Selasa, 14 Oktober 2014

Menggagas Strategi Komunikasi Presiden

                  Menggagas Strategi Komunikasi Presiden

Syafiq Basri Assegaff  ;   Pengajar Komunikasi Universitas Paramadina
dan London School of Public Relations
KOMPAS,  09 Oktober 2014

                                                                                                                       


Mantan wartawan senior The Washington Post, Walter Pincus, pernah menulis dalam blognya bahwa Presiden Ronald Reagan kurang menarik diberitakan pada akhir tahun pertama pemerintahannya menurut reporter politik kenamaan David Broder. Pengganti Reagan, George HW Bush, dianggap sebagai tidak konsisten dalam berbagai pesannya, dan Bill Clinton dinilai sebagai terlalu banyak mencampurkan pesan-pesan hariannya (sehingga membingungkan).
Itu di Amerika Serikat. Masing-masing presiden mendapatkan citra (yang dipersepsi secara) berbeda di benak media. Bagaimana dengan presiden terpilih Indonesia Joko Widodo? Apakah ia akan tetap sederhana? Apakah ia bisa menjaga identitas atau lebih penting lagi reputasi dirinya?
Untuk itu, salah satu hal penting yang perlu dilakukan adalah menyusun rencana komunikasi strategis (strategic communication plan) dengan bantuan tim ahli public relations (PR). Sebagaimana para pemimpin dunia lainnya, Jokowi bukan sekedar perlu juru bicara, melainkan tim ahli PR yang dapat memberi saran, sekaligus menjadi ”mata dan telinga” guna menyerap apa yang terjadi dan yang diinginkan publik.
Berbeda dengan rezim hasil Pemilu 2009 yang drama konflik dengan pesaingnya tidak seberapa besar, pemerintahan Jokowi-JK akan berat karena pesaingnya terus berupaya untuk merebut kekuasaan. Wajar jika kemudian sang presiden perlu pendampingan sejumlah tenaga PR yang andal.
Kebutuhan PR di dunia saat ini memang jauh lebih penting ketimbang sebelumnya, terutama karena perubahan ”lanskap media” berkat kemajuan teknologi informasi saat ini. Menyempitnya jumlah outlet media, semakin sedikitnya kebutuhan wartawan untuk menemui sumber berita secara langsung (tatap muka), dan kian sempitnya waktu tenggat (deadline) bagi jurnalis menyebabkan tenaga PR semakin diperlukan, termasuk mengurusi media daring istana.
Kawan media
Meski popularitasnya tinggi, Jokowi tidak bisa membiarkan nama baiknya diusik berbagai masalah yang tidak saja akan menggerogoti ”citra” pemerintahan di mata rakyat, tetapi juga bisa menurunkan ”reputasi” Indonesia di mata dunia, termasuk investor asing. Kecepatan penyebaran berita (buruk) melalui media sosial jelas akan mempercepat perusakan nama baik ke seluruh dunia.
Tim PR bisa menjembatani komunikasi dengan lembaga DPR dan para relawan yang tempo hari berjasa bagi pemenangan pasangan Jokowi-JK serta menjadi mata dan telinga presiden terhadap pemangku kepentingan (stakeholders) secara luas, termasuk dengan kelompok-kelompok pressure groups seperti LSM.
Tim PR yang baik bisa menjadi kawan media karena para wartawan sering tidak puas hanya mendengarkan informasi satu arah dari juru bicara (jubir) presiden yang lebih banyak berfungsi sebagai ”press agentry”.
Tim PR bisa menambah informasi berupa data ataupun keterangan tambahan, termasuk mencarikan waktu apabila ada yang memerlukan wawancara khusus dengan tim presiden.
Ada hubungan simbiosis antara PR presiden dan wartawan. Ketika Jokowi sibuk, belum bisa (atau tidak perlu) tampil di depan media, tim PR bisa membantu wartawan memberikan informasi latar belakang (background) dan perspektif. Tenaga PR yang kaya informasi tentang presiden (dan wakilnya) dapat membantu wartawan yang dikejar deadline agar berhasil memenuhi tugasnya.
Pemimpin tim PR dan anggotanya mestilah melakukan pendekatan interaktif yang mengharuskan mereka terlibat aktif di tengah bermacam publik yang bisa memengaruhi masa depan lembaga pemerintah. Jika tim PR bisa membantu pemerintah menerapkan komunikasi dua arah yang baik dengan publik, ia akan dengan mudah mengidentifikasi ”gejala” sebuah masalah jauh sebelum ia muncul ke permukaan.
Metode ini bisa efektif apabila tim PR selalu ”menghadirkan publik” (yang diwakilinya) ke tengah permasalahan yang ada, mendengarkan dan berdialog dengan mereka. Berkat komunikasi dua arah dengan publik, para petugas PR dapat menetapkan sasaran-sasaran strategis yang terukur (measurable objectives) pada program komunikasinya.
Awalnya, tim menetapkan dan mengevaluasi sikap publik, mengidentifikasi kebijakan dan semua prosedur yang berkaitan dengan kepentingan publik. Kemudian mereka menyiapkan pengembangan serta eksekusi program komunikasi strategis dan terencana yang bertujuan mendapatkan pemahaman dan penerimaan publik atas segala kebijakan.
Tugas praktisi PR saat ini tidak sekadar merekayasa pesan-pesan kunci (seperti disampaikan para presiden AS dalam tulisan Walter Pincus di atas), mengatur konferensi pers, menyiapkan rilis, atau mengundang wartawan meliput acara kepresidenan. Apabila hanya itu yang dilakukan, sama artinya dengan mengerdilkan fungsi PR.


p> �\ls��� �� al style='margin:0cm;margin-bottom:.0001pt;line-height:150%; background:white'> 

Mental birokrat yang demikian itu tentu sangat sulit direvolusi karena telah tertanam berpuluh-puluh warsa sehingga telah mendarah daging, mengurat-mengakar, dan menjadi kanker. Diperlukan gerakan luar biasa keras untuk memotong kanker yang sudah demikian membatu. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama sesungguhnya berpotensi merevolusi birokrat-birokrat Jakarta sebagaimana telah dirintis Joko Widodo. Sayang, ada sedikit kelompok di masyarakat yang terus mengganggu kinerja Basuki hanya karena berbeda agama, sebuah pandangan picik dan kerdil.

Lewat Ahok, sesungguhnya birokrat DKI mulai memahami maksud baiknya: demi menciptakan aparatus yang profesional dan giat bekerja sesuai dengan status sebagai pelayan rakyat. Sebab mereka digaji dari uang yang diambil dari hasil keringat warga. Maka, sudah secara otomatis mereka melayani yang membayar.

Presiden Joko Widodo telah meletakkan rencana program yang amat vital: merevolusi mental. Ini sangat bagus sekaligus sangat sulit. Namun, apa pun kondisinya, bagaimanapun sukarnya, harus dimulai. Birokrat bangsa ini tidak boleh dininabobokan mental inlander sebagai warisan penjajah yang hanya mau duduk di singgasana untuk disembah dan dilayani. Oleh karena itu, seluruh rakyat harus mendukung program dasariah tersebut.

Mental priayi sudah tidak zamannya lagi. Dia tidak boleh hidup di bumi Nusantara. Mari bersama-sama presiden mengubah diri. Keteladanan menjadi kunci. Oleh karena itu, atasan atau mereka yang memiliki anak buah harus memberi contoh untuk mengubah diri. Segala perubahan hanya bisa terjadi bila diawali diri sendiri. Kita tidak perlu berteriak-teriak agar orang lain berubah, tapi cukup memberi contoh. Bila kita berubah, orang lain tidak perlu disuruh, akan ikut juga.

Keteladanan semakin langka. Rakyat ini harus bersyukur karena akhirnya menemukan presiden yang mau bekerja, turun ke jalan, blusukan, dan memanggul semen. Selama ini, belum pernah ada pemimpin seperti itu. Joko Widodo menjadi kunci Indonesia emas. Bersamanya, Indonesia menyongsong zaman baru: era melayani! Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar