Minggu, 01 Juni 2014

Predikat Swasembada

Predikat Swasembada

Sjamsoe’oed Sadjad  ;   Guru Besar Emeritus Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
KOMPAS,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SIFAT sembada bagi orang Jawa memang sangat unggul. Orangtua sangat berharap anak-anaknya bersikap sembada kalau nantinya menjadi orang. Apalagi kalau predikat itu dicapai tanpa bantuan orangtua. Jadilah dia swasembada dalam kehidupannya.

Predikat berswasembada tentu tidak bisa 100 persen dimiliki di zaman modern, karena segala segi kehidupan harus dijalani dengan sistem transaksional. Perlu makan dengan sedikit kecap di nasi saja, kecapnya baru diperoleh melalui proses transaksional. Tidak perlu susah payah berpredikat swasembada untuk membuat kecap sendiri.

Sistem transaksional dijalani karena orang mempunyai sarana. Sarana itu berwujud uang. Oleh karena itu, orang harus bekerja untuk mendapatkan uang. Tidak perlu menanam kedelai untuk bisa menikmati kecap dalam menu makan.

Predikat swasembada juga menjadi kebanggaan suatu negara, sehingga dari zaman kolonial predikat swasembada pangan untuk seluruh bangsa selalu diupayakan.

Gerakan masyarakat untuk berswasembada pangan yang diawali oleh swasembada beras lebih bergaung dominan di zaman merdeka, lebih-lebih di era pemerintahan Orde Baru.

Dulu diperhatikan

Pada masa itu, petani menjadi obyek bimbingan pemerintah untuk menopang suksesnya program swasembada pangan pemerintah. Bahkan, bukan hanya berswasembada, pemerintah menargetkan produksi lebih dari 10 juta ton beras sehingga bisa diekspor.

Namun, kenyataannya, petani kurang bersemangat menanam kedelai, impor kedelai melonjak, devisa banyak terkuras. Pemerintah lupa untuk mengatur harga dasar pembelian yang bisa menggairahkan petani. Akibatnya petani produsen bahan pangan selalu dirugikan dan akhirnya sektor pertanian menjadi ”gudangnya” rakyat miskin.

Betapa nelangsa manusia seperti saya ini, yang umurnya berjalan menuju angka kepala sembilan dan separuh umur saya diabdikan untuk ilmu pertanian. Namun, saya masih melihat kemiskinan bangsa yang belum beranjak menjadi lebih cerah.
Bahkan, petani padi yang telah meningkatkan produktivitas dari 2-3 ton per hektar menjadi 5-6 ton pun masih belum bisa melepaskan diri dari garis kemiskinan. Apalagi kalau garis itu berada pada penghasilan dua dollar AS sehari.
Sampai-sampai saya melontarkan pertanyaan kepada seorang mahasiswa kandidat program doktor yang atas rekomendasi promotornya menemui saya, apa benar (baca: tidak keliru) target swasembada itu diprogramkan pemerintah sampai saat ini, kalau kenyataannya upaya petani meningkatkan produksi tidak bisa menyejahterakan dan petani tetap miskin.

Pertanyaan saya ini saya mintakan kepada kandidat doktor itu untuk dijadikan salah satu hipotesis dalam karya penulisan disertasinya.

Sayang sekali saya tidak bisa mengikuti kelanjutan perkembangannya, karena selang dua-tiga hari berikutnya saya mendapatkan informasi bahwa rekan saya yang saya kenal baik, promotor kandidat doktor itu mendadak meninggal. Saya hanya bisa berharap mudah-mudahan promotor penggantinya masih peduli juga pada swasembada pangan.

Entaskan petani

Dunia pedesaan dan pertanian yang semestinya positif menunjang keberhasilan swasembada pangan, mestinya juga bisa mengentaskan para petani dari kemiskinan. Kita bangga dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi apa faedahnya kalau pertumbuhan itu tidak membawa kesejahteraan bagi kaum petani dan pedesaan.

Sistem transaksional di era liberal berpasar bebas dicemari oleh penggunaan sistem ini untuk tindakan negatif, seperti transaksional dalam proses pemilu atau pemilu kepala daerah, sehingga konotasinya menjadi negatif di masyarakat.
Padahal, kalau sistem transaksional tidak menjadi negatif, dan diterapkan di kalangan petani secara positif, sistem itu bisa membawa petani ke medan keekonomian yang berdaya sangat tinggi.

Bisa melahirkan aset perekonomian kreatif yang nyata bisa melahirkan nilai tambah besar, dan akhirnya bisa mengentaskannya dari kemiskinan.
Petani menjadi mandiri dan tidak perlu selalu mengharapkan pemerintah mengeluarkan keputusan penetapan harga pembelian minimum.

Bagaimana kalau kita ubah, berpikir dari hilir dan tidak selalu dari hulu? Misalnya, dari pembangunan industri desa yang ada kaitannya dengan perubahan pola makan kita.

Bagaimana kalau industri kreatif kita manfaatkan untuk mengubah konstraksi pola makan nasi plus lauk-pauk menjadi sebungkus kudapan yang tinggi nilai gizinya?
Berpikir hilirisasi dalam melahirkan ekonomi kreativitas pedesaan industrial bisa menghilangkan budaya petani tradisional yang nerimo ing pandum, karena sistem transaksional sudah bisa merasuk ke dalam penalaran masyarakat termasuk petani dan masyarakat desa. Sudah saatnya kita mengubah siasat dalam pembangunan swasembada pangan. Semoga tulisan ini bisa menimbulkan aspirasi bagi kalangan yang lebih luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar