Bahaya
Homo Lupus
Jean
Couteau ; Penulis
Kolom “Udar Rasa” di Kompas
|
KOMPAS,
15 Juni 2014
Aku
pasti dicap gendeng, aka ”tak waras”
berbicara dengan serius tentang serigala-serigala. Apalagi serigala-serigala
yang keluar dari hutan untuk memangsa domba dan bahkan manusia. Tetapi,
gendeng atau tidak, memanglah demikian keadaannya, menakutkan untuk didengar.
Kata
surat kabar Le Monde, di seluruh
Eropa, predator yang terkenal liar dan haus darah ini tercatat keluar dari
hutan-hutan Pegunungan Alpen dan Karpathes tempat ia telah bersembunyi selama
puluhan tahun dan mengancam domba dan usaha-usaha peternakan. Benar-benar
mencekam. Jumlah ternak yang menjadi korban dari binatang yang bernama resmi
canis lupus ini tak terhitung banyaknya, apalagi kini sudah terbukti bahwa
pada ”masa kawinnya” menjelang musim dingin, para canis lupus jantan muda itu
meninggalkan rombongan aslinya untuk membuka permukiman baru, kadang lebih
dari 200 kilometer dari tempat semula. Jadi bahaya serigala kini membayangi
seluruh daratan rendah Eropa.
Namun,
kini telah terlihat bahaya baru. Di samping canis lupus muncullah predator
baru, homo lupus. Homo lupus yang politikus: setelah menghilang selama
puluhan tahun dari peta politik Eropa, partai-partai predator ekstrem kanan
telah menjadi partai pemenang utama pemilihan umum yang baru-baru ini
diselenggarakan untuk mengisi kursi wakil-wakil rakyat di Parlemen Eropa. Diduga
selama ini bahwa lupus-lupus pengikut Hitler dan Mussolini mandul dan mati
tanpa keturunan. Ini salah.
Menyalak-nyalak
di rapat umum, atau mengaung-aung siang-malam di tempat persembunyiannya,
mereka kini sudah hadir di mana-mana hingga ke mimbar TV, yang bahkan kerap
dikuasainya. Benar-benar menakutkan! Apakah bernama United Kingdom
Independent Party (UKIP) di Inggris atau National Front (FN) di Perancis,
apakah menyalaki orang imigran asing di Denmark, Belanda, atau bahkan di
Finlandia yang jauh di Utara sana, di mana pun kini berada, homo lupus itu
menyeringai mengancam.
Setelah
Perang Dunia Kedua, terdapat semacam keyakinan bahwa terbit masa yang lebih
cerah untuk manusia. Aneka lembaga internasional, PBB, UNESCO, ILO, WTO, LSM
internasional, dan lain-lain, didirikan sebagai sarana ”tawar-menawar”
pengganti perang. Apabila blok Barat dan Timur (Komunis) bertikai, bukanlah
karena berbeda tujuan, yang sama-sama ”universal”, yaitu kesejahteraan umum,
tetapi hanya karena cara untuk mencapainya berbeda. Bangsa-bangsa jajahan pun
mencapai kemerdekaan atas nama hak universal atas kemerdekaan. Bahkan suatu
negara baru seperti Indonesia mampu merumuskan konsep identitas multi-lapis
yang memberikan ruang yang setara kepada kemanusiaan, keagamaan, kebangsaan,
dan kesukuan. Negara-negara Eropa menyusulnya beberapa tahun kemudian dengan
mengangkat kemungkinan untuk beridentitas nasional tertentu, seperti
Perancis, Inggris, Belanda, dan sekaligus beridentitas resmi Eropa.
Seolah-olah sekat-sekat rasial dan nasional bakal jatuh satu per satu.
Tetapi
jika habis gelap terbitlah terang, habis terang datanglah kegelapan, berikut
serigala-serigalanya. Kini selain Eropa Barat dalam versi xenofob di atas,
gejala nasionalis keras dan bahkan ekstrem tengah pula melanda Rusia dan
Ukrainia, sementara di Asia Timur, wilayah Lautan Tiongkok Utara diperebutkan
antara Tiongkok dan Jepang, sementara Tiongkok, Vietnam, dan Filipina
bertikai di seputar kedaulatan atas Lautan Tiongkok Selatan. Di dalam semua
kasus ini, lupus-lupus mengintai mangsa dari belakang semak perlindungannya.
Di Timur
Tengah, situasi lebih parah lagi. Para serigala tidak hanya mengancam, tetapi
sudah menguasai medan, bahkan bunuh-membunuh antarsesamanya, kerap disertai
rombongan hyena berbendera hitam yang lebih haus darah lagi.
Apakah
kegelapan dan kuasa serigala mengancam Indonesia? Aku tidak tahu. Tetapi aku
khawatir terulangnya pengalaman yang dikisahkan di dalam kumpulan cerita
binatang Tantri Kamandaka. Alkisah seekor kerbau jantan yang baik serta sekuat
banteng bernama Nandaka itu konon berhasil membina persahabatan yang erat
dengan Raja Singa penguasa hutan. Bahkan demi persahabatannya Sang Singa rela
tidak memakan daging lagi dan mulai makan tumbuh-tumbuhan. Tetapi patih Sang
Raja Singa ialah seekor serigala bernama Sambada, yang merasa posisinya
terancam oleh kerbau itu. Maka dia mengadu domba sang Nandaka dengan Sang
Raja Singa hingga keduanya saling membunuh. Sambada pun ikut tewas. Yang
konon tertinggal di negeri hutan itu hanyalah anak-anak serigala serta
hyena-hyena yang dengan lahap memakan bangkai-bangkai yang tersisa.
Semoga bahaya homo lupus dan cerita Tantri ini tak luput dari perhatian
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar