Pelajaran
dari Tehran dan New Jersey
J
Susanto ; Pengajar FISIP Universitas Airlangga,
Ketua pemangku
Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair
|
JAWA
POS, 11 Juni 2014
MEMASUKI
kuartal kedua 2005, Ahmadinejad belum genap dua tahun menjabat wali kota
Teheran ketika maju menjadi calon presiden kelompok konservatif dalam
pemilihan presiden Iran. Padahal, menurut sumpahnya, Ahmadinejad masih harus
menjabat wali kota Teheran untuk beberapa tahun lagi.
Jauh
sebelum itu, Wodrow Wilson –satu di antara sedikit presiden Amerika Serikat
yang dihormati pendiri bangsa kita– menjabat gubernur New Jersey, bahkan
dalam waktu yang lebih pendek. Ketika itu, 98 tahun silam, Woodrow Wilson
juga maju menjadi calon presiden AS dari Partai Demokrat dengan masa bakti
gubernur yang singkat.
Menariknya,
bangsa Iran maupun rakyat Negeri Paman Sam tidak begitu mempermasalahkan
mantan wali kota dan mantan gubernur tersebut. Tidak santer terdengar upaya
warga Teheran untuk membawa Ahmadinejad ke pengadilan karena itu. Tidak juga
tercatat isu yang menyudutkan Woodrow Wilson dengan tuduhan lari dari
tanggung jawab dalam pemilu tersebut. Rakyat Iran tetap memilih Ahmadinejad.
Demikian pula rakyat AS tetap memilih Wilson.
Mengapa
warga Teheran dan New Jersey dapat merelakan keduanya menjadi kepala negara
Mengapa orang yang tengah mengemban mandat kepemimpinan suatu wilayah
dibenarkan maju dalam kontestasi kepemimpinan nasional Apa yang membuatnya
berbeda dengan ’’lari dari tanggung jawab’’ pada umumnya
Pertarungan Dua Mantra
Belajar
dari pengalaman Iran dan AS itu, kita diingatkan oleh pertarungan dua mantra
kontrak sosial versus kehendak umum. Pertama, kontrak sosial yang berarti
kekuasaan sebagai fungsi kesepakatan pemerintah dan warga. Kedua, kehendak
umum yang berarti kekuasaan sebagai fungsi kepentingan kolektif haruslah di
atas kepentingan privat, kelompok, dan kepentingan lokal. Dalam bahasa
masyarakat Indonesia, kepentingan yang lebih besar harus mengalahkan
kepentingan yang lebih kecil. Kepentingan nasional harus di atas kepentingan
lokal atau daerah.
Politisi
dan teoretisi politik di dunia mengenal dua mantra itu. Tetapi, boleh jadi
tidak manakala pengupayaan serentak atas keduanya tidak mungkin dicapai.
Namun, kebesaran hati warga Teheran dan New Jersey dalam kasus Ahmadinejad
dan Wodroow Wilson sedikit mengurai kerumitan ini.
Saya pun
percaya, warga Teheran maupun New Jersey awalnya berharap dua pemimpin yang
telah mengikat sumpah itu menyelesaikan masa baktinya. Bagi mereka, tuntasnya
masa jabatan merupakan kontrak sosial yang penting.
Tetapi,
masyarakat Iran berpikir lebih luas. Terpikat oleh kesederhanaan, kelugasan,
dan fokus Ahmadinejad dalam memimpin Kota Teheran, rakyat Iran yang bosan
dengan sikap serbatanggung kepemimpinan sebelumnya justru mendorong Wali Kota
Ahmadinejad maju dalam kontestasi kepresidenan.
Hal yang
mungkin serupa ditunjukkan rakyat AS. Meskipun menyukai gaya heroik Theodore
Roosevelt, mereka menyambut pencalonan Woodrow Wilson yang tenang, tapi tegas
dan tanpa kompromi terhadap monopoli serta lebih mengutamakan kepentingan
umum dalam program-program reformasi ekonomi.
Pada
titik ini, pelajaran penting terkait dengan hierarki prioritas dalam
demokrasi mengemuka. Yakni, dalam situasi pemimpin populer terikat kontrak
sosial di tingkat yang lebih rendah, penentunya adalah kehendak umum yang
lebih tinggi.
Persoalannya,
kehendak umum lebih tinggi yang otoritatif dalam praktiknya tidak tersedia
sebelum pemilihan nasional menentukannya. Lantas, bagaimana promosi seseorang
yang masih terikat kontrak sosial lebih rendah dalam kontestasi kepemimpinan
yang lebih tinggi menemukan dasarnya
Banyak
pihak yang menyuarakan perlunya hasil nyata sebagai prasyarat bagi kelayakannya.
Tetapi, dalam politik, soal hasil itu sering persepsional, sedangkan arti
pentingnya sering bersifat instrumental. Artinya, kinerja di tingkat lokal
dalam beberapa situasi cukup berperan sebagai instrumen untuk melihat apakah
seseorang layak mendapat tugas yang lebih besar atau tidak.
Dengan
kata lain, begitu serangkaian kinerja awal telah meyakinkan publik akan
konsistensi keberpihakan dan kecukupan kualitas pribadinya dalam kaitan
aspirasi dan kebutuhan yang lebih tinggi, kontestasinya dalam bursa
kepemimpinan yang lebih tinggi bukan barang haram dalam demokrasi. Secara
teoretis, itu merupakan bagian dari sistem promosi demokrasi. Sejumlah
pemimpin berkualitas didorong menjawab tantangan yang lebih tinggi. Sementara
itu, tanggung jawab yang ditinggalkannya diharapkan dapat membuka peluang
bagi regenerasi baru yang lebih segar.
Tetapi,
lebih dari sekadar promosi demokrasi, sebuah panggilan umum terkait dengan
sesuatu yang lebih besar dan mengatasi kepentingan-kepentingan kelompok suatu
negeri, tampaknya, operatif dalam penentuan dasar etis ini.
Fokus Panggilan Besar
Belajar
dari pengalaman Teheran dan New Jersey, dasar rekontestasi itu secara etis
tersedia melalui bertemunya persepsi umum terkait dengan kebutuhan nasional
dengan kualitas kepemimpinan seseorang dalam kaitannya. Hukum etis pertemuan
itu berlaku universal. Tidak memandang apakah yang bersangkutan adalah
seorang pemimpin partai politik, pengangguran, atau kepala daerah yang tengah
menjabat. Dalam hukum etis pertemuan ini pula Ahmadinejad dan Wilson
memperoleh promosi awal untuk memimpin di tingkat nasional.
Dalam
kaitan itu, promosi seseorang yang terikat kontrak sosial tidak selalu
berarti pengkhianatan dalam demokrasi. Sebaliknya, dalam situasi yang
memenuhi ’’panggilan besar’’, promosi
seorang pejabat publik ke jenjang yang lebih tinggi merupakan bagian dari
etis ijtihad kelompok dalam khidmat publik yang lebih tinggi.
Kendati
memuat elemen-elemen dasar yang khas, sistem politik kita tidak bekerja di
luar nalar umum sistem politik modern ini. Jika di banyak negara kontrak
sosial dari unit politik lebih rendah dapat menghormati upaya-upaya untuk
menjawab kehendak umum yang lebih besar, begitu pula seyogianya sistem
politik kita.
Seperti
halnya Teheran dan New Jersey yang masih menjadi bagian dari Iran dan AS,
Jakarta masih menjadi bagian dari Indonesia. Karena itu, upaya gubernur DKI
Jakarta untuk maju berkontestasi demi memenuhi kehendak umum rakyat Indonesia
tidak seyogianya dipertentangkan dengan kewajibannya memenuhi kehendak umum
warga Jakarta.
Memang,
kepatutan promosi vertikal yang berkhidmat panggilan besar membutuhkan ’’prasyarat antara’’. Yakni, di satu
sisi harus steril dari ambisi pribadi dan avonturisme kelompok serta di sisi
lain harus relevan dengan kebutuhan paling krusial bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar