Rabu, 01 Oktober 2014

Ibrahim, Kurban, dan Cinta

Ibrahim, Kurban, dan Cinta

Benni Setiawan  ;   Dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),
Peneliti Maarif Institute
REPUBLIKA,  30 September 2014

                                                                                                                       


Lembaran sejarah peradaban umat tak pernah lepas dari nama Ibrahim. Dia adalah bapak para Nabi dan Rasul. Ibrahim telah meletakkan dasar keberagamaan dan menjadi "panduan" dalam kehidupan.

Ibrahim muda memulai proses pengenalan dan pencarian Tuhan melalui penginderaan terhadap binatang, bintang, bulan, dan matahari. Namun, Ibrahim mengalami kekecewaan karena itu semua lenyap dan hilang di peredaran waktu. Kemudian, Ibrahim menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Agung yang menciptakan langit dan bumi.

Ibrahim pun akhirnya bersaksi, ia bukanlah yang termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya, yang diabadikan dalam Alquran surah al-An’am (6: 75-79).

Ketika Ibrahim berumah tangga. Dia lama tidak dikaruniai anak. Setelah melalui proses kesabaran yang luar biasa, istri keduanya (Hajar) melahirkan seorang anak laki-laki bernama Ismail.

Ketika Ismail menginjak dewasa, dalam mimpi Ibrahim, ia diperintahkan oleh Tuhan untuk menyembelih anaknya. Ini adalah ujian yang kesekian kalinya untuk Ibrahim. Kemudian mimpi itu dikonsultasikan kepada anaknya (Ismail).

Sang anak menjawab kalau ini adalah syariat dari Tuhan, saya rela untuk disembelih. Ismail pun berujar, "Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Kisah inipun mendapat tempat di dalam Alquran. Tepatnya surat ash-Shaffat (37: 100-111).

Jangan korbankan nyawa

Akhir dari drama itu, Tuhan menyelamatkan nyawa Ismail dari pedang Ibrahim, sang ayah, dan kemudian digantikan dengan seekor kambing. Kisah penyembelihan Ismail inilah yang kemudian dijadikan rujukan disyariatkannya penyembelihan hewan kurban. Kemudian apa pesan di balik peristiwa tersebut?

Pertama, kita diperintahkan untuk berkurban, tetapi jangan sekali-kali mengorbankan nyawa orang. Justru nasib sesamanya yang harus kita bela dengan memberikan santunan kambing (harta benda) yang memang layak dikonsumsi oleh manusia untuk mempertahankan hidup yang bergizi.

Kedua, kita diperingatkan Tuhan agar kecintaan kepada dunia jangan sampai mengalahkan atau bahkan melupakan cinta kepada Tuhan, Pemilik dunia dengan segala penghuninya.

Ketiga, ketaatan Ibrahim dan Ismail untuk berkurban justru menambah kecintaan Tuhan pada mereka sehingga Tuhan melipatgandakan keturunan yang unggul dan rezeki yang melimpah. Dari Ibrahim dan Sarah, lahirlah sekian banyak tokoh pemimpin umat, antara lain, Musa dan Isa. Sedangkan dari garis Hajar, lahirlah Muhammad.

Keempat, janganlah kecintaan kita kepada anak menjadi berhala yang bersemayam di hati dan pikiran kita sehingga akan menutupi akal dan nurani untuk melihat kebenaran. Labih jauh lagi, jangan sampai kita lupa bahwa anak adalah rahmat dan amanat yang harus disyukuri dan dipertanggungjawabkan.

Agama mengajarkan, jika kita mencitai Tuhan maka kita akan mencintai semua makhluk-Nya tanpa memandang suku, ras, maupun agama. Sebaliknya, jika kita hanya mencintai diri dan keluarga, maka kita akan mudah tergelincir untuk selalu berpikir dan bertindak egoistis dan tidak segan-segan mengorbankan kepentingan orang lain untuk memenuhi kepentingan diri dan keluarga (Komaruddin Hidayat, 2006).

Semangat bederma

Kurban sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan, pada hakikatnya adalah kesediaan untuk berbagi dengan harta bendanya yang paling berharga kepada orang lain. Kurban juga doktrin keagamaan yang harus kita ambil semangatnya.

Menurut Whitehead, agama itu dari segi sifat doktrinalnya, dapat digambarkan sebagai suatu sistem mengubah budi pekerti, jika kebenaran-kebenaran umumnya dipegang secara ikhlas secara sungguh-sungguh. (Nurcholish Madjid, 1987). Kurban pada dasarnya adalah semangat untuk bederma kepada orang lain. Kedermaan dengan menyerahkan hartanya yang paling berharga inilah yang akan menumbuhkan keluhuran budi.

Keluruhan budi akan menggiring seseorang berbuat kebajikan dan menebarkan kedamaian (Islam). Melalui kebajikan, keburukan akan hilang atau lenyap. Pasalnya, kebatilan adalah sesuatu yang pasti lenyap (QS al-Isra [17]: 81). Ketika keburukan (kebatilan) sudah lenyap maka kedamaian akan menjadi mantra bagi kehidupan.

Kehidupan yang demikian menjadikan setiap kerja didasarkan pada kesadaran teologis kepada Tuhan. Manifestasi kerja sosial itu adalah kehidupan untuk saling memberi dan berbagai.

Harvey Mc Kinnon & Azim Jamal (2012) menyatakan, memberi menciptakan suatu hubungan simbiosis, kedua pihak diuntungkan. Si penerima mendapat manfaat dari pemberian sang pemberi. Kita pribadi memperoleh manfaat karena sudah menjadi seorang pemberi. Kadang manfaat langsung bagi orang yang dibantu itu mudah dilihat. Di kala lain, manfaat nyata tindakan memberi mungkin terjadi sekian tahun ke depan. Apa pun pemberian Anda --waktu, uang, atau upaya-- pasti akan berdampak positif.

Semangat kurban dapat bermanfaat di tengah ketidakmampuan pemerintah melindungi warga negaranya. Pemerintah pun sudah saatnya sadar bahwa kurban bukan hanya ritual tahunan tanpa makna. Namun, proses kreatif menilik sejarah masa lampau yang penuh pengabdian dan pendidikan yang mendewasakan.

Pada akhirnya, spirit berkurban ala Ibrahim selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun. Ibrahim telah mengajarkan bahwa berkurban merupakan perwujudkan cinta kasih tanpa batas. Berkurban menjadi bukti ketaatan sekaligus kedekatan seseorang dengan Tuhan dan makhluknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar