Sabtu, 14 Juni 2014

Pengalaman Menutup Lokalisasi Nguwok, Lamongan

Pengalaman Menutup Lokalisasi Nguwok, Lamongan

HR Mohammad Faried  ;   Bupati Lamongan Periode 1989-2000
JAWA POS,  11 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
RENCANA Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menutup lokalisasi Dolly perlu diapresiasi. Ini untuk membuat kesan bahwa Surabaya bukan lagi kota pusat lokalisasi PSK terbesar di Asia Tenggara. Namun, yang perlu diingat, jangan sampai penutupan lokalisasi hanya akan mengalihkan masalah.

Ketika wali kota Surabaya ”mengekspor” mucikari dengan PSK-nya ke daerah lain, seakan-akan masalah lokalisasi di Surabaya bisa diselesaikan. Namun, untuk daerah lain hal itu menjadi masalah baru. Sebab, tidak tertutup kemungkinan hal itu akan menimbulkan mutasi mucikari dan PSK secara besar-besaran .

Ada pengalaman menarik yang terjadi kurang lebih 21 tahun lalu, ketika Pemerintah Kabupaten Lamongan menutup lokalisasi Nguwok, Kecamatan Modo, Lamongan. Tepatnya pada 31 Desember 1993. Penutupan itu dideklarasikan oleh ketua Peguyuban Mucikari Lokalisasi Nguwok itu sendiri.

Memang prosesnya tidaklah sederhana. Namun, dengan konsep yang tepat dan dengan bekerja sama semua elemen pemerintahan, LSM dan tokoh-tokoh agama, penutupan lokalisasi prostitusi di Lamongan dapat berjalan tanpa menimbulkan masalah sosial maupun masalah ekonomi di lingkungan setempat. Fokus perhatian Pemerintah Daerah Lamongan ketika itu ditujukan kepada mucikarinya. Berbagai pendekatan agama, kemasyarakatan, dan ekonomi dilakukan dengan cermat.

Masalah ekonomi diakui pemerintah sebagai hal yang paling krusial karena para mucikari mayoritas tidak berpendidikan. Awalnya di antara mereka ada yang menjadi petani, pedagang, dan sebagainya. Dari hasil pendekatan intensif pemkab dan jajarannya, akhirnya timbul niat alih profesi. Kemudian, dilakukan inventarisasi keinginan para mucikari yang saat itu berjumlah 62 orang. Ada beberapa jenis usaha yang ingin dilakukan, antara lain membuka usaha toko, rumah makan, penggilingan padi, dan servis motor. Ada pula yang ingin kembali ke usaha pertanian.

Setelah inventarisasi keinginan para mucikari, dilakukan pelatihan oleh pihak-pihak yang ahli di bidangnya. Yang tidak diduga sebelumnya adalah muncul keinginan mucikari untuk menjual aset miliknya, yakni kompleks lokalisasi, kepada bupati Lamongan. Hasil penjualan kompleks tersebut akan digunakan sebagai modal usaha.

Keinginan mucikari itu disetujui bupati atas persetujuan DPRD Lamongan dengan beberapa syarat. Pertama, uang ganti rugi tersebut haram digunakan untuk membuka usaha prostitusi di tempat lain. Kedua, pemkab memberikan bimbingan dan pendampingan dalam mewujudkan alih profesi sesuai keinginan para mucikari. Ketiga, pengurus peguyuban mucikari wajib menutup sendiri kompleks lokalisasi tersebut.

Atas kesepakatan itu, proses penutupan lokalisasi pun dimulai. Namun, syarat terakhir yang diminta Pemda Lamongan di atas hampir menggagalkan proses penutupan yang sudah berjalan tiga tahun sebelumnya (1990-1993). Begitu kuat hambatan yang harus dihadapi para mucikari karena mereka harus berhadapan dengan jaringan yang begitu luas.

Setelah lokalisasi ditutup, pekerjaan Pemkab Lamongan belum selesai. Di samping memberikan bimbingan dan pendampingan kepada para mucikari untuk beralih profesi, ada dampak lingkungan yang masih menjadi pekerjaan rumah. Selain terhadap PSK-nya sendiri, masyarakat yang biasanya memperoleh manfaat dari lokalisasi perlu mendapat perhatian. Pemilik warung, toko, hingga penjual jamu akhirnya menganggur setelah lokalisasi itu ditutup.

Pemkab Lamongan kemudian menjadikan lokalisasi tersebut sebagai pasar hewan yang cukup potensial. Bahkan, pasar hewan ini dapat menyuplai sapi ke Jakarta dan kota-kota besar lain, kurang lebih 1.000 ekor setiap tahun.

Problem yang belum tuntas adalah membina PSK. Sebab, para PSK tersebut kemudian menyebar dan dikelola oleh mucikari di daerah lain. Dari pengalaman ini dapat dikatakan bahwa menutup lokalisasi itu relatif lebih mudah sepanjang pemerintah mampu berinteraksi dengan para mucikari di tempat tersebut. Yang sulit adalah memberikan kebijakan kepada para mucikari dan PSK serta masyarakat di sekitar lokalisasi.

Karena itu, tidak tertutup kemungkinan ketika Dolly di Surabaya berhasil ditutup, Dolly-Dolly di kota lain akan tumbuh subur. Sebab, mucikari-mucikari di daerah lain tetap membuka pintu bagi para PSK.

Namun, kita semua tidak boleh berkecil hati. Bila seluruh jajaran pemerintah, tokoh-tokoh agama, dan praktisi-praktisi LSM bersatu padu menyelesaikan masalah ini, bukan tidak mungkin kegiatan prostitusi di Indonesia tercinta ini akan habis. Sekurang-kurangnya akan terjadi pengurangan secara besar-besaran, karena memang akibat buruk prostitusi jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar