Menitip
Asa Dunia kepada Calon Pemimpin Bangsa
Deni
Bram ; Doktor Hukum Perubahan Iklim UI,
Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Juni 2014
KEDUA pasangan calon presiden
(capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sudah mengungkapkan visi dan
misi masing-masing. Tidak sedikit pengamat yang memberikan perspektif
keberadaan visi dan misi tersebut dalam sudut pandangan lingkungan hidup kini
dan akan datang. Namun, tanpa disadari perlu kiranya keberadaan komitmen
internasional dari Indonesia sebagai suatu bangsa patut menjadi pertimbangan
tersendiri. Tidak kurang penting signifikansi posisi Indonesia dalam konteks
lingkungan hidup bukan hanya pada tingkat nasional, melainkan juga regional
hingga internasional menjadi perhatian besar mata dunia.
Mulai keseriusan pemerintah
Indonesia terkait bencana kabut asap yang bersumber dari hutan Indonesia
hingga komitmen Indonesia dalam langkah penanggulangan perubahan iklim seakan
mendudukkan Indonesia sebagai salah satu aktor utama dalam diskursus
lingkungan internasional. Salah satu variabel penting yang kerap didengungkan
sebagai legacy dari rezim sekarang
ini ialah kelanjutan keseriusan peme rintah Indonesia dalam hal komitmen
penanggulangan perubahan iklim saat ini, yang telah dinyatakan oleh Presiden
Yudhoyono sebagai langkah Indonesia dalam penyelamatan iklim.
Urgensi legislasi
Posisi Indonesia sebagai negara
Non Annex dalam rezim perubahan iklim mendudukkan Indonesia sebagai negara
yang tidak dibebani kewajiban dalam instrumen Protokol Kyoto. Namun,
keberadaan hutan tropis terbesar nomor tiga di dunia membuat masyarakat
internasional menaruh harapan yang besar dari keberadaan hutan Indonesia
sebagai instrumen mitigasi serta dalam langkah negosiasi kebijakan iklim
global. Kehadiran Indonesia dalam rezim perubahan iklim mulai mendapat
perhatian saat Presiden Yudhoyono menyatakan komitmennya untuk melakukan
mitigasi emisi gas rumah kaca.
Pada forum pertemuan G-20 di
Pitsburg, Amerika Serikat, komitmen Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca sebesar
26%-41% tercatat dideklarasikan oleh Presiden Yudhoyono. Komitmen tersebut
baru dituangkan pada instrumen hukum nasional melalui instrumen Peraturan
Presiden Nomor 61 Tahun 2011. Namun, ironisnya aturan yang bersifat lintas
sektoral tersebut tidak mampu melakukan transformasi secara substansial upaya
mitigasi emisi gas rumah kaca yang dijanjikan. Adapun dalam instrumen hukum
perubahan iklim internasional, komitmen tersebut telah dicatatkan dan
mengikat sebagai inisiatif Indonesia dalam dokumen Nationally Appropriate Mitigation Action (NAMA) dan mengikat
untuk diwujudkan pada 2020 sebagai hasil pertemuan Conference Of the Parties (COP) di Kopenhagen pada 2009.
Hingga kini langkah nyata dalam
bentuk keharmonisan aturan belum dirasakan secara sinergis dan berbuah nyata
terkait langkah strategis yang dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel.
Bahkan dalam tataran normatif, hadirnya aturan khusus terkait perubahan iklim
hingga kini belum kunjung hadir, padahal telah diamanatkan dalam
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hal ini tentu menjadi indikasi
nyata bagi masyarakat internasional terkait dengan kesungguhan komitmen
Indonesia mengingat negara ini telah mencatatkan komitmen pada instrumen
internasional. Dalam korelasinya dengan pergantian rezim yang akan terjadi
beberapa bulan ke depan, sudah selayaknya para calon pemimpin memperhatikan
komitmen ini secara saksama sebagai potret kesungguhan Indonesia dalam
menyelamatkan ekosistem dunia dan pernyataan yang terikat dalam dimensi
internasional hingga 2020. Hal ini menjadi penting saat kedaulatan serta
harga diri bangsa terkait keseriusan penanggulangan perubahan iklim menjadi
dipertaruhkan.
Hutan dan penyelamatan iklim
Khusus pada sektor kehutanan,
kehadiran skema REDD yang pada awalnya hanya menekankan pada pengurangan
deforestasi di Indonesia dimaknai lebih luas dengan menjamin keberlanjutan
dari keberadaan eko sistem hutan itu sendiri. Penyerapan karbon dalam konteks
REDD Plus di Indonesia dimaknai sebagai instrumen yang lebih luas dan
melibatkan multisektor termasuk kepentingan lintas generasi yang
dipertaruhkan mulai saat ini. Kepentingan lintas generasi dan lintas benua
menjadi pertaruhan penting yang diemban oleh Indonesia.
Tidak kurang dari hasil
pertemuan tahunan Conference Of the
Parties (COP) ke-13 pada 2007 di Bali, Indonesia menjadi negara yang
pertama kali merespons wacana peran dari negara berkembang dalam instrumen Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation (REDD). Semangat kebersamaan ini sayangnya bergerak
lebih cepat dari induk semangnya, yaitu kebijakan perubahan iklim itu
sendiri. Hal ini paling tidak terlihat dari cepatnya respons dari Kementerian
Kehutanan yang mendahului dengan hadirnya beleid
terkait REDD pada 2009.
Namun, sayangnya kehadiran instrumen yang
mengedepankan insentif ini menjadi diametral dengan posisi Indonesia yang
tercatat sebagai salah satu negara dengan indeks korupsi tertinggi di dunia.
Suasana kebatinan yang diusung dalam pembicaraan awal skema REDD yang
mengharapkan koordinasi dari negara berkembang seakan berkembang menjadi
kolonialisme karbon dalam bentuk baru yang terikat dalam hubungan
subordinasi.
Bahkan dalam tataran lokal,
kondisi hutan Indonesia seakan menjadi komoditas dari negara donor yang
berharap banyak dari pengurangan karbon dari hutan Indonesia sehingga
menggeser konteks penyelamatan ekosistem dunia menjadi kepentingan pasar yang
terikat nilai dan harga semata.
Hal ini kiranya wajib menjadi
pertimbangan kritis dari para presiden-wapres mendatang. Eksistensi Indonesia
dalam pergaulan dunia saat ini bukan hanya berdiri dalam kepentingan nasional
ansich dalam selimut politik domestik. Dalam konteks penanggulangan perubahan
iklim, peran Indonesia juga telah berada sebagai negara dengan posisi
strategis dan turut memengaruhi kebijakan perubahan iklim pada tataran dunia
saat ini. Atensi dan kritisi kebijakan terkait hutan di Indonesia di masa
akan datang khususnya terkait dengan kedudukan posisi hutan Indonesia sebagai
ekosistem yang wajib dijaga kelestariannya, baik dengan atau tanpa adanya
negara donor. Karena ekosistem ini bukan warisan dari nenek moyang, melainkan
titipan dari anak cucu yang wajib dijaga untuk kini dan masa yang akan
datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar