Reformasi
Ketenagakerjaan
Mudrajad
Kuncoro ; Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM
|
KOMPAS,
06 Juni 2014
BARU
kali ini, 1 Mei 2014, pemerintah menetapkan Hari Buruh Internasional sebagai
hari libur nasional. Meski istimewa bagi buruh, agaknya perjuangan para buruh
dalam memperjuangkan kesejahteraan dan hak-haknya masih jauh dari usai.
Belum lagi dua masalah
besar lain yang perlu dicermati, yaitu pengangguran dan lapangan kerja. Sepuluh
tuntutan buruh perlu menjadi perhatian siapa pun calon presiden RI mendatang.
Saya tertarik
mencermati sepuluh tuntutan para buruh. Buruh menuntut: (1) naikkan upah
minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi komponen standar kebutuhan hidup
layak (KHL) menjadi 84 item; (2) tolak penangguhan upah minimum; (3)
jalankan jaminan pensiun wajib bagi buruh pada Juli 2015; (4) jalankan
jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara cabut Permenkes Nomor 69 Tahun
2013 tentang tarif serta ganti INA-CBG dengan fee for service, audit Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; (5) hapus alih daya (outsourcing), khususnya alih daya di BUMN dan pengangkatan
sebagai pekerja tetap seluruh pekerja alih daya.
Selanjutnya; (6)
sahkan RUU PRT dan Revisi UU Perlindungan TKI Nomor 39 Tahun 2004; (7) cabut
UU Ormas ganti dengan RUU Perkumpulan; (8) angkat pegawai dan guru honorer
menjadi PNS, serta subsidi Rp 1 juta per orang per bulan dari APBN untuk guru
honorer; (9) sediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh;
(10) jalankan wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga
perguruan tinggi.
Daftar tuntutan buruh
tentu masih bisa ditambah. Inti masalah buruh adalah bagaimana meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas buruh Indonesia. Masalah buruh wajib menjadi
agenda bagi pemerintah baru nanti. Memang tingkat pengangguran terbuka di
Indonesia, yang pada Februari 2014 mencapai 5,7 persen, mengalami penurunan
dibandingkan Agustus 2013 sebesar 6,2 persen dan Februari 2013 sebesar 5,8
persen. Namun, data BPS terbaru menunjukkan, (1) sebanyak 81,2 juta orang
(68,7 persen dari total angkatan kerja) bekerja di atas 35 jam per minggu,
sedangkan pekerja tidak penuh dengan jumlah jam kerja kurang dari 35 jam per
minggu meningkat 320.000 orang dan penduduk bekerja dengan jumlah jam kerja
kurang dari 15 jam per minggu mencapai 7,3 juta orang (6,2 persen); (2)
sebanyak 47,5 juta orang (40,2 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 70,7
juta orang (59,8 persen) bekerja pada sektor informal; (3) buruh dengan
jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi, yakni 55,3 juta orang
(46,80 persen), diikuti SMP dan SMA masing-masing 21,1 juta dan 18,91 juta
orang.
Menarik dicatat,
capres Partai Gerindra Prabowo Subianto berempati dengan buruh dan turut
serta dalam perayaan Hari Buruh Internasional di Gelora Bung Karno, Jakarta.
Capres dari PDI-P Joko Widodo mengeluarkan pernyataan, ”Buruh adalah bagian
integral dari warga negara Indonesia dan karena itu adalah wajib untuk
mendukung dan memperjuangkan terwujudnya tiga layak bagi buruh, kerja layak,
upah layak, dan hidup layak.”
Problem pasar kerja
Masalah
ketenagakerjaan dapat dirangkum sebagai hard to hire, hard to fire, and
costly too. Artinya, masalah utama adalah masalah tenaga kerja kontrak dan
alih daya, tingginya uang pesangon, dan meningkatnya upah minimum provinsi
(UMP).
Permasalahan regulasi
ketenagakerjaan dan penetapan kontrak adalah masalah terpenting yang
berkaitan dengan iklim investasi. Studi World Economic Forum (2014) menunjukkan
betapa regulasi ketenagakerjaan dan penetapan kontrak Indonesia tidak
kompetitif dibandingkan negara Asia lain. Salah satu faktor penentu daya
saing adalah efisiensi pasar tenaga kerja di mana Indonesia menempati
peringkat 103 dengan skor 4,0 dengan rentang skala 1-7.
Dibandingkan
Malaysia, Indonesia tertinggal cukup jauh. Malaysia menempati peringkat 25
dengan skor 4,8. Dengan kata lain, pasar tenaga kerja secara internasional
dinilai tak efisien dan tak fleksibel.
Hard to fire muncul karena biaya pemecatan buruh Indonesia jauh lebih
tinggi dibandingkan negara lain. Pasal 156 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mengatur: ”Dalam
hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima”. Para pengusaha mengeluhkan besarnya pesangon yang
harus dibayarkan saat melakukan PHK, yakni sembilan bulan gaji jika pekerja
memiliki masa kerja lebih dari delapan tahun. Uang penghargaan masa kerja
untuk pekerja dengan masa kerja minimal enam tahun ditetapkan minimal tiga
bulan upah. Bahkan, jika sudah bekerja lebih dari 24 tahun, pekerja berhak
atas 10 bulan upah. Akibatnya, perusahaan lebih senang menarik pekerja
kontrak, subkontrak, dan alih daya (outsourcing)
daripada mengaryakan pekerja tetap.
Aturan main tentang
PHK dan pesangon perlu ditinjau ulang. Perlu diperhitungkan dengan saksama
sampai tingkat berapa pesangon yang cukup kompetitif di Asia? Sebagai
pembanding, di Jepang besarnya pesangon hanya 1,5 bulan, Malaysia 2,4 bulan,
3 bulan untuk Tiongkok, serta 2 bulan gaji di India dan Korea. Besarnya
pesangon selama ini menimbulkan disinsentif bagi perusahaan untuk menarik
pekerja baru. Akibatnya penciptaan lapangan kerja baru terus menurun dari
tahun ke tahun.
Aturan main yang
berkaitan dengan perekrutan, khususnya tentang alih daya dan penggunaan
pekerja kontrak, perlu ditegaskan bagaimana rambu-rambu alih daya bagi produk
dan jasa. Selain itu, aturan main bagi pekerja kontrak juga perlu diatur
apakah memang tidak berlaku bagi industri manufaktur. Demikian juga mengenai
pembatasan waktu dan perlindungan bagi pekerja. Singkatnya, prosedur, waktu,
dan biaya pekerja kontrak Indonesia amat urgen untuk dibenahi.
Masalah UMP juga perlu
dicermati. Siapa yang berwenang menentukan upah minimum? Apakah masih dewan
pengupahan dengan unsur tripartit (pemerintah, pengusaha, dan serikat
pekerja) atau cukup bipartit (pengusaha dan serikat pekerja)? Ini penting
karena perusahaan sering bilang, ”Baiklah
saya patuhi UMP, tetapi kalau besok pagi perusahaan tutup karena tidak mampu
memenuhi ketentuan UMP, apakah buruh mau?” Apakah UMP hanya berlaku untuk
pekerja sektor formal ataukah juga informal?
Seberapa besar dan
sering UMP dinaikkan juga harus ditinjau ulang. Penetapan upah minimum
dilakukan berdasarkan nilai KHL dengan mempertimbangkan produktivitas,
pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja, dan usaha yang paling tidak mampu.
Praktiknya lebih bersifat politis karena siapa pemimpin daerah yang dapat menaikkan
UMP secara signifikan pasti didukung buruh dalam pilkada/pemilu. Fakta di
lapangan menunjukkan UMP meningkat 8,2 hingga 19,1 persen selama 2008-2013 di
semua daerah Indonesia. Padahal, porsi biaya tenaga kerja di industri padat
karya mencapai 13,3 hingga 34,5 persen.
Kepentingan pengusaha/investor vs
buruh
Sejalan dengan
meningkatnya UMP, PHK di sektor riil, khususnya industri padat karya, terus
berlangsung. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(2014), jumlah tenaga kerja yang ter-PHK pada 2013 mencapai 10.545 orang atau
meningkat dari tahun sebelumnya (2012) sebesar 7.465 orang. Daerah yang
memiliki tingkat PHK tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten,
masing-masing 3.398, 2.770, dan 1.116 orang pada 2013.
Data ini bisa jadi
tidak mencatat PHK yang tak dilaporkan kepada dinas/kementerian. Tidak
berlebihan jika para pengusaha dan investor merasa bahwa salah satu
permasalahan yang paling dikeluhkan adalah masalah regulasi pasar tenaga
kerja, keterampilan dan produktivitas buruh yang rendah, upah buruh yang tak
lagi kompetitif dibandingkan Tiongkok ataupun Vietnam, pesangon dan
kesejahteraan buruh, meningkatnya kasus sengketa hubungan industrial, dan
kian militannya buruh.
Di sisi lain, para
buruh merasa khawatir jika revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 akan menghapus
pasal-pasal yang selama ini dianggap ”pro
buruh” meski menimbulkan ”tambahan
biaya” di mata pengusaha/investor. Aturan upah minimum
kota/kabupaten/provinsi, misalnya, dinilai masih belum mampu menyamai
kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok mereka sehari-hari.
Kenyataannya
hampir di semua provinsi UMP masih lebih rendah daripada KHL. Apalagi dalam
situasi di mana ketersediaan suplai tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan
permintaan tenaga kerja, posisi tawar buruh amat rendah di mata perusahaan.
Bisa dipahami apabila buruh bersikukuh mempertahankan UU ini.
Dengan pertumbuhan
ekonomi rata-rata hanya 4,5 persen selama 2000-2005 dan 5-6 persen selama
2006-2013, PDB Indonesia tidak mampu menyerap angkatan kerja baru 2-2,5
persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang cenderung jobless
growth, didominasi pola consumption driven, dan terkonsentrasi secara
geografis ke Jawa dan Sumatera. Jumlah angkatan kerja pada Februari 2014
bertambah 5,2 juta orang dibandingkan Agustus 2013 dan bertambah 1,7 juta
orang dibandingkan Februari 2013.
Jumlah pekerja di
sektor formal mengalami penurunan sejak tahun 2000 karena penciptaan lapangan
kerja sektor formal relatif stagnan. Meski investasi meningkat, penyerapan
dan elastisitas tenaga kerja relatif menurun. Penciptaan tenaga kerja hanya
bersumber dari sektor informal yang kebanyakan mengandalkan tenaga kerja
tidak terampil yang low skill, low paid, dan tanpa proteksi sosial.
Dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah SBY sudah digariskan bahwa perbaikan
iklim ketenagakerjaan merupakan bagian dari agenda meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Dengan kata lain, penyempurnaan peraturan dan kebijakan
ketenagakerjaan harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh,
tetapi tetap ”seksi” di mata investor untuk melakukan investasi dan
menciptakan lapangan kerja baru. Namun, sayangnya hingga kini revisi UU
Ketenagakerjaan belum dilakukan.
Nah, tampaknya para
pekerja dan rakyat menanti apa yang ditawarkan para capres untuk mengubah
iklim ketenagakerjaan yang tidak hanya mampu menyejahterakan buruh, tetapi
juga tetap menarik bagi pengusaha/investor untuk menciptakan lapangan
pekerjaan. Dapatkah buruh memperoleh kerja layak, upah layak, dan hidup
layak, sementara perusahaan tetap tumbuh dan berkelanjutan? Semoga decent work bisa seiring
dengan sustainable enterprises.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar