Berinovasi
Hemat-Cerdas
Iwan Pranoto dan Gautam Kumar
Jha ;
( Tanpa Penjelasan )
|
KORAN
TEMPO, 01 Oktober 2014
"Jika
kehidupan memberi cuka asam, kita buat menjadi acar."
Demikianlah inti terdalam gagasan berinovasi hemat-cerdas. Kerugian
dimanfaatkan menjadi keuntungan. Di bawah ini satu ilustrasi dari ratusan
bahkan ribuan kisah bagaimana masyarakat awam di desa India mewujudkan
keuntungan dari kerugian.
Walau terkesan mirip dongeng pengantar tidur yang terlalu indah untuk
dipercaya, gagasan "memanfaatkan cuka untuk membuat acar" ini
sungguh nyata. Inovasi hemat cerdas yang berciri inklusif ini juga bukan hal
baru dan bukan ada di India saja. Bahkan, sebenarnya gelombang berinovasi
dengan dasar prinsip ini sudah terwujud sejak era Benjamin Franklin pada abad
ke-19. Beliau yang dari keluarga sederhana ini salah satu pelopor inovasi
hemat-cerdas di dunia Barat. Beliau dan inovator lainnya sudah menggerakkan
budaya berinovasi sebelum inovasi diindustrikan, dielitekan, dan diasingkan
dari masyarakat kebanyakan seperti sekarang. Namun, pada abad ke-21 ini,
budaya berinovasi hemat cerdas ini mulai bertunas kembali.
Bapak Kanak Das tinggal di Desa Morigaon, di Negara Bagian Assam,
India. Setiap hari, beliau bersepeda di jalan penuh lubang. Akibatnya, saat
bersepeda, badannya terguncang-guncang. Keluhan sudah disuarakan, tapi
semakin hari jalan tidak juga bertambah baik. Pengalaman menyebalkan ini
secara perlahan ditafsirkannya sebagai sebuah masalah yang harus dipecahkan.
Bapak yang tak lulus SMA ini kemudian bertanya ke dirinya sendiri,
bagaimana memanfaatkan guncangan menjadi percepatan. Bagaimana gundukan dan
lubang di jalan yang tak rata dapat dibuat menjadi sumber energi bagi
sepedanya?
Lalu beliau menerawang dan merancang solusinya. Angan-angannya adalah
menciptakan sistem yang mengubah energi guncangan menjadi energi percepatan
perputaran roda. Singkat kata, beliau berhasil mewujudkan sebuah rekacipta
baru, sebuah sepeda yang, jika mengalami guncangan, roda belakangnya berputar
mempercepat.
Dalam bahasa Hindi dan kehidupan masyarakat India, kata jugaad dipakai
untuk menjelaskan sikap berinovasi hemat-cerdas seperti yang dilakukan Pak
Kanak Das itu. Baca, misalnya, Jugaad
Innovation (Radjou et al, 2012.)
Di Indonesia, istilah yang agak mirip, yakni inovasi akar rumput,
dikenalkan oleh Prof E. Gumbira Sa'id, pada 2009. Adapun pada 1980-an, sikap
menyelesaikan masalah dengan cerdas menggunakan peralatan dan bahan seadanya dipopulerkan
melalui film MacGyver. Dari ilustrasi di atas dapat disimak prinsip
berinovasi hemat-cerdas. Pertama, pelaku inovasi ini masyarakat awam,
berpendidikan rendah, dan dari pedesaan. Mereka bukan rekayasawan, bukan
ilmuwan, bukan peneliti negara atau lembaga litbang, bukan pula penduduk kota
besar. Ini menegaskan bahwa berinovasi bukan kegiatan eksklusif milik kaum
elite saja.
Kedua, tempat berinovasinya bukan di laboratorium canggih, tapi rumah
sederhana biasa di desa. Guru besar di Jindal School of Government and Public
Policy, Shiv Visvanathan, dalam The Illiteracy of Innovation (The Hindu, 10
September 2014), menegaskan bahwa sekarang daerah miskin dan padat telah
menjadi lahan berinovasi. Lebih lanjut, saat sekarang badan inovasi nasional
tak boleh dibayangkan seperti Xerox Park atau Silicon Valley semata, tapi
perlu dibangun dalam sebuah kerangka budaya.
Ketiga, solusi yang dibuat bukan sekadar tambal-sulam sementara,
melainkan solusi mendasar permanen, menyeluruh, dan berparadigma baru. Bukan
saja berpikir di luar kotak, tapi Pak Kanak Das juga "menciptakan sebuah
kotak baru." Dan, proses berinovasi ini ramping modal.
Sementara itu, mitos kuno bahwa semakin besar investasi riset akan
semakin besar hasil inovasinya, sekarang malah dipertanyakan. Banyak data tak
mendukung mitos ini.
Ini berarti bahwa, walaupun dana dibutuhkan untuk berinovasi, ada
pendorong lain. Sikap percaya diri dan budaya berinovasi masyarakat justru
lebih penting. Karena itu, selain lembaga penelitian resmi negara melakukan
inovasi, perlu ada kebijakan penggeloraan masyarakat dalam berinovasi dan
dorongan untuk menyelesaikan masalahnya.
Kerja sama Indonesia-India di masa mendatang perlu mencakup
pengembangan budaya berinovasi ini. Indonesia perlu menyerap bukan hasil
inovasinya, melainkan budaya berinovasi hemat cerdas di masyarakat. Bukan
inovasi sebagai kata benda, tapi inovasi sebagai kata kerja.
Perlu diteliti dan dikembangkan penumbuhan budaya ini di Indonesia.
Akademikus ilmu budaya perlu memeloporinya. Kerja sama budaya dalam artian
keserasian kehidupan masyarakat bersama lingkungannya merupakan salah satu
penyelesaian masalah kehidupan abad ke-21 yang amat penting. Terlebih lagi,
kerja sama budaya bukan terbatas pada pengkajian budaya masa lalu, tapi juga
pengembangan budaya masa depan kedua bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar