Menunggu
Presiden Asketis
Indra
Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS,
05 Juni 2014
SERING
politik tak lebih dari teater, termasuk pilpres. Casting sudah ditentukan. Panggung sudah disiapkan. Semua sibuk
bekerja, termasuk tim pemenangan presiden, para botoh material/politik,
panitia, dan makelar. Apakah yang terpilih nanti adalah presiden berkarakter
asketis dan memiliki otentisitas diri yang
terpancar dalam konsistensi kata ataupun tindakan? Atau justru
presiden bermental hedonis yang memahami kekuasaan hanya sebagai alat untuk
meraih kamukten, kelimpahan material?
Presiden
bukan sekadar manajer kekuasaan. Ia juga kesatria konstitusi yang berjiwa brahmana,
resi, atau basah kuyup nilai-nilai profetik. Presiden bertanggung jawab
secara etik dan moral membebaskan rakyat dari kemiskinan material dan
kultural sekaligus meninggikan eksistensi rakyat menjadi bermartabat.
Rakyat
tak tahu apa sesungguhnya yang terjadi di bilik koalisi pencapresan atas
tokoh terpilih. Negosiasi? Transaksi? Kompromi? Apakah nasib rakyat ikut
diperhitungkan sebagai pemilik terbesar saham di republik ini? Apakah dengan
kompromi itu kekuasaan harus dikapling- kapling untuk para pemenang dan
pendukungnya? Jika ini yang terjadi, bukankah para elite politik yang berlaga
dalam pilpres tak lebih dari para pemburu kekuasaan? Lalu rakyat mendapat
apa? Sekadar remah-remah makanan yang tersisa dalam pesta?
Populis dan primordial
Isu populisme
dan nasionalisme selalu menjadi komoditas dominan dalam ”menjual” pasangan capres-cawapres ke
publik. Sebagai bumbu penyedapnya adalah primordialisme: agama dan suku.
Rakyat tahu isu primordialisme tak lebih dari trik politik lawas demi
mengeksploitasi sentimentalitas publik.
Rakyat
sudah capek menderita, masihkah para elite politik tega ”membenturkan” rakyat
pada tembok primordialisme yang sangat mungkin memicu konflik horizontal?
Konflik primordial hanya akan mengoyak-oyak peradaban yang sudah dibangun
dengan susah payah.
Rakyat
pun sedih jika populisme dan nasionalisme hanya jadi gincu yang
dikapitalisasi dan dieksploitasi demi kepentingan politik. Ini selalu terjadi
dalam setiap pemilu dari orde ke orde dan dari rezim ke rezim. Mereka lebih
suka memperkuat elitisme dan memberi jalan lapang bagi kekuatan
ekonomi-politik asing. Bukan negara kesejahteraan yang dibangun, melainkan
”negara penderitaan” bagi rakyat.
Bagi
kelompok elite politik dan ekonomi, negara tak lebih dari ”kantor perusahaan”
untuk merencanakan, mengorganisasi, dan melaksanakan pemburuan fee, rente,
demi menggelembungkan deposito kekayaan mereka.
Wajar
jika pengalaman sangat pahit itu melahirkan kepahitan: rakyat sulit menemukan
penyelenggara negara berkapasitas pemimpin atau negarawan. Yang ada tak lebih
dari pribadi-pribadi yang layak disebut aktor-aktor perniagaan politik
ataupun kekuasaan. Mereka bekerja nyaris tanpa passion pengabdian dan
pelayanan. Mereka tak lebih dari pribadi-pribadi yang ”kikir” untuk peduli
meski setiap hari bermain retorika soal nasib rakyat.
Kekuasaan asketis
Budayawan
dan sejarawan Kuntowijoyo memberikan
tamsil yang bagus atas sistem kekuasaan dalam lakon teater Topeng Kayu. Dalam naskah yang
memenangi kejuaraan lomba penulisan naskah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada
1970-an ini, dikisahkan tentang tokoh-tokoh yang berhasil membangun sistem
kekuasaan (orde), tetapi akhirnya tak mampu mengendalikannya. Kekuasaan
berjalan tanpa kontrol dan melindas nilai-nilai kemanusiaan.
Indonesia
ke depan berpotensi memasuki ”rezim
topeng kayu”. Pada awalnya para pelaku kekuasaan itu (mungkin) berniat
baik untuk membangun Indonesia yang lebih berbudaya dan bermartabat. Namun,
jalan kekuasaan bukan jalan lurus dan mulus. Selalu ada tikungan. Di balik
tikungan itu ada hedonisme yang menggoda hasrat berkuasa.
Hedonisme
adalah ”ideologi” jagat daging (biologis). Adapun keinginan untuk meneguhkan
kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah dorongan roh yang selalu terhubung
dengan Tuhan. Hanya jiwa sehat, teguh, dan asketis yang mampu memenangi
pertempuran besar antara kemuliaan roh dan kedangkalan daging. Asketisme
selalu jadi jalan kemuliaan manusia untuk menemukan dirinya yang otentik.
Berkali-kali
rakyat telah merasakan kepahitan rezim yang dipimpin hedonisme yang ditandai
dengan maraknya korupsi, baik secara material maupun nilai-nilai. Kini,
rakyat membutuhkan presiden yang asketis dan otentik.
Asketisme biasa diwujudkan sistem kekuasaan yang lebih mengutamakan
nilai-nilai kebudayaan dan peradaban di mana hukum menjadi panglima dalam
membangun kebudayaan dan peradaban. Terjadilah aktualisasi nilai, etika, moral, dan penguatan etos yang mendorong
tumbuhnya bangsa produsen, bukan bangsa konsumen seperti yang terjadi selama
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar