Selasa, 14 Oktober 2014

Bharataindia Vs Bharata WO

                                   Bharataindia Vs Bharata WO

Arswendo Atmowiloto  ;   Seorang Budayawan
KORAN JAKARTA,  10 Oktober 2014

                                                                                                                       


Para pemeran Pandawa dan tokoh lain dari seri Mahabharata didatangkan dari India. Sekali lagi Mahabharata mengisahkan keturunan keluarga Bharata itu sudah lama melegenda di negeri ini terutama lewat wayang kulit atau wayang orang (WO). RA Kosasih pun pernah mengomikkan di pertengahan tahun 50-an. Ini menarik karena ketika itu komik sedang dimusuhi. Dia dianggap kurang mendidik dan membuat anakanak malas belajar. Tokoh ciptaan seperti Sri Asih, Kapten Garuda dinilai terlalu khayali.

Anehnya , ketika kisah wayang Mahabharata yang lebih dalam khayalannya, dipandang memiliki nilai pendidikan, budi pekerti, bahkan mencerminkan kepribadian Indonesia. Mengapa sekarang digemari lagi? Dari segi budaya, peristiwa biasa mengisahkan yang baik dan benar. Kisah Mahabharata atau juga Ramayana sudah mendunia. Akhir abad ke-10, masyarakat Jawa sudah mengenal kisah tersebut. Ada salinan dalam bentuk prosa berbahasa Kawi atau Jawa Kuno. Ada episode- episode seperti pada judul Adi Parwa, Wirata Parwa, atau juga Bisma Parwa. Puncaknya kemudian justru ketika ditulis kembali dalam bentuk kakawin, puisi “gaya” India.

Salah satu lakon kakawin Arjunawiwaha masih sering dikutip. Yang istimewa, dalam penyalinan ini proses kreatif seniman sungguh mengagumkan. Dalam Mahabharata versi Jawa muncul tokoh-tokoh lain yang berperanan sangat besar seperti Punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka mewakili rakyat kecil, abdi, namun sangat berdaulat.

Bahkan, tokoh Semar yang digambarkan secara fisik bukan lelaki atau perempuan mampu mengalahkan semua dewa yang paling sakti hanya dengan kentutnya, baik suara maupun derasnya angin. Dalam mitologi Hindu, kedudukan para dewa tertinggi. Mereka di atas manusia, namun sering dijungkirbalikkan oleh Punaokawan. Demikian juga tokoh-tokoh lain yang dalam kitab “aslinya” tidak ditemukan seperti Butacakil.

“Carangan” Penambahan tokoh atau pengembangan cerita baku (carangan) mempunyai makna dan memberi nilai tersendiri. Dalam wayang, tokoh Butacakil kerap dimunculkan dan selalu kalah. Dia terbunuh oleh kerisnya sendiri. Ada tafsiran tertentu yang menjadi baku sehingga tokoh ini tak bisa dimainkan sembarangan. Dia juga mengilhami, misalnya, tarian dan koreografi “cakil-bambangan” yang bisa muncul tersendiri sebagai pethilan, tanpa ada cerita utuh. Proses budaya, tata nilai, dan tata krama inilah dalam hal tertentu dijungkirbalikkan dalam serial televisi.

Maka, tidak mengherankan tokoh Arjuna yang dalam pengertian lama seorang lelaki lembut, sehingga dalam WO dimainkan perempuan, kini ditampilkan sebagai lelaki gagah, tampan dalam konsep tampilan peragawan dengan perut “six pack”, misalnya. Serentak dengan itu, peran lain bisa memudar atau justru memancar. Kembar Nakula-Sadewa yang tak banyak dibicarakan dalam lakon di sini, menjadi bagian dari tokoh utama. Demikian juga kelak ketika membicarakan Drupadi.

Tokoh ini tidak jelas sebagai poliandris dengan lima suami dalam satu keluarga atau hanya Yudistira. Kalau hanya satu suami, kenapa anaknya dinamai Pancawala (panca: lima). Dengan kata lain juga, jerih payah adiluhung para empu yang mengubah Mahabharata menjadi budaya Indonesia, tiba-tiba kehilangan gema dan makna. Ini bisa dianggap ketinggalan zaman. Barangkali bukan contoh menyenangkan, namun lihatlah nasib grup WO yang kebetulan bernama Bharata, Senen, Jakarta.

Grup ini hanya bisa manggung sepekan sekali. Mereka terengah-engah, walau telah disubsidi. Demikian pula WO Sriwedari, Solo, yang dulu bisa pentas setiap hari. Dalam usia lebih dari 100 tahun terkesan makin tua, tambah merana. Mungkin dan bukan kebetulan, kini istilah WO sedang hangat dan menyengat. Bukan singkatan wayang orang, melainkan walk out, pergi meninggalkan. Dalam sidang para wakil rakyat, di tengah masalah yang menuntut tanggung jawab, Partai Demokrat memilih WO, maka menghilangkan jatah suara untuk Koalisi Indonesia Hebat.

Belum jelas benar, meskipun terbaca jelas, peran partai dan atau ketua umumnya. Kemudian muncul keputusan membuat perppu. Riuh-rendah, bikin gundah, menambah resah agaknya menjadi hobi para elite politik . Mereka bisa menjadi terbiasa membuat rakyat makin susah, sekurangnya ketika kesadaran berdaulat dimiliki dan ketika itu pula terampas. Jadi bagaimana menyikapi semua ini selain menggerutu, memprotes, sebelum melakukan hal-hal yang boleh jadi tak diharapkan bersama. Kemungkinan itu bukan tak ada sama sekali, mengingat para wakil rakyat berbuat seperti halnya Butacakil. Dalam pewayangan, raksasa besisik hanya satu, tapi di DPR ternyata jumlahnya banyak dan merebak. Sementara dalam dunia wayang, masyarakat bisa melihat lebih jelas cara bersikap.

Misalnya, kesuksesan Mahabharata di televisi bukan hanya dengan mendatangkan para pemeran, melainkan juga menjadi bagian “jualan”. Kini ada bentuk reality show yang kira-kira temanya gadis yang bakal terkena panah asmara Arjuna. Maka, peristiwanya mirip pemilihan ratu kecantikan, berbondong- bondonglah para gadis untuk dipilih. Yang terasa janggal, justru para gadis dari Jawa Timur atau pelosok Indonesia ini tampil berbusana perempuan India, lengkap dengan aksesori, tato, atau tindik hidung.

Mereka juga harus hapal makanan kesukaan atau hobi Arjuna agar bisa menjawab bila ditanya. Sampai di sini Arjuna yang dikagumi dalam dunia perwayangan karena berkarakter unggul, berubah menjadi berperilaku pemeran serial. Bisa jadi peserta kontes pemilihan tak mengenal Arjuna sebenarnya. Itu diakui tiga kontestan. Memang mereka tak perlu mengenal Arjuna atau bahkan Dorna sekalipun karena yang penting mengikuti tawaran televisi. Jadi, Mahabharata yang digemari masyarakat sekaran bisa saja bukan yang dikenali orang tua.

Tempat manggung WO Bharata pun belum tentu tahu. Ketika televisi terus bergegas melewati batas geografis, bangsa tak siap, sehingga hanya menjadi penonton. Bangsa malahan lebih buruk dari nenek moyang karena kini hanya bisa menelan mentah-mentah dan menyembah para pemainnya. Ini termasuk lakon model Mahabharata, telenovela, silat, atau K-pop yang makin merajalela. Secara khusus, program televisi pun lebih banyak menjiplak resmi baik ajang mencari bakat, menghibur dengan survei, membuat sinetron, padahal materinya belum tentu ada dalam masyarakat.

Keperkasaan pemeran Arjuna yang akan berada di sini sampai akhir tahun untuk berpromosi dan memilih kandidat yang memenuhi seleranya, menggambarkan kelemahan budaya rakyat. Lemah karena seolah kehilangan arah dan gairah. Padahal, kalau dasar-dasar kreativitas, kemampuan mencipta, rasa-rasanya Indonesia tak bisa diremehkan.

Perlu satu loncatan mental untuk mengubah keadaan sekarang yang menindih dunia kesenian, termasuk bentuk hiburan dan informasi. Loncatan sudah diberi contoh dengan menghadirkan tokoh Semar. Perlu keberanian dan ketekunan berindustri untuk melahirkan kembali Semar, tokoh yang memilih mendulukan kepentingan dan kedaulatan rakyat, bukan kepentingan diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar