Kabinet
Obesitas
Feri Amsari ; Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KORAN
TEMPO, 30 September 2014
Postur kabinet pemerintah Joko Widodo dirancang terlalu
"gemuk". Dengan 34 kursi menteri, pemerintah baru diduga akan
lamban berlari.
Jumlah 34 kursi menteri sebanding dengan jumlah maksimal kementerian
yang dapat dibentuk berdasarkan Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara. Artinya, Jokowi berencana menempatkan seorang menteri
untuk memimpin satu kementerian. Padahal, dalam kajian hukum tata negara,
seorang menteri dapat memimpin dua atau lebih kementerian (department). Dengan cara itu, postur
kabinet akan menjadi lebih ramping.
Kabinet Presiden Eisenhower, misalnya, menempatkan Departemen
Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan berada di bawah kepemimpinan satu
menteri. Itu sebabnya, hingga kini, meskipun memiliki beban kerja sangat berat,
kabinet di Amerika tidak pernah menyentuh jumlah 20 menteri. Presiden Obama
hanya memiliki 15 menteri dan 6 pejabat setingkat menteri.
Dengan postur ramping itu, menurut Patrick Weller, kabinet akan mudah
mengorganisasi diri dan menata pemerintahan (2007; h. 214). Sedangkan jumlah
yang terlalu besar akan membuat presiden kesulitan membangun kerja sama
antarkementerian. Apalagi banyaknya menteri dengan "isi kepala"
yang berbeda akan menciptakan masalah internal tersendiri bagi presiden baru.
Kondisi itu semakin membuat pemerintah menjadi lamban di tengah tuntutan agar
pemerintah baru berlari lebih cepat mengatasi ketertinggalan dari negara
tetangga.
Dengan jumlah kursi menteri yang terlalu banyak, presiden terpilih akan
dituding menerapkan "politik balas budi". Semua pihak harus
mendapat untung dari pembagian kursi kabinet. Akibatnya, pemerintah Jokowi-JK
mengalami kelambanan bekerja sebagaimana dialami kabinet Presiden SBY,
Megawati, dan Abdurrahman Wahid. Kabinet "obesitas" cenderung
bekerja lamban.
Ada dua penyebab kelambanan itu. Pertama, koordinasi bertingkat dalam
kabinet. Sebelum penentuan kebijakan, selain berkoordinasi kepada presiden
atau wakil presiden, para menteri harus lebih dulu "melaporkan"
kepada menteri koordinator. Sedangkan menteri koordinator mesti menyampaikan
laporan itu kepada presiden. Kebijakan bertingkat seperti itu sebenarnya
tidak diperlukan. Sebagai kepala pemerintahan, presiden adalah koordinator
tunggal para menteri. Jika menteri koordinator dihapus, setiap kebijakan dapat
diputus lebih cepat. Sayangnya, dalam politik balas budi, jabatan menteri
koordinator diperlukan untuk menghormati ketua atau tokoh senior
partai/militer.
Kedua, kelambanan terjadi karena menyusupnya banyak kepentingan.
Pembagian kursi yang menampung seluruh partai pendukung membuat kabinet
dipenuhi banyak kepentingan berbeda. Masing-masing menteri tidak hanya
bekerja untuk presiden, tapi juga partainya. Misalnya, dalam Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II, Partai Golkar dan PKS acap kali memilih jalan yang
berbeda dengan kebijakan pemerintah SBY. Pilihan politik partai itu tentu
mempengaruhi sikap kadernya di kabinet. Akibatnya, para menteri acap kali
bimbang menentukan kebijakan penting akibat perbedaan pandang antara
pemerintah dan partai pendukungnya. Ketika itu, para menteri akan berada di
wilayah "simalakama": takut diganti (reshuffle) di jajaran kabinet atau dipecat dari partai. Akhirnya,
kinerja kabinet semakin lamban.
Dengan postur berat tersebut, pemerintah Jokowi-JK tak hanya berpotensi
lamban, tapi juga akan lelah berlari. Apalagi setiap pemerintah baru akan
mendapatkan rintangan yang tidak ringan. Presiden baru akan menghadapi budaya
birokrasi institusi yang rumit, "bayang-bayang" presiden
sebelumnya, permasalahan yang tiba-tiba muncul, relasi rumit pendukung yang
beragam, dan "membaca" kelompok mana saja yang dapat dipercaya
(Patrick Sanaghan; 2008; h.7). Kondisi itu jamak dihadapi oleh kabinet
obesitas.
Sesungguhnya, dalam sejarah tata negara, kabinet merupakan sebuah ruang
kecil (cabinet). Ruang kecil itu dijadikan tempat raja (kepala negara dan
pemerintahan) mengadakan rapat dengan beberapa profesional kepercayaan
terpilih (zaken kabinet).
Sejarah itu memperlihatkan bahwa kabinet tidak pernah dirancang
berjumlah besar. Kelompok kecil para menteri itu bertugas "membaca"
seluruh potensi masalah yang terjadi dan menemukan solusinya. Kebijakan
kabinet itulah yang harus diejawantahkan ribuan birokrat pekerja di bawah
kendali menteri. Kabinet ramping tak hanya membuat pemerintah dapat
"berlari dengan napas panjang", tapi juga akan menghemat anggaran
negara.
Kantor transisi pemerintah Jokowi-JK tentu juga memahami pentingnya
kabinet yang ramping, namun acap kali "kehendak" partai membuat
postur kabinet mengalami kelebihan bobot. Dengan postur obesitas tersebut,
kabinet akan sulit mengiringi "lari" presiden baru yang
"lincah blusukan" itu. Sebelum para menteri ikut berlari,
"keringat masalah kabinet" sudah mulai menetes. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar