Rabu, 18 Juni 2014

Menanti Pemimpin Produktif

Menanti Pemimpin Produktif

Ibnu Anshori  ;   Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang,
Ketua Umum Komunitas Mahasiswa Madura (KoMMa) Semarang
HALUAN,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
“Enam Puluh tahun dengan pemimpin yang zalim (masih) lebih baik daripada semalam tanpa penguasa”.­(Taqiyuddin Ibn Taimiyah)

Menelisik lebih dalam pernyataan di atas, cukup mengindikasikan bahwa eksistensi pemimpin sangatlah urgen bagi sebuah negara. Pasalnya, pemimpin merupakan ujung tombak pemerintahan yang dapat menjalankan, mengatur, mengayomi, melindungi, serta memberikan kesejahteraan rakyat. Bahkan, maju tidaknya negara dan tinggi rendah harkat martabat rakyat ditentukan oleh pemimpin.

Namun, yang harus disoroti adalah, bukan berarti pemimpin zalim dibolehkan memimpin negara, terlebih dengan durasi enam puluh tahun. Melainkan, mewajibkan kita untuk benar-benar lebih selektif mencari pemimpin. Tentunya, pemimpin yang mampu menyongsong Indonesia ke arah yang lebih menjanjikan. Sebagai contoh dengan kriteria jujur, adil, cerdas, tegas, bijak, asketis, dan produktif.

Jika dikontekskan dengan dilema Indonesia yang tengah mengalami krisis kepemimpinan saat ini, tentu kita sepakat bahwa kriteria pemimpin tersebut sangat cocok dan patut didambakan oleh segenap bangsa Indonesia. Pasalnya, mengingat istilah dari Ibnu Khaldun, yang mengatakan bahwa hancurnya peradaban sebuah negara salah satunya dikarenakan oleh kezaliman penguasa (pemimpin).

Karena itu, penghelatan hajatan demokrasi lima tahunan (Pemilu) merupakan momentum untuk menyingsingkan lengan baju menuju Indonesia baru, yakni dengan memberikan kepercayaan (amanat) kepada pemimpin berkualitas, berintegritas, dan berkredibilitas tinggi. Selain itu, momentum tersebut dapat dijadikan sebagai wadah semangat baru untuk bersama-sama merajut masa depan Indonesia yang lebih cerah nan cemerlang.

Butuh Pemimpin Produktif

Pemimpin produktif adalah pemimpin yang mampu menciptakan nuansa baru, bangkit dari keterpurukan, dan menjadikan perjalanan sejarah sebagai cermin masa depan. Sederhananya, pemimpin produktif adalah berusaha seoptimal mungkin mewu­judkan cita-cita rakyat mencapai kesejahteraan, yakni meneruskan semangat juang impian Indonesia dengan disertai usaha dan kerja keras.

Semangat juang mene­ruskan cita-cita rakyat merupakan hal vital yang harus dimiliki oleh segenap bangsa, khususnya seorang pemimpin. Hal yang paling mendasar dalam konteks ini adalah kesejahteraan rakyat. Pasalnya, hingga saat ini bisa dibilang kesejahteraan rakyat belum sepenuhnya dapat dirasakan, sekalipun ada, pastilah berlaku kepada kalangan berdarah biru (bangsawan), bak pisau yang tajam di genggaman.

Kesenjangan ini, tentu merupakan masalah yang mengungkung Indonesia, bak merdeka dalam gua, namun diperbudak gelap akibat tidak ada celah cahaya. Karena itu, pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah pemimpin yang bisa mengen­taskan bangsa dari neraka kebiadaban menuju surga peradaban. Paling tidak, dalam jangka lima tahun ke depan.

Selain itu, pemimpin produktif adalah pemimpin yang mampu memberikan keteladan, baik ucapan maupun perbuatan. Artinya, pemimpin harus memberikan contoh yang baik dalam segala bidang. Pasalnya, pemimpin merupakan panutan rakyat. Bagaimana rakyat bisa melakukan apa yang diperintah oleh pemimpin, jika pemimpin tersebut tidak memberikan teladan?

Sebagai contoh dalam aspek ucapan (lisan). Pemimpin dituntut bertutur kata sopan dan santun. Tanpa strars pembeda (diskriminasi) antara rakyat satu dengan yang lain. Semua dinilai setara, dan berhak mendapat perlakuan sama. Mengutip Immanuel Kant, yang mengatakan bahwa (human dignity) atau hak sebagai manusia yang menjadi dasar dari hak asasi lainnya. Artinya, fitrah manusia berarti kebebasan individu dan kese­taraan.

Sedangkan dari aspek perbuatan. Pemimpin harus membekaskan jejak kaki positif. Idealnya dalam Islam mencontoh kepemimpinan Rasulullah SAW. Selain menjadi pemimpin (leader), beliau juga merupakan politikus, saudagar, bahkan pengembala. Artinya, beliau tidak memandang status, yang terpenting baginya adalah keteladanan. Dan tentunya, tindak tanduk beliau tidak lain memberi pencerahan untuk kemaslahatan umat.

Misalnya, saat menjadi kepala Negara, beliau mampu menyatukan banyak kabilah dengan satu perundang-undangan tertulis, yaitu “Piagam Madinah”. Saat menjadi politikus, beliau mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat dengan kepribadian beliau yang tegas dan bijaksana. Saat menjadi saudagar beliau bersikap jujur, dan membagi-bagikan segala hartanya kepada fakir miskin. Dan saat beliau menjadi pengembala, beliau tidak pernah merasa malu.

Dalam konteks ini, dapat ditarik benang merahnya, bahwa pemimpin tidak harus hidup bermewahan-mewahan dengan dimanjakan oleh segenap fasilitas negara. Melainkan, pemimpin haruslah menderita. Sebagaimana ungkapan Mr. Kasman Singodimejo untuk mengenang kepemimpinan H. Agus Salim “Leiden is Ujden” (Memimpin adalah Menderita).

Pernyataan tersebut tentu mengajarkan kita, bahwa pemimpin harus rela berkorban. Baik berupa tenaga, usaha, kerja, bahkan doa. Paling tidak, menciptakan kesejahteraan, kemaslahatan, keselamatan, keamanan, dan kenyamanan rakyat. Sebagaimana gagasan Prof. Dr. Matthias Lutz Bachmann, yang menegaskan bahwa pemimpin harus menuangkan keramahtamahan universal (cosmopolitan right) agar tercipta kedamaian abadi antara individu satu dengan individu lain, kelompok satu dengan kelompok lain dalam naungan negara.

Pemimpin seperti inilah yang pantas memimpin Indonesia. Paling tidak, gerak kepemimpinannya dapat direplikasi oleh capres dan cawapres terpilih tahun 2014 ini, baik pasangan (Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko widodo-Jusuf Kalla). Dengan demikian tidak ayal, walau secara perlahan tapi pasti, Indonesia akan menjadi negara yang disegani oleh negara tetangga, bahkan Indonesia siap bersaingan di dunia Internasional. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar