Selilit
Demokrasi Elektoral
W
Riawan Tjandra ; Doktor Hukum Administrasi Negara UGM;
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Juni 2014
MANDAT konstitusi reformasi
melalui Pasal 6A UUD Negara RI 1945 yang menisbahkan sistem demokrasi
elektoral untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, bisa
ternoda oleh beberapa praktik permainan rivalitas politik curang maupun
kampanye hitam. Pilihan untuk menempatkan sistem demokrasi elektoral sebagai
instrumen demokrasi dalam pengisian pucuk pimpinan eksekutif seharusnya tak
boleh dilepaskan dari roh konstitusi dalam pembukaan UUD Negara RI 1945 yang
di antaranya dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tidak adanya ketegasan dari
pengawas pemilu maupun aparat penegak hukum dalam merespons temuan praktik
politik curang dan kampanye hitam, selain secara perlahan menjadikan roh
demokrasi elektoral dalam bentuk upaya mencerdaskan kehidupan bangsa akan
sekarat, juga akan mereduksi kualitas negara hukum demokratis yang menjadi
karakter utama konstitusi pascareformasi.
Terungkapnya peran Setyardi
Budiyono yang telah mengaku sebagai pemimpin tabloid Obor Rakyat, tabloid yang
oleh Dewan Pers dinyatakan sebagai tabloid abal-abal alias tak memenuhi
kaidah jurnalistik, telah mencoreng proses demokrasi yang berlangsung.
Setyardi merupakan mantan
wartawan tabloid Paron dan majalah Tempo (1998-2007) dan diangkat menjadi
asisten staf khusus presiden sejak 25 Februari 2010. Sebagai asisten staf
khusus presiden, konon Setyardi tidak diangkat presiden, tetapi diangkat
seskab atas usulan dari staf khusus presiden. Felix Wanggai merupakan atasan
Setyardi dalam posisinya sebagai staf khusus presiden. Meski memiliki
hubungan dengan pihak istana, pihak istana melalui Seskab Dipo Alam
menyatakan bahwa apa yang dilakukan Setyardi merupakan inisiatif pribadi yang
tidak terkait dengan penugasannya selaku asisten staf khusus presiden.
Belajar dari kasus tersebut ke
depan, idealnya Presiden terpilih nanti membatasi jumlah staf khusus maupun
asisten staf khusus yang posisinya rumit dijelaskan dalam struktur organisasi
pemerintah di lingkungan Sekretaris Kabinet, dan masuknya ke lingkungan
istana pun juga mengundang misteri. Lebih baik, presiden terpilih ke depan
lebih banyak mengefektifkan fungsi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
yang memiliki kedudukan lebih jelas dalam sistem organisasi pemerintah
daripada membentuk ‘struktur gemuk’ staf-staf khusus maupun asistennya di
lingkungan Sekretaris Kabinet.
Kasus keterlibatan Setyardi
Budiyono yang notabene juga menduduki posisi sebagai asisten staf khusus
presiden harus mendorong diambilnya tindakan tegas oleh jajaran penegak
hukum, khususnya Polri dan Kejaksaan Agung RI, untuk segera diproses secara
hukum. Tindakannya dalam menerbitkan tabloid tersebut tak sekadar melanggar
kaidah jurnalistik karena kampanye hitam yang terkandung di dalamnya, namun
secara hukum sudah memasuki ranah pencemaran/penistaan nama baik karena
menyerang kehormatan pribadi pihak-pihak yang didiskreditkan di dalamnya.
Harus diungkap
Dalam koridor hukum pidana umum
yang diatur dalam KUHP tindakan pencemaran nama baik, dirumuskan pada Pasal
310 KUHP yang mengancam pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. Pasal 311 KUHP lebih jauh menegaskan bahwa jika yang melakukan
kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis tidak mampu membuktikan apa
yang difitnahkan itu, dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
Dengan adanya pengaduan dari
pihak yang menjadi sasaran fitnah tersebut, menurut Pasal 313 KUHP, penyidik
diharuskan segera mengambil tindakan tegas sesuai dengan prosedur hukum yang
diatur dalam KUHAP. Ancaman hukuman bisa diperberat jika dikumulasikan dengan
ancaman hukuman terhadap black campaign dalam UU Pemilu dan jika menggunakan
media ekektronik bisa dikumulasikan de ngan UU ITE. Penegak hukum harus bisa
mengungkap aktor intelektual dan penyandang dana di balik fitnah dengan
menyalahgunakan tabloid abal-abal itu.
Tindakan tegas terhadap pelaku
kampanye hitam dalam pemilu kali ini sangat penting, bukan saja sebagai upaya
pembela jaran untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan ruh Pembukaan
UUD Negara RI 1945, namun juga untuk dapat dihasilkan sebuah preseden hukum
(yurisprudensi) agar dapat dijadikan sebagai standar hukum ke depan dalam
mendorong lahirnya sistem demokrasi elektoral yang bersih dan bebas dari
permainan politik curang melalui kampanye hitam dan sejenisnya.
Di sisi lain, tindakan asisten
staf khusus presiden tersebut sebenarnya telah menderogasi dan menentang
pidato SBY sebagai presiden dan kepala negara untuk bersikap netral dalam
pemilu. Menteri saja tak berani menentang ucapan seorang presiden, apalagi
seseorang yang `hanya' berposisi sebagai asisten staf khusus presiden.
Masa kampanye pilpres kali ini
juga sempat diwarnai ketidak netralan sebagian oknum di ling kungan TNI-Polri
yang juga dalam skala yang lebih luas bisa menyebabkan ketidakpercayaan
publik (public distrust) terhadap
institusi yang seharusnya bisa bersikap netral. Jika tidak ada langkah tegas
setiap pimpinan institusi tersebut, bisa menimbulkan efek domino
disfungsionalitas kedua institusi itut dalam menjaga pertahanan dan keamanan
karena adanya ketidakpercayaan publik yang meluas.
Jaga amanah
Banyaknya menteri maupun para
kepala daerah yang `larut' dalam sikap politik untuk mendukung pasangan
capres sesuai dengan afiliasi politik personal setiap pejabat itu juga perlu
diantisipasi adanya penyalahgunaan anggaran negara/ daerah yang bersumber
dari APBN/D. Penyalahgunaan anggaran tersebut rawan terjadi karena sulitnya
memisahkan afiliasi politik dan kedudukan jabatan para pejabat tersebut. Baik
UU Kementerian Negara maupun UU Pemda tidak secara eksplisit melarang
penggunaan hak politik dalam dukung-mendukung cawapres semasa Pilpres asal
tidak dilakukan dalam kedudukannya sebagai pejabat.
Dengan mengefektifkan paket UU
Keuangan Negara (UU No 17/2003, UU No 1/2004 dan UU No 15/2004) seharusnya
sangat mudah untuk mengaitkan kedudukan jabatan dari para pejabat tersebut
dalam skema pengelolaan keuangan negara/daerah sebagai pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara/daerah dengan pertanggungjawaban anggaran
negara/daerah. Ketatnya analisis kinerja (performance
analysis) dalam pertanggungjawaban anggaran negara/daerah, seharusnya
dapat digunakan untuk menegah deviasi penggunaan anggaran negara/daerah dalam
kegiatan yang tak berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsi jabatan
setiap pejabat negara/daerah tersebut dalam menggunakan hak politik personal
mereka.
Dengan adanya pengawasan yang
intensif oleh institusi pengawas pemilu dan tindakan hukum yang tegas
terhadap pelanggaran dalam pemilu diharapkan dapat diwujudkan
indikator-indikator dalam kualitas Pemilu yang baik (good electoral governance), baik dalam standar internasional
maupun dalam regulasi nasional, yaitu derajat kompetisi yang sehat,
partisipatif, keterwakilan yang tinggi, dan akuntabilitas yang jelas,
terlaksananya tahapan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan serta asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Jangan sampai demokrasi elektoral yang menjadi amanah konstitusi
reformasi dijagal para pencoleng demokrasi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar