Ibrahim,
Kurban, dan Cinta
Benni Setiawan ; Dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),
Peneliti
Maarif Institute
|
REPUBLIKA,
30 September 2014
Lembaran sejarah peradaban umat tak pernah lepas dari nama Ibrahim. Dia
adalah bapak para Nabi dan Rasul. Ibrahim telah meletakkan dasar keberagamaan
dan menjadi "panduan" dalam kehidupan.
Ibrahim muda memulai proses pengenalan dan pencarian Tuhan melalui
penginderaan terhadap binatang, bintang, bulan, dan matahari. Namun, Ibrahim
mengalami kekecewaan karena itu semua lenyap dan hilang di peredaran waktu.
Kemudian, Ibrahim menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Agung
yang menciptakan langit dan bumi.
Ibrahim pun akhirnya bersaksi, ia bukanlah yang termasuk orang-orang
yang menyekutukan-Nya, yang diabadikan dalam Alquran surah al-An’am (6:
75-79).
Ketika Ibrahim berumah tangga. Dia lama tidak dikaruniai anak. Setelah
melalui proses kesabaran yang luar biasa, istri keduanya (Hajar) melahirkan
seorang anak laki-laki bernama Ismail.
Ketika Ismail menginjak dewasa, dalam mimpi Ibrahim, ia diperintahkan
oleh Tuhan untuk menyembelih anaknya. Ini adalah ujian yang kesekian kalinya
untuk Ibrahim. Kemudian mimpi itu dikonsultasikan kepada anaknya (Ismail).
Sang anak menjawab kalau ini adalah syariat dari Tuhan, saya rela untuk
disembelih. Ismail pun berujar, "Insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Kisah
inipun mendapat tempat di dalam Alquran. Tepatnya surat ash-Shaffat (37:
100-111).
Jangan
korbankan nyawa
Akhir dari drama itu, Tuhan menyelamatkan nyawa Ismail dari pedang
Ibrahim, sang ayah, dan kemudian digantikan dengan seekor kambing. Kisah
penyembelihan Ismail inilah yang kemudian dijadikan rujukan disyariatkannya
penyembelihan hewan kurban. Kemudian apa pesan di balik peristiwa tersebut?
Pertama, kita diperintahkan untuk berkurban, tetapi jangan sekali-kali
mengorbankan nyawa orang. Justru nasib sesamanya yang harus kita bela dengan
memberikan santunan kambing (harta benda) yang memang layak dikonsumsi oleh
manusia untuk mempertahankan hidup yang bergizi.
Kedua, kita diperingatkan Tuhan agar kecintaan kepada dunia jangan
sampai mengalahkan atau bahkan melupakan cinta kepada Tuhan, Pemilik dunia dengan
segala penghuninya.
Ketiga, ketaatan Ibrahim dan Ismail untuk berkurban justru menambah
kecintaan Tuhan pada mereka sehingga Tuhan melipatgandakan keturunan yang
unggul dan rezeki yang melimpah. Dari Ibrahim dan Sarah, lahirlah sekian
banyak tokoh pemimpin umat, antara lain, Musa dan Isa. Sedangkan dari garis
Hajar, lahirlah Muhammad.
Keempat, janganlah kecintaan kita kepada anak menjadi berhala yang
bersemayam di hati dan pikiran kita sehingga akan menutupi akal dan nurani
untuk melihat kebenaran. Labih jauh lagi, jangan sampai kita lupa bahwa anak
adalah rahmat dan amanat yang harus disyukuri dan dipertanggungjawabkan.
Agama mengajarkan, jika kita mencitai Tuhan maka kita akan mencintai
semua makhluk-Nya tanpa memandang suku, ras, maupun agama. Sebaliknya, jika
kita hanya mencintai diri dan keluarga, maka kita akan mudah tergelincir
untuk selalu berpikir dan bertindak egoistis dan tidak segan-segan
mengorbankan kepentingan orang lain untuk memenuhi kepentingan diri dan
keluarga (Komaruddin Hidayat, 2006).
Semangat
bederma
Kurban sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan, pada hakikatnya adalah
kesediaan untuk berbagi dengan harta bendanya yang paling berharga kepada
orang lain. Kurban juga doktrin keagamaan yang harus kita ambil semangatnya.
Menurut Whitehead, agama itu dari segi sifat doktrinalnya, dapat
digambarkan sebagai suatu sistem mengubah budi pekerti, jika
kebenaran-kebenaran umumnya dipegang secara ikhlas secara sungguh-sungguh.
(Nurcholish Madjid, 1987). Kurban pada dasarnya adalah semangat untuk bederma
kepada orang lain. Kedermaan dengan menyerahkan hartanya yang paling berharga
inilah yang akan menumbuhkan keluhuran budi.
Keluruhan budi akan menggiring seseorang berbuat kebajikan dan
menebarkan kedamaian (Islam). Melalui kebajikan, keburukan akan hilang atau
lenyap. Pasalnya, kebatilan adalah sesuatu yang pasti lenyap (QS al-Isra
[17]: 81). Ketika keburukan (kebatilan) sudah lenyap maka kedamaian akan
menjadi mantra bagi kehidupan.
Kehidupan yang demikian menjadikan setiap kerja didasarkan pada
kesadaran teologis kepada Tuhan. Manifestasi kerja sosial itu adalah
kehidupan untuk saling memberi dan berbagai.
Harvey Mc Kinnon & Azim Jamal (2012) menyatakan, memberi
menciptakan suatu hubungan simbiosis, kedua pihak diuntungkan. Si penerima mendapat
manfaat dari pemberian sang pemberi. Kita pribadi memperoleh manfaat karena
sudah menjadi seorang pemberi. Kadang manfaat langsung bagi orang yang
dibantu itu mudah dilihat. Di kala lain, manfaat nyata tindakan memberi
mungkin terjadi sekian tahun ke depan. Apa pun pemberian Anda --waktu, uang,
atau upaya-- pasti akan berdampak positif.
Semangat kurban dapat bermanfaat di tengah ketidakmampuan pemerintah
melindungi warga negaranya. Pemerintah pun sudah saatnya sadar bahwa kurban
bukan hanya ritual tahunan tanpa makna. Namun, proses kreatif menilik sejarah
masa lampau yang penuh pengabdian dan pendidikan yang mendewasakan.
Pada akhirnya, spirit berkurban ala Ibrahim selayaknya menjadi
pelajaran berharga bagi siapa pun. Ibrahim telah mengajarkan bahwa berkurban
merupakan perwujudkan cinta kasih tanpa batas. Berkurban menjadi bukti
ketaatan sekaligus kedekatan seseorang dengan Tuhan dan makhluknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar