Sang
Jenderal Terbang ke Luar Negeri
Teuku
Kemal Fasya ; Antropolog asal Aceh, Mantan aktivis 1998
|
SINAR
HARAPAN, 20 Juni 2014
Tak
banyak orang mengira Jusuf Kalla akan membuat pertanyaan seberani itu dalam
forum debat calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) di Balai
Sarbini, Jakarta, 9 Juni. Pertanyaan “bagaimana
Anda menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di masa lalu?” telah mendorong
publik saat ini untuk berhasrat mengetahui kebenaran seputar masa lalu yang
kelam dan buram itu.
Kisah
yang jarang dieksplorasi saat ini adalah pascaputusan Dewan Kehormatan
Perwira (DKP) ABRI 21 Agustus 1998. Keputusan itu sendiri adalah lanjutan
proses “pelucutan jabatan” Pangkostrad Prabowo oleh Habibie 22 Mei 1998.
Pelucutan
itu didasarkan pada pergerakan ilegal pasukan Kostrad ke Ibu Kota dan
berkonsentrasi ke kediaman pribadi presiden baru itu. Kisah itu diulas
Habibie dalam memoarnya, Detik-detik
yang Menentukan (2006). Meskipun demikian, keputusan DKP lebih pada kasus
penculikan yang melibatkan Prabowo saat menjabat Danjen Kopassus.
Tak lama
setelah itu, Prabowo akhirnya “menghilang”
dari Indonesia dan “terbang” ke
Yordania. Di sana, bertahun-tahun ia mengembangkan bisnis berkat jasa baik
koleganya, Pangeran Abdullah yang kemudian menjadi raja. Pelarian ke luar
negeri tanpa izin itu pula yang akhirnya menyebabkan Prabowo dipecat Habibie
dari kemiliteran berdasarkan SK bertanggal 20 November 1998.
Kisah Fujimori
Kisah
Prabowo ini memiliki kesamaan dengan kisah diktator Peru, Alberto Fujimori.
Seperti dituliskan pengacara kasus HAM Peru, Ronald Gamarra, A Leader Takes Flight: The Indictment of
Alberto Fujimori (dalam Ellen L Lutz dan Caitlin Reiger, 2009).
Peru
adalah negara yang memiliki problem pelanggaran HAM dan korupsi terparah pada
era 1980-2000. Seperti dicatat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Peru, pada
masa itu tercatat 69.280 jiwa menjadi korban kekerasan, penculikan paksa, dan
pembunuhan.
Kekerasan
dipicu kebijakan pemerintah memberlakukan operasi militer demi meredam
pemberontakan maois, The Shining Path.
Kekerasan dan kebrutalan pemberontakan melahirkan reaksi militeristis dari
pemerintah sehingga jatuh banyak korban di kalangan sipil. Sebagian besar
korban adalah masyarakat pedesaan dan berbahasa Quechua, yang
direpresentasikan dengan etnis pemberontak.
Namun,
tindakan peredaman pemberontakan telah berubah menjadi skenario pelanggaran
HAM sistematis oleh negara. Kasus penculikan dan penghilangan paksa, eksekusi
tanpa peradilan, pemerkosaan, dan penyiksaan kerap dialami masyarakat sipil
yang dilakukan aparat militer.
Pemerintahan
Fujimori bukanlah yang pertama melancarkan operasi militer. Ia adalah
pemerintah ketiga setelah rezim Fernando Belaunde (1980-1985) dan Alan Garcia
(1985-1990).
Fujimori
adalah politikus keturunan Jepang yang berlatar belakang sipil. Ia profesor
matematika yang menjadi rektor di Universitas Pertanian Nasional Peru. Ketika
menjadi presiden pada 1990, ia didukung kekuatan minoritas di parlemen.
Meskipun pemerintahan sipil, Fujimori banyak menggunakan kekuatan militer
untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pilihannya
itu seperti dibenarkan publik pada lima tahun pertamanya. Itu karena slogan
populis memberantas terorisme dan penanganan hiperinflasi yang mengaburkan
rasionalitas publik.
Ia pernah melakukan kudeta dirinya sendiri
(1992), melaksanakan pemilu setelah itu (1995) yang dimenangi dengan
kecurangan, melakukan tindakan nondemokratis seperti memengaruhi kewenangan
peradilan, membubarkan Mahkamah Konsitusi, dan membatasi organisasi serta
partai politik.
Namun,
tindakan kerasnya semakin menjauhkannya dari simpati publik dan dukungan
politik internasional. Di tengah gencarnya masyarakat sipil mendesak hukuman
atas Fujimori terkait kejahatan HAM dan korupsi, ia memanfaatkan kesempatan
pertemuan APEC di Brunei, 14 November 2000, untuk terbang ke Jepang. Jepang
akhirnya mengeluarkan status kewarganegaraan bagi Fujimori sehingga ia tak
bisa diekstradisi (Lutz and Reger,
Prosecuting Heads of State, 2009: 96-98).
Lepas Tanggung Jawab
Kasus
Fujimori terjadi dua tahun setelah Prabowo. Beberapa tokoh pelaku pelanggaran
HAM tercatat pernah melarikan diri dari negaranya untuk lepas dari tanggung
jawab. Di Uganda ada Idi Amin yang melarikan diri ke Libya dan memperoleh
suaka politik di Arab Saudi pada 1979.
Presiden
Filipina, Ferdinand Marcos, melarikan diri ke Hawaii, AS pada 1986, beberapa
saat setelah memenangi pemilu yang ditengarai curang. Presiden Tunisia, Zine
al-Abidin ben Ali, melarikan diri ke Arab Saudi pada 2011. Kasus Zine
al-Abidin menandakan awal era demokratisasi Arab (Arab spring).
Jika
Fujimori melakukan tindakan melarikan diri dan menandakan akhir sejarahnya,
Prabowo melakukan itu dan menandakan kelahiran kembali karier politiknya.
Setelah kembali dari pengasingan, Prabowo membentuk Partai Gerindra pada 2008
dan terus mengembangkan potensi politiknya. Pertama, sebagai calon wakil
presiden (cawapres) dalam Pilpres 2009. Kini, sebagai capres pada Pilpres
2014.
Namun,
tetap saja opini tentang keterlibatan kasus pelanggaran HAM dan tindakannya
ke luar negeri telah menjadi pohon besar masalah pada saat ini. Saat ini,
Prabowo tetap tersandera kasus masa lalu, berbeda jika ia tetap di dalam
negeri.
Kita tak
mungkin merekayasa sejarah karena kronologi waktu tak mungkin diputar. Namun,
jika saja ia tetap di dalam negeri, bersikap kesatria, menuntut keadilan,
menghadapi hukum, dan membuktikan ia korban dari skenario institusi militer,
tentu bacaan sejarah akan lain. Ia akan menuai simpati dari publik.
Inilah
yang membedakan bagaimana sejarah akhirnya memberikan nilai berbeda antara
sosok Sumitro Djojohadikusumo dan Muhammad Natsir. Orang yang satu memilih
mengasingkan diri ke Singapura, yang satunya lagi rela dipenjara koleganya
sendiri. Tinta emas sejarah akan tertoreh kepada yang berani dan tak akan
berpihak kepada sang oportunis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar