-singkatan aneh, dan berbagai cerita
absurd yang membungkus konsep yang akan disampaikan itu sendiri.
Untuk
mewujudkan proses pembelajaran aktif dalam pelaksanaan kurikulum 2013, guru dapat
mengadopsi metode peer instruction.
Buku populer Peer Instruction: A User’s
Manual karya Eric Mazur, 1997, dapat memberi inspirasi. Guru juga dapat
membimbing peserta didik yang pintar dan senang berbagi seperti Shilpa
Yarlagadda untuk membuat video tutorial bagi teman sejawatnya (kunjungi Clubacademia.org). Di setiap sekolah
dapat dipastikan hadirnya peserta-didik seperti Shilpa. Pintar dan suka
berbagi pengetahuannya kepada sesama. Kegiatan belajar bersama peserta didik
perlu didorong dan dikembangkan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar