Selasa, 14 Oktober 2014

Berebutlah Pelayanan, Bukan Ketua

                         Berebutlah Pelayanan, Bukan Ketua

Dominica Xyannie  ;   Mahasiswa Pascasarjana
KORAN JAKARTA,  11 Oktober 2014

                                                                                                                       


Praktik-praktik atau kegaduhan di Senayan baru-baru ini sangat khas Indonesia: mereka mengejar kekuasaan, bukan pelayanan. Padahal untuk menjadi pemimpin, seharusnya mereka mengutamakan pelayanan. Maka, seharusnya mereka berebut melayani, bukan menguasai atau mengetuai. Namun yang terjadi, seluruh strategi, termasuk cara-cara paling buruk, pun diambil untuk memenangi posisi ketua.

Sangat disayangkan bahwa sebagian bangsa ini memiliki semangat untuk berkuasa. Mereka sangat jauh dari semangat untuk melayani. Padahal yang dikembangkan di biara-biara, orang baru diangkat menjadi pembesar (ketua) kalau sudah mampu menjadi pelayan. Dengan kata lain, dia harus lulus dulu melayani sesama, baru layak atau bisa diangkat menjadi ketua.

Dunia biara jelas berbeda dengan alam politik. Akan tetapi, sesungguhnya semua sama karena pekerjaan utamanya adalah melayani. Semua sama karena yang dihadapi dan dilayani juga manusia. Jadi, tidak ada perbedaan bahwa ketua alam politik pun seharusnya hanya diberikan kepada mereka yang berjiwa melayani.

Alam politik yang berpaham mengejar kekuasaan sangat terlihat ketika jatah-menjatah sudah dijatuhkan. Maka, 100 persen dapat dimengerti ketika salah satu partai tidak memperoleh jatah (wakil) ketua, langsung hengkang dari koalisi yang satu ke lainnya dalam pemilihan ketua dan wakil MPR. Dia langsung pindah haluan. Ini lepas dari kenyataan bahwa akhirnya partai tersebut juga tidak mendapat tempat.

Hiruk-pikuk di gedung DPR/MPR sangat kental hanya sebagai upaya merebut kekuasaan, bahkan dalam arti sesungguhnya. Sebab dengan menguasai segala sudut, kelompok tertentu kini dapat berbuat apa saja sesuai dengan “misi”. Juga kalau itu akhirnya mengubah segala ketentuan hukum guna melapangkan jalan ke pucuk kekuasaan negara. Mereka juga bisa mengubah apa pun demi kepentingan sendiri meski itu harus melupakan rakyat.

Ubah

Oleh karena itu, sesungguhnya gerakan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo merupakan gagasan brilian, mendesak, dan tak dapat ditawar, apalagi ditunda. Revolusi mental yang paling mendasar adalah dari sikap ingin berkuasa, maunya dilayani, menjadi berhasrat melayani dan merendahkan diri.

Itulah program dasar yang sangat berat. Sebab mental seluruh birokrat dari pusat sampai daerah, dari kota hingga desa, maunya dilayani. Mereka lupa, tidak tahu, atau tidak mau tahu bahwa sesungguhnya status birokrat adalah pelayan. Dengan kata lain, pekerjaan utama mereka adalah melayani, karena itu disebut pelayan.

Dalam bahasa Latin, menteri adalah seorang minister (pelayan). Namun, banyak yang tidak mengerti sehingga, begitu diangkat menjadi menteri, terus bersuka cita, bergembira ria, dan bersujud syukur. Malah banyak yang menanti-nanti untuk ditelepon presiden dan berharap diangkat menjadi anggota kabinet.

Padahal andai paham, mereka seharusnya sedih ketika diangkat menjadi menteri karena pekerjaannya amat berat, menjadi pelayan. Mereka yang diangkat jadi menteri seharusnya menolak kalau tidak siap menjadi pelayan, tidak siap merendahkan diri seperti itu. Andai paham, tentu tidak ada yang berharap ditelepon presiden. Andai paham, pasti tidak ada yang bermimpi menjadi anggota kabinet.

Di Jepang, Amerika, dan negara-negara maju lain, jiwa melayani dari kalangan birokrat sudah menyata. Masyarakat yang mengurus surat-surat, bila dokumennya lengkap, tinggal duduk manis, tahu-tahu selesai. Di sini, uang berbicara. Tidak ada uang tidak ada pelayanan. Tidak ada pelicin, dokumen tidak akan bergerak. Dokumen harus digerakkan pelicin, padahal dokumen tidak ada rodanya sehingga tidak diperlukan pelicin.

Mental birokrat yang demikian itu tentu sangat sulit direvolusi karena telah tertanam berpuluh-puluh warsa sehingga telah mendarah daging, mengurat-mengakar, dan menjadi kanker. Diperlukan gerakan luar biasa keras untuk memotong kanker yang sudah demikian membatu. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama sesungguhnya berpotensi merevolusi birokrat-birokrat Jakarta sebagaimana telah dirintis Joko Widodo. Sayang, ada sedikit kelompok di masyarakat yang terus mengganggu kinerja Basuki hanya karena berbeda agama, sebuah pandangan picik dan kerdil.

Lewat Ahok, sesungguhnya birokrat DKI mulai memahami maksud baiknya: demi menciptakan aparatus yang profesional dan giat bekerja sesuai dengan status sebagai pelayan rakyat. Sebab mereka digaji dari uang yang diambil dari hasil keringat warga. Maka, sudah secara otomatis mereka melayani yang membayar.

Presiden Joko Widodo telah meletakkan rencana program yang amat vital: merevolusi mental. Ini sangat bagus sekaligus sangat sulit. Namun, apa pun kondisinya, bagaimanapun sukarnya, harus dimulai. Birokrat bangsa ini tidak boleh dininabobokan mental inlander sebagai warisan penjajah yang hanya mau duduk di singgasana untuk disembah dan dilayani. Oleh karena itu, seluruh rakyat harus mendukung program dasariah tersebut.

Mental priayi sudah tidak zamannya lagi. Dia tidak boleh hidup di bumi Nusantara. Mari bersama-sama presiden mengubah diri. Keteladanan menjadi kunci. Oleh karena itu, atasan atau mereka yang memiliki anak buah harus memberi contoh untuk mengubah diri. Segala perubahan hanya bisa terjadi bila diawali diri sendiri. Kita tidak perlu berteriak-teriak agar orang lain berubah, tapi cukup memberi contoh. Bila kita berubah, orang lain tidak perlu disuruh, akan ikut juga.

Keteladanan semakin langka. Rakyat ini harus bersyukur karena akhirnya menemukan presiden yang mau bekerja, turun ke jalan, blusukan, dan memanggul semen. Selama ini, belum pernah ada pemimpin seperti itu. Joko Widodo menjadi kunci Indonesia emas. Bersamanya, Indonesia menyongsong zaman baru: era melayani! Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar