Selasa, 21 Oktober 2014

Pembangunan Daya Tempur TNI

Pembangunan Daya Tempur TNI

Kiki Syahnakri  ;   Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS,  20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


RANGKAIAN acara Hari Ulang Tahun Ke-69 TNI usai dilaksanakan dengan acara parade, defile, serta demonstrasi yang amat membanggakan dan mengesankan di Pangkalan TNI AL Ujung Surabaya. Dalam acara ini ditampilkan sejumlah alutsista baru matra darat, laut, dan udara yang diadakan selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk mesin perang dalam kategori tercanggih saat ini, seperti helikopter serang Apache dan peluncur roket multilaras Astros.

Alutsista yang ditampilkan merupakan bagian dari pengadaan dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk mewujudkan minimum essential force (MEF) TNI. Program ini dilakukan secara bertahap dan menurut rencana akan terwujud 100 persen pada tahun 2024.

Daya tempur

Program MEF tersebut tentu bertujuan untuk meningkatkan daya tempur TNI. Dalam terminologi militer secara universal, daya tempur (combat capability) mempunyai pengertian ”perpaduan antara faktor fisik dan nonfisik dari suatu satuan militer dalam pertempuran”. Faktor fisik terdiri dari: pertama, kemampuan manuver atau daya gerak/mobilitas secara terpadu dan sinergi dari unsur-unsur tempur, bantuan tempur, dan bantuan administrasi/logistik. Kedua, daya tembak, yaitu kapasitas tembakan untuk mendisorganisasi dan menghancurkan musuh.

Adapun faktor nonfisik merupakan kualitas keprajuritan dari para prajuritnya, terdiri atas aspek kejiwaan terutama daya juang, disiplin, militansi, loyalitas, jiwa korsa, dan kerelaan berkorban.

Faktor nonfisik jauh lebih penting dari faktor fisik, merupakan faktor utama dari daya tempur. Prajurit Gurkha dikenal sebagai tentara kelas wahid di dunia karena keunggulan faktor nonfisiknya. Demikian pula kemenangan Vietnam atas AS serta Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atas tentara Belanda dalam perang kemerdekaan. Dengan demikian, faktor nonfisik merupakan kualitas sumber daya manusia dari suatu organisasi tentara yang harus selalu dibina, diaktualisasikan secara berkesinambungan lewat pendidikan-latihan-penugasan. Harus selalu menjadi prioritas teratas, tidak boleh ditempatkan sebagai prioritas kedua, apalagi keempat.

Operasionalisasi daya tempur dipengaruhi oleh kemampuan/ penguasaan teknologi serta faktor lingkungan daerah operasi, seperti medan, cuaca, termasuk dukungan rakyat. Dituntun dan digerakkan oleh doktrin yang dianut. Pembinaan daya tempur harus mencakup semua aspek terkait di atas. Ketersediaan alutsista canggih hanya bagian kecil dari pembinaan, belum mencerminkan dimilikinya daya tempur yang andal. Tingginya daya tempur TNI merupakan jaminan akan keberhasilan tugas pokoknya sekaligus menjadi kekuatan tangkal dalam menghadapi setiap ancaman.

Postur TNI

Daya tempur TNI diwujudkan dalam suatu postur yang unsurnya terdiri dari kekuatan, kemampuan, dan gelar. Kekuatan dapat diukur dari jumlah divisi, satuan kapal perang, dan skuadron udara yang dimiliki. Kemampuan merupakan kualitas SDM sesuai uraian di atas, sedangkan gelar merupakan penyebaran taktis yang bertujuan memperoleh daya gerak dan daya tembak yang maksimal. Pembinaan postur TNI harus dilakukan secara berimbang terhadap ketiga unsurnya dan harus bertitik berat pada pembinaan unsur kemampuan/SDM.

Program MEF TNI pada praktiknya mengesankan terlalu bertumpu pada aspek kekuatan, aspek kemampuan, dan gelar kurang mendapat perhatian secara proporsional. Bahkan dalam amanatnya pada acara HUT TNI lalu, Presiden SBY tidak mengucapkan satu kata pun tentang aspek kemampuan.

Memang, Buku Putih Pertahanan kita telah membahas aspek kemampuan dan gelar, tetapi masalahnya apakah pembahasan tersebut telah memadai sesuai kebutuhan?

Dalam konteks kemampuan, TNI sangat relevan untuk menyimak dengan jernih pernyataan Jenderal Benny Moerdani. Ia mengatakan bahwa ”setelah memadamkan berbagai pemberontakan di era Orde Lama, TNI seperti kehilangan momentum meningkatkan kemampuannya” (Tempo, 2/10/2014).

Ungkapan ini dilontarkan sebagai kekecewaan terhadap kualitas prajurit saat operasi Seroja di Timtim. Tentu ia membandingkannya dengan kemampuan prajurit TNI dalam operasi militer yang dilakukannya sendiri sebelumnya. Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung dalam operasi militer di Timtim ataupun dalam pembinaan pendidikan dan latihan, saya sendiri menangkap kesan terjadinya penurunan kualitas SDM atau aspek kemampuan tersebut.

Kemampuan militer terutama dibentuk lewat pendidikan spesialisasi. Sayangnya, kuantitas dan kualitas pendidikan spesialisasi di lingkungan TNI cenderung menurun pasca era Jenderal M Jusuf sebagai panglima. Penurunan ini tak terhindarkan karena masalah keterbatasan anggaran. Namun, saat ini, ketika program MEF bergulir, ketersediaan anggaran sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, tetapi pembinaan aspek kemampuan/ SDM justru jauh dari memadai, prioritasnya jauh di belakang pengadaan alutsista.

Hal ini dapat dilihat dari belum bergeraknya kualitas dan kuantitas pendidikan spesialisasi. Seharusnya perlu ada penelitian obyektif dan mendalam akan sinyalemen Pak Benny tadi dengan melibatkan para pelaku sejarah yang masih ada, untuk dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan.

Gelar TNI yang mencerminkan daya tempur tinggi harus didukung oleh sarana dan prasarana militer yang memadai. Matra darat membutuhkan jaring-jaring jalan raya (jalan pendekat dalam istilah taktis) dengan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan untuk manuver pasukan ataupun kendaraan tempur yang dimilikinya.

Matra laut dan udara membutuhkan ketersediaan sejumlah pangkalan dalam rangka pengamanan wilayah Nusantara serta pengawalan kedaulatan.

Dalam konteks gelar TNI, kelemahan paling menonjol ada pada matra laut. Pangkalan TNI AL peninggalan Belanda di Surabaya merupakan satu-satunya pangkalan yang agak memenuhi syarat karena dilengkapi dengan fasilitas sandar kapal yang cukup luas, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan, serta fasilitas logistik dan arsenal. Apabila TNI akan menggerakkan pasukan lewat laut dari berbagai tempat di Indonesia, kapalnya harus didatangkan dari Surabaya.

Selain tidak efisien, kini keberadaan pangkalan Surabaya terancam oleh pendangkalan Selat Madura, padatnya lalu lintas kapal dagang serta yang paling rawan adalah hanya dengan satu peluru kendali atau satu sorti serangan udara, sebagian besar kekuatan TNI AL akan mengalami kehancuran.  

Perlu menjadi perhatian adagium; ”Sangat berbahaya bagi suatu bangsa jika memiliki kekuatan tentara yang besar tanpa didukung kemampuan dan kesejahteraan yang memadai, potensial untuk menjadi bom waktu”. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menyempurnakan atau bahkan meluruskan kembali program pembangunan daya tempur TNI ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar