Pembangunan
Daya Tempur TNI
Kiki Syahnakri ; Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
|
KOMPAS,
20 Oktober 2014
RANGKAIAN acara Hari Ulang Tahun Ke-69 TNI usai dilaksanakan dengan
acara parade, defile, serta demonstrasi yang amat membanggakan dan
mengesankan di Pangkalan TNI AL Ujung Surabaya. Dalam acara ini ditampilkan
sejumlah alutsista baru matra darat, laut, dan udara yang diadakan selama 10
tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk mesin perang dalam
kategori tercanggih saat ini, seperti helikopter serang Apache dan peluncur
roket multilaras Astros.
Alutsista yang ditampilkan merupakan bagian dari pengadaan dalam rangka
memenuhi kebutuhan untuk mewujudkan minimum
essential force (MEF) TNI. Program ini dilakukan secara bertahap dan
menurut rencana akan terwujud 100 persen pada tahun 2024.
Daya
tempur
Program MEF tersebut tentu bertujuan untuk meningkatkan daya tempur
TNI. Dalam terminologi militer secara universal, daya tempur (combat
capability) mempunyai pengertian ”perpaduan antara faktor fisik dan nonfisik
dari suatu satuan militer dalam pertempuran”. Faktor fisik terdiri dari:
pertama, kemampuan manuver atau daya gerak/mobilitas secara terpadu dan
sinergi dari unsur-unsur tempur, bantuan tempur, dan bantuan
administrasi/logistik. Kedua, daya tembak, yaitu kapasitas tembakan untuk
mendisorganisasi dan menghancurkan musuh.
Adapun faktor nonfisik merupakan kualitas keprajuritan dari para prajuritnya,
terdiri atas aspek kejiwaan terutama daya juang, disiplin, militansi,
loyalitas, jiwa korsa, dan kerelaan berkorban.
Faktor nonfisik jauh lebih penting dari faktor fisik, merupakan faktor
utama dari daya tempur. Prajurit Gurkha dikenal sebagai tentara kelas wahid
di dunia karena keunggulan faktor nonfisiknya. Demikian pula kemenangan
Vietnam atas AS serta Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atas tentara Belanda
dalam perang kemerdekaan. Dengan demikian, faktor nonfisik merupakan kualitas
sumber daya manusia dari suatu organisasi tentara yang harus selalu dibina,
diaktualisasikan secara berkesinambungan lewat pendidikan-latihan-penugasan.
Harus selalu menjadi prioritas teratas, tidak boleh ditempatkan sebagai
prioritas kedua, apalagi keempat.
Operasionalisasi daya tempur dipengaruhi oleh kemampuan/ penguasaan
teknologi serta faktor lingkungan daerah operasi, seperti medan, cuaca,
termasuk dukungan rakyat. Dituntun dan digerakkan oleh doktrin yang dianut.
Pembinaan daya tempur harus mencakup semua aspek terkait di atas.
Ketersediaan alutsista canggih hanya bagian kecil dari pembinaan, belum
mencerminkan dimilikinya daya tempur yang andal. Tingginya daya tempur TNI
merupakan jaminan akan keberhasilan tugas pokoknya sekaligus menjadi kekuatan
tangkal dalam menghadapi setiap ancaman.
Postur
TNI
Daya tempur TNI diwujudkan dalam suatu postur yang unsurnya terdiri
dari kekuatan, kemampuan, dan gelar. Kekuatan dapat diukur dari jumlah
divisi, satuan kapal perang, dan skuadron udara yang dimiliki. Kemampuan merupakan
kualitas SDM sesuai uraian di atas, sedangkan gelar merupakan penyebaran
taktis yang bertujuan memperoleh daya gerak dan daya tembak yang maksimal.
Pembinaan postur TNI harus dilakukan secara berimbang terhadap ketiga
unsurnya dan harus bertitik berat pada pembinaan unsur kemampuan/SDM.
Program MEF TNI pada praktiknya mengesankan terlalu bertumpu pada aspek
kekuatan, aspek kemampuan, dan gelar kurang mendapat perhatian secara
proporsional. Bahkan dalam amanatnya pada acara HUT TNI lalu, Presiden SBY
tidak mengucapkan satu kata pun tentang aspek kemampuan.
Memang, Buku Putih Pertahanan kita telah membahas aspek kemampuan dan
gelar, tetapi masalahnya apakah pembahasan tersebut telah memadai sesuai
kebutuhan?
Dalam konteks kemampuan, TNI sangat relevan untuk menyimak dengan
jernih pernyataan Jenderal Benny Moerdani. Ia mengatakan bahwa ”setelah
memadamkan berbagai pemberontakan di era Orde Lama, TNI seperti kehilangan
momentum meningkatkan kemampuannya” (Tempo, 2/10/2014).
Ungkapan ini dilontarkan sebagai kekecewaan terhadap kualitas prajurit
saat operasi Seroja di Timtim. Tentu ia membandingkannya dengan kemampuan
prajurit TNI dalam operasi militer yang dilakukannya sendiri sebelumnya.
Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung dalam operasi militer di Timtim
ataupun dalam pembinaan pendidikan dan latihan, saya sendiri menangkap kesan
terjadinya penurunan kualitas SDM atau aspek kemampuan tersebut.
Kemampuan militer terutama dibentuk lewat pendidikan spesialisasi.
Sayangnya, kuantitas dan kualitas pendidikan spesialisasi di lingkungan TNI
cenderung menurun pasca era Jenderal M Jusuf sebagai panglima. Penurunan ini
tak terhindarkan karena masalah keterbatasan anggaran. Namun, saat ini,
ketika program MEF bergulir, ketersediaan anggaran sudah jauh lebih baik dari
sebelumnya, tetapi pembinaan aspek kemampuan/ SDM justru jauh dari memadai,
prioritasnya jauh di belakang pengadaan alutsista.
Hal ini dapat dilihat dari belum bergeraknya kualitas dan kuantitas
pendidikan spesialisasi. Seharusnya perlu ada penelitian obyektif dan
mendalam akan sinyalemen Pak Benny tadi dengan melibatkan para pelaku sejarah
yang masih ada, untuk dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan.
Gelar TNI yang mencerminkan daya tempur tinggi harus didukung oleh
sarana dan prasarana militer yang memadai. Matra darat membutuhkan
jaring-jaring jalan raya (jalan pendekat dalam istilah taktis) dengan
kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan untuk manuver pasukan ataupun
kendaraan tempur yang dimilikinya.
Matra laut dan udara membutuhkan ketersediaan sejumlah pangkalan dalam
rangka pengamanan wilayah Nusantara serta pengawalan kedaulatan.
Dalam konteks gelar TNI, kelemahan paling menonjol ada pada matra laut.
Pangkalan TNI AL peninggalan Belanda di Surabaya merupakan satu-satunya
pangkalan yang agak memenuhi syarat karena dilengkapi dengan fasilitas sandar
kapal yang cukup luas, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan, serta fasilitas
logistik dan arsenal. Apabila TNI akan menggerakkan pasukan lewat laut dari
berbagai tempat di Indonesia, kapalnya harus didatangkan dari Surabaya.
Selain tidak efisien, kini keberadaan pangkalan Surabaya terancam oleh
pendangkalan Selat Madura, padatnya lalu lintas kapal dagang serta yang
paling rawan adalah hanya dengan satu peluru kendali atau satu sorti serangan
udara, sebagian besar kekuatan TNI AL akan mengalami kehancuran.
Perlu menjadi perhatian adagium; ”Sangat
berbahaya bagi suatu bangsa jika memiliki kekuatan tentara yang besar tanpa
didukung kemampuan dan kesejahteraan yang memadai, potensial untuk menjadi
bom waktu”. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menyempurnakan atau
bahkan meluruskan kembali program pembangunan daya tempur TNI ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar