Bukan
Akhir Zaman
Luky Djani ; Peneliti Institute for Strategic Initiatives
|
KOMPAS,
20 Oktober 2014
TAK lama setelah tembok Berlin roboh, Francis Fukuyama mengeluarkan
buku dengan judul yang menggelegar: The
End of History and the Last Man.
Ia mengklaim bahwa peradaban telah berakhir dengan kemenangan sistem
politik dan ekonomi liberal. Khusus untuk sistem pemerintahan, ia mengatakan,
”the universalization of Western
liberal democracy as the final form of human government”. Kajian lain di
Amerika Latin juga dengan optimistis menyatakan bahwa proses transisi dari
rezim otoritarian akan menuju pada konsolidasi demokrasi (O’Donnel dkk).
Kenyataannya, yang muncul di
banyak negara demokrasi baru atau negara dalam transisi dari sistem
sentralistik adalah illiberal democracy
dengan karakter pemerintahan berada di antara rezim demokratik dan
nondemokratik karena rezim berkuasa memangkas kebebasan dan partisipasi warga
(Zakaria, 1997).
Yang muncul adalah pendangkalan demokrasi, bukannya pendalaman
demokrasi (deepening democracy)
seperti yang dibayangkan oleh O’Donnel dkk dalam antologi transisi. Tumbuhnya demokrasi kerap diiringi praktik
nondemokratis sehingga yang muncul adalah rezim hibrid (Rodan dan Jayasuriya, 2007) atau competitive authoritarianism (Levitsky
dan Way, 2002).
Minim
legitimasi
Penetapan UU Pilkada, yang
mengembalikan tata cara pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung
menjadi pemilihan melalui DPRD, merupakan wujud pendangkalan demokrasi.
Praktik pilkada secara langsung baru saja diapresiasi oleh scholars seperti
Sulistanto dkk (2009), tetapi ternyata selang beberapa tahun telah bergerak
surut.
Bandul demokrasi lokal seperti kembali ke periode 1999 hingga 2004,
kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sontak banyak pihak menyayangkan surutnya
arus demokrasi di tingkat lokal. Tetapi apakah kemunduran ini akan permanen?
Jika pemilihan kepala daerah hanya oleh segelintir orang, yakni anggota
Dewan, maka salah satu aspek demokrasi lokal dimonopoli oleh elite politik,
baik nasional maupun lokal. Sebuah sistem yang walaupun pemilu berlangsung
(via DPRD), tetapi warga terisolasi dari pemahaman dan keikutsertaan dalam
proses politik karena yang berperan adalah anggota DPRD.
Kondisi demikian, dalam pandangan Jean Paul Sartre, akan memosisikan
rakyat menjadi tidak berdaya (powerlessness).
Selain itu, pemilihan via DPRD minim legitimasi.
Seharusnya, kekuasaan, yang memproduksi perundangan dan mengatur hajat
hidup orang banyak didasarkan atas legitimasi kekuasaan melalui pilihan
rakyat. Betul anggota DPRD dipilih oleh rakyat melalui pemilu, tetapi
preferensi atas posisi politik dapat berbeda.
Perbedaan preferensi politik antara rakyat dan elite terlihat pada
pemilu legislatif dan Pilpres 2014. Akumulasi suara dari partai pendukung
pasangan nomor urut satu—Prabowo-Hatta—berdasarkan pemilu legislatif sebesar
59,12 persen suara, tetapi perolehan suara pada pilpres hanya 46,85 persen.
Adapun akumulasi suara dari partai pendukung pasangan nomor urut
dua—Jokowi-Jusuf Kalla—hanya 40,88 persen, tetapi raupan suara pada pilpres
bagi pasangan ini melebihi 53,15 persen. Hal ini menandakan adanya perbedaan
preferensi sebesar 12,27 persen dari pemilih, dari satu pemilu ke pemilu
lain, walau hanya berjarak tiga bulan.
Tentunya perbedaan preferensi
ini juga akan berlaku pada pemilu kepala daerah. Misalkan pada pilkada
langsung di daerah A, pemilih yang memberikan suaranya untuk kepala daerah
terpilih belum tentu akan sejalan pilihannya pada pemilu legislatif dan
pilpres.
Bandul
berayun
Banyak faktor yang menentukan preferensi pemilih yang bisa saja berubah
sehingga mewakilkan pemilihan kepala daerah kepada anggota DPRD sangat
mungkin tak sesuai dengan pilihan pemilih. Akibatnya, pilihan DPRD atas
kepala daerah hanya akan memiliki kekuatan hukum tanpa legitimasi yang kuat.
Kemungkinan perbedaan tafsir antarpemilih dan para wakil rakyat
bukanlah hal yang mustahil. Gagasan pemilu yang melibatkan semua orang yang
memenuhi syarat sebagai pemilih (eligible
voter) berdampak pada berkurangnya privilese kaum elite. Sebelum
pemilihan menjadi umum (universal suffrage),
yang memiliki hak memberikan suara hanyalah para tuan tanah, pemilik
properti. Tentu saja mereka ini memiliki kepentingan yang berbeda dengan
rakyat awam.
Mungkin alasan tak tertulis dari diberlakukannya UU Pilkada via DPRD
ini ialah untuk ”membedakan” antarpreferensi elite (lokal) dan rakyat
kebanyakan. Jika pemilu menyamakan suara antara seorang yang menempuh studi
doktoral dalam waktu singkat dan orang yang tak tamat SD, atau konglomerat
dengan aset triliunan dan pekerja informal, atau pemilik tanah ratusan hektar
dan buruh tani, maka pemilihan tidak langsung akan menunjukkan preferensi
kaum elite.
Pemilihan kepala daerah akan menjadi kompetisi antaroligarki atau
diktator seperti diagnosa Levitsky dan Way. Seperti apa preferensi dari para
elite ini bisa kita simak pada 2015 nanti, pada saat kepala daerah pilihan
mereka dilantik.
Jika yang dipilih bukanlah pemimpin yang mampu membawa perubahan dan
amanah, tentu pilihan ini menjadi bumerang. Pilihan para elite ini tentu akan
ada konsekuensinya. Filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre, mengatakan ”elections: a trap for fools” karena
setiap pemilu punya konsekuensi legitimasi.
Pilkada dapat menjadi jebakan bagi anggota DPRD (dan partainya) jika
rakyat biasa, yang menjadi kian tak berdaya dengan mekanisme ini, tak
merasakan perbaikan dan perubahan dari kepala daerah pilihan DPRD. Gelombang
kekecewaan akan membesar dan dapat memuncak untuk meminta pilkada kembali
dilakukan secara langsung. Dan, bandul akan kembali berayun ke kutub lain. It
is not the end of history, zaman masih akan bergerak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar