Minggu, 15 Juni 2014

Opera “Zaman Edan”

Opera “Zaman Edan”

Sardono W Kusumo  ;   Penari, Koreografer
KOMPAS,  15 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Panggung kampanye digelar dan tontonan pun dimulai, apa boleh buat lakon kali ini adalah sebuah opera sabun, karena masyarakat Indonesia terkondisikan menonton televisi secara berlebihan. Tanpa sadar bukan hanya pemain sinetron yang banyak tampil di televisi, tetapi juga para politisi. Politisi memenuhi semua syarat untuk menjadi pemeran opera sabun dalam format acara televisi Indonesia.

Sebuah citra gaya hidup yang pelan tapi pasti menggelembung secara hiperbolik, dimanipulasikan menjadi pencapaian ”the Indonesian Dream” wakil rakyat di Senayan yang tadinya hanya penonton sinetron, mulai terlatih mencuri akting di depan kamera pers, dengan gaya hidup ”Soap Opera Bollywood” dan telenovela Amerika Latin. Sebagai wakil rakyat Indonesia yang sebagian besar miskin, mereka justru pamer gaya hidup hedonis pamer mobil, pakaian branded, skandal seks, dan seolah kebal hukum dan tebal muka. ”Pokoknya” harus jadi berita penting yang terus hadir di layar kaca.

Produser televisi terus-menerus menciptakan talkshow yang memamerkan ”kebugilan” perilaku hedonistik ini. Apa boleh buat semua harus dilihat oleh massa rakyat, apa boleh buat anak-anak rakyat telah terdidik bertahun-tahun melihat televisi tentang karakter yang telah menggantikan karakter yang ada di kehidupan nyata dengan karakter yang dibentuk dalam hiperbola reality show itu.

Kenyataan hidup telah digantikan kenyataan opera sabun. Hidup secara ironis meniru citra kenyataan semu di televisi. Wakil rakyat itu tidak mewakili rakyat; bertahun tahun, inilah realita kehidupan budaya Indonesia. Kondisi telah matang untuk terjadinya sebuah tragedi besar. Tragedi seperti pada opera sabun, hidup dilihat secara hitam putih antara teman dan musuh, kebenaran dimonopoli oleh satu kelompok sendiri. Hidup yang sesungguhnya kompleks dimiskinkan dengan pandangan pada perebutan kekuasaan politik, yang sesungguhnya merupakan agenda jangka pendek dalam proses membudaya masyarakat Indonesia yang menjadi terbelah. Mungkin kesimpulan ini juga sebuah hiperbola juga. Pasti masih banyak politisi yang berakal sehat.

Hitam putih

Hitam putih kebenaran mutlak dan kesalahan mutlak. Pintar dan bodoh tapi tunggu, Gramsci mengingatkan ada dua jenis intelektual yang berfungsi di masyarakat, dan dua-duanya diperlukan.

Intelektual tradisional adalah milik mereka yang mengasah kecerdasannya dalam academic study, mereka adalah ilmuwan di laboratorium, ruang kuliah, dan perpustakaan.

Intelektual organik adalah milik mereka yang mengasah kecerdasan dengan terlibat langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka juga berilmu dalam paham praksis di panggung politik Indonesia saat ini.

Dua pihak ini menajam identitasnya, keterbelahan Indonesia nyata dalam dua identitas yang dengan sadar mereka bangun.

Dalam lakon klasik Jawa ada dua tipe raja.

1. Raja Sinatria ini raja bersifat panglima perang, yang tegas karena disiplin sektoral dan linier, pragmatis problem solving oriented. Tapi sering kurang memahami kompleksitas hidup.

2. Raja Pinandita berorientasi alam dan pedesaan, cultural leader yang meletakkan humanisme sebagai hal terpenting. Mengalir dalam proses membudaya dalam kebersamaan, memahami budaya sebagai proses yang kompleks. Tipe pimpinan ini menjadi pamong stake holder yang beragam dengan persoalannya yang sangat kompleks. Mengandalkan sistem manajemen yang akomodatif dan mengundang partisipasi dan desentralisasi wewenang. Ini tipe intelektual organik. Menerapkan manajemen ”Zero Centre”. Pribadi pemimpin tidak harus dominan atau bukan individu yang ekspresif.

Dari lakon klasik Jepang kita mengenal kelas samurai, para satria yang setia mati pada seorang raja ataupun adipati. Tapi ada juga para ronin atau samurai liar yang tak punya tuan. Karena kerajaan bubar atau rajanya kalah. Para ronin ini bisa kita jumpai di Indonesia sebagai para politisi yang partainya kalah atau bubar yang kemudian harus jadi bajing loncat agar tetap eksis. Mereka menjadi kaum oportunis yang tak punya prinsip dan ideologi politis serta pragmatis. Keadaan yang terjepit membikin mereka sangat agresif dan sering menjadi pembunuh karakter lawan-lawan politik tuan barunya.

Para politisi oportunis di lakon Tiongkok muncul dalam bentuk klan para kasim. Para kasim ini pejabat yang tadinya pelayan di istana para istri dan gundik kaisar. Tetapi karena pengaruh para istri ini sangat besar pada raja, maka para kasim ini bisa menitipkan program politiknya lewat para istri kaisar dan gundik para pangeran. Bahkan para jenderal militer kalah dan terpaksa melaksanakan agenda para kasim.

Di sini orang harus ekstra waspada pada jebakan koalisi dengan para oportunis politisi. Bisa saja dalam perjalanan koalisi besar dan para politisi akan berakhir dengan perjalanan sunyi karena koalisinya berantakan terlindas agenda kepentingan kekuasaan dan korupsi mental koalisi besarnya. Apalagi koalisinya bersifat transaksional.

Sekitar 200 tahun lalu pujangga Ronggowarsito dari Keraton Surakarta menulis tentang datangnya zaman edan. Diawali dengan kalimat yang sangat ironis: Padahal rajanya raja yang baik budi, menteri-menterinya cerdik pandai, aturan tertib. Tapi kesejahteraan tak kunjung hadir di tengah masyarakat ini, karena tak ada disiplin dan etika sosial. Mengalami zaman edan kalau tak ikut edan tak akan kebagian keuntungan; semua anarkis dan semaunya sendiri hukum tak berlaku. Para wakil rakyat malah merampok rakyat, para politisi dengan ketajaman lidah setajam samurai saling membantai karakter lawannya dalam musyawarah yang seharusnya beradab dan berasas manfaat (talkshow TV) ditiru geng motor saling bantai di atas kuda besi di jalanan.

Puisi zaman edan ini ditutup kalimat: ”Wahai ingatlah sebesar apa pun keuntungan karena kelicikan, masih akan lebih beruntung mereka yang ingat merawat kewaspadaan batinnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar