Demokrasi
Jokowi
Teuku Kemal Fasya ; Mantan Aktivis Mahasiswa 1998
|
KOMPAS,
21 Oktober 2014
BAGAIMANA hendak mengistilahkan partisipasi relawan pendukung Joko
Widodo, sebelum pencalonan, saat pencalonan, hingga terpilih sebagai
presiden? Bagaimana relawan membela ketika ia di-bully (fitnah, disinformasi,
stigmatisasi) saat kampanye lalu? Bagaimana pula menyebut ”politik blusukan”
Jokowi, baik ketika Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, maupun calon
presiden?
Ada beberapa model blusukan para pemimpin Indonesia sebelumnya dengan
istilah sidak (inspeksi mendadak), turba (turun ke bawah), atau waskat
(pengawasan melekat). Politik blusukan ini pula yang menarik perhatian bos
Facebook, Mark Zuckerberg, sehingga ingin merasakan alam blusukan Jokowi
secara langsung.
Model Jokowi sangat berbeda, bahkan ketika Gubernur Jawa Barat Ahmad
Heryawan mencoba menerjemahkan melalui aksi mengangkat karung beras atau
Hidayat Nur Wahid ketika berenang dalam banjir pada musim pilkada lalu. Homi
K Bhabha, pakar poskolonial Inggris keturunan India, menyebutnya mimikri:
peniruan (Bhabha, The Location of
Culture, 1994). Mereka berbeda, tidak otentik, dan tetap ”sang liyan” (the others).
Bagaimana pula menganalisis konstruksi pemikiran Jokowi tentang
demokrasi? Di antara semua presiden yang melafazkan demokrasi (minus
Soeharto), Jokowi yang paling sedikit mengutip pemikir-pemikir asing. Paling
ia hanya mengutip Bung Karno, yang di dalam pemikirannya terkandung ekstraksi
pemikir-pemikir dunia. Soekarno tangkas mengutip GWF Hegel, Karl Marx, Lenin,
Voltaire, Rousseau, Thomas Jefferson, Sun Yat Sen, dan lain-lain. Jokowi
tidak.
Juga penting dilihat langkah Jokowi mendekati pimpinan MPR setelah
kekalahan Koalisi Indonesia Hebat, 8 Oktober lalu. Puncak pendekatan Jokowi
adalah ketika bisa bersilaturahim dengan Prabowo Subianto, 17 Oktober, yang
kemudian tercetus semangat rekonsiliasi dan mendukung pemerintahannya.
Jokowi tidak pandai berpidato tentang demokrasi. Tidak seperti SBY yang
fasih berceramah demokrasi, seperti di forum bentukannya, Forum Demokrasi
Bali (BDF). Jokowi? Konsep demokrasi yang pernah diucapkan Jokowi yang saya
ingat adalah saat debat capres-cawapres, ”demokrasi
sesungguhnya memberi kegembiraan bagi rakyat”.
Gaya
Jokowi
Apa yang terekam terkait dengan Jokowi, baik gerakan relawan, politik
partisipasi, dan wacana demokrasi adalah identik miliknya. Itulah gaya
Jokowi: otentik dan generik!
Bagaimana dengan pola partisipasinya? Demokrasi partisipatoris Jokowi
memiliki langgam berbeda dengan yang umum dikenal sebagai model Skandinavian.
Begitu pula wacana demokrasi yang diproduksinya.
Saya cederung mengatakan itu ”demokrasi Jokowi”. Istilah dengan tanda
kutip itu jadi indeks, yang dihasilkan dari model politik dan arah perubahan
Jokowi tetap merupakan kombinasi dari banyak konstruksi yang lebih dahulu
dikenal dalam khazanah ilmu politik dan pembangunan, demokrasi, dan gerakan
sosial. Namun, tetap menyisihkan distingsi yang bisa dinilai berbeda.
Bahkan sesungguhnya analisis metafisika pun layak dimasukkan ketika
menilai kesuksesan demokrasi Jokowi. Bahwa variabel kesuksesan Jokowi bukan
saja dari otentisitas politik partisipasi, keikhlasan para relawan, kuatnya
jaringan komunikasi di media sosial, juga campur tangan Tuhan.
Syukuran
politik
Kembali ke konsep ”demokrasi ialah membangun kegembiraan”, Jokowi pun
kembali terkenang saat pelantikan presiden. Setelah pelantikan Jokowi dan
Jusuf Kalla di Gedung MPR/DPR/DPD, Senin (20/10), mereka diarak melalui pesta
rakyat sepanjang jalan utama Jakarta. Momentum itu harus dilihat sebagai
syukuran politik, titik berangkat demokrasi rakyat yang jauh dari semangat
hura-hura, apalagi huru-hara.
Kali terakhir saya merasakan aura kegembiraan seperti itu adalah pada
20 Mei 1998. Saat itu jutaan massa, mahasiswa bersatu padu dengan masyarakat,
dari delapan arah mata angin melakukan long march menuju Alun-alun utara
Keraton Yogyakarta. Semua berkumpul dan mendengar titah perubahan dari
tokoh-tokoh mahasiswa dan Sultan Hamengku Buwono X.
Sorak-sorai revolusi damai menjadikan aksi 20 Mei 1998 masuk dalam
kaleidoskop perubahan Indonesia. Saat itu jutaan orang mendapatkan makanan
dan minuman gratis dari masyarakat. Itulah terakhir saya merasakan
kesukarelaan begitu membuncah, terhampar sepanjang jalan. Esok harinya
Soeharto berpidato menyatakan berhenti sebagai presiden.
Enam belas tahun setelah Soeharto jatuh, 20 Oktober 2014, Jokowi-JK
dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Memang ia bukanlah yang pertama
dipilih rakyat, tetapi mampu menghadirkan kegembiraan begitu besar bagi
rakyat. Diakui beberapa kemajuan terjadi pada masa SBY, sayangnya sebagian
mengalami involusi dan regresi politik, ekonomi, dan budaya. Fase Jokowi-JK
inilah diharapkan demokrasi melaju kencang dan tidak perlu lagi mundur.
Akan dosa jika mengatakan Jokowi pasti mampu melakukan perubahan dengan
cepat, terstruktur, dan sistematis. Mengutip Suraiya Kamaruzzaman, aktivis
perempuan Aceh, ”demokrasi Jokowi”
ini bisa menjadi jalan baru yang lebih egaliter. Kekuatan Jokowi terletak
pada kesederhanaannya. Batin demokrasi Jokowi sebenarnya tak berbeda dengan
kebanyakan masyarakat. Ia tahu bagaimana menginspirasi dan membangkitkan
kegembiraan sehingga menjadi energi yang berguna bagi perubahan dan
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar