JKN
Menafikan Misi Puskesmas?
Agus
Widjanarko ; Alumnus
FKM Unair dan Sekolah Pascasarjana (Kesehatan Masyarakat) UGM; Gelar profesi
“Ahli Asuransi Kesehatan” diperoleh dari PAMJAKI;
Penanggung
Jawab pada organisasi Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia
(Persakmi) Kota Pasuruan
|
OKEZONENEWS,
17 Juni 2014
Pelaksanaan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diimplementasikan dalam bentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial bidang Kesehatan (BPJS) akan memasuki semester
pertama. Berbagai produk hukum telah diterbitkan sepanjang enam bulan ini
sebagai upaya menjawab kendala-kendala yang timbul maupun keluhan-keluhan
yang muncul dari para penyelenggara dan pengguna layanan.
Salah
satu di antaranya terkait dengan pengaturan Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) milik daerah. FKTP sebagaimana ketentuan umum dalam Peraturan
Presiden RI Nomor 32 tahun 2014 (tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana
Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Milik Pemerintah Daerah) adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan
kesehatan perorangan, bersifat non-spesialistik untuk keperluan observasi,
diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya.
Menilik batasan ini maka FKTP sesungguhnya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas).
Konsep
dasar Puskesmas sejatinya telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 128/Menkes/SK/II/2004. Dari keputusan ini dapat disimak misi dari
pendirian sebuah Puskesmas. Misinya adalah menggerakkan pembangunan
berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas diharapkan dapat
senantiasa menggerakkan pembangunan sektor lain agar memerhatikan aspek
kesehatan, yaitu pembangunan yang tidak berdampak negatif pada kesehatan,
setidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.
Misi
berikutnya mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di
wilayah kerjanya. Puskesmas ditekankan untuk selalu berupaya agar keluarga
dan masyarakat makin berdaya di bidang kesehatan, melalui peningkatan
pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.
Misi
terakhir berupa upaya memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas. Puskesmas
diarahkan untuk menyediakan pelayanan yang sesuai dengan standard serta dapat
memuaskan masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan dan meningkatkan
efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.
Secara
garis besar penjabaran misi ini dituangkan dalam bentuk upaya kesehatan yang
dikelompokkan menjadi dua kriteria, yaitu upaya kesehatan wajib dan upaya
kesehatan pengembangan, yang merupakan program selain upaya kesehatan wajib.
Terdapat enam upaya wajib, lima di antaranya berbasis pada kesehatan
masyarakat dan satu upaya lainnya berorientasi pada kesehatan perorangan.
Yang berbasis kesehatan masyarakat diwujudkan dalam program promosi
kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu anak termasuk keluarga
berencana, perbaikan gizi masyarakat serta pencegahan dan pemberantasan
penyakit. Sedangkan yang berorientasi kesehatan perorangan adalah program
pengobatan.
Lingkup
kerja Puskesmas yang cukup luas dalam rangka mengawal pembangunan kesehatan di
daerah ini tampaknya mendapatkan pengerdilan fungsi dalam konteks BPJS. Sejak
diberlakukannya pada 2014, BPJS telah menyita waktu kerja dan energi pemberi
layanan di Puskesmas. BPJS menempatkan Puskesmas pada posisi memaksimalkan
upaya kesehatan wajib “minoritas” (pengobatan) serta meminimalkan upaya
kesehatan wajib “mayoritas (lima program selain pengobatan). Tak pelak BPJS
kian memberi warna kuratif rehabilitatif pada kinerja Puskesmas.
Definisi
FKTP pada Peraturan Presiden (Perpres) maupun Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 19 Tahun 2014 yang merupakan penjabaran dari Perpres (Permenkes) jelas
membatasi ruang gerak Puskesmas dalam kaitannya dengan BPJS hanya pada
pelayanan kesehatan “perorangan”. Bahkan dalam pemanfaatan dana kapitasi
untuk dukungan operasional pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana diatur
dalam Permenkes, dicantumkan bahwa kegiatan promotif preventif yang dilakukan
harus berorientasi pada upaya kesehatan perorangan, bukan kesehatan
masyarakat.
Padahal
sangat disadari kalau program-program promotif preventif akan lebih efektif
dan berdampak luas jika dilaksanakan pada sasaran khalayak komunitas bukan
orang-perorang. Memang ada penafsiran bila dana kapitasi merupakan hak mutlak
peserta pemegang kartu BPJS, bukan masyarakat umum. Hanya dalam prakteknya di
lapangan apakah bisa dilaksanakan secara efisien.
Penafikan
misi Puskesmas semakin tampak pada pengalokasian jasa pelayanan kesehatan
yang diformulasikan dalam Permenkes. Jasa pelayanan cenderung dimaksimalkan
untuk upaya pengobatan, satu-satunya kegiatan kuratif rehabilitatif di antara
enam upaya kesehatan wajib Puskesmas. Dengan asumsi bahwa peserta BPJS itu
membayar atau dibayari pemerintah untuk mengantisipasi risiko menderita
sakit, maka tidak dapat dihindari bila bagian terbesar dana kapitasi
diperuntukkan bagi tenaga kesehatan yang melayani pengobatan di dalam gedung
Puskesmas. Sementara tenaga kesehatan yang menjalankan program-program
promotif preventif di luar gedung memeroleh penghargaan yang belum setara.
Adalah
benar sumber daya manusia kesehatan seperti tenaga medis dan apoteker dalam
tatanan birokrasi kepegawaian dinilai sebagai sarjana strata dua. Bersama
perawat profesional (ners), ketiga
profesi ini mengambil peranan yang penting pada pemberian pelayanan
pengobatan, sehingga sudah sepatutnya porsi pembagian jasa mereka tergolong
paling tinggi.
Tetapi
disayangkan, tenaga-tenaga kesehatan lainnya, semisal yang melaksanakan
pendampingan terhadap balita gizi buruk, inspeksi sanitasi, kunjungan
keluarga risiko tinggi, sweeping imunisasi, menggelar posyandu dan lain-lain
masih dipandang bukan sebagai kegiatan utama. Ini bisa dicermati dari
variabel nilai jasa pelayanan yang belum menunjukkan kesetaraan dan
kesetimbangan. Jeri payah berpanas-panas di lapangan dihargai cukup rendah
dibandingkan pada mereka yang melayani pengobatan.
Yang
lebih mengkhawatirkan tentu manakala sudah sampai pada titik pemahaman jika
melaksanakan program-program di luar gedung Puskesmas menjadi tidak penting
lagi karena hampir tidak berdaya ungkit terhadap penerimaan jasa pelayanan.
Oleh sebab keterbatasan sumber daya manusianya, sebagian Puskesmas memberikan
tugas rangkap kepada beberapa tenaga kesehatan untuk mengupayakan program
kesehatan perorangan sekaligus kesehatan masyarakat. Namun menyikapi aturan
pengelolaan jasa BPJS yang hanya memformulasikan tambahan bobot nilai pada
perangkapan tugas administratif sebagai Kepala Puskesmas, Kepala Tata Usaha
dan Bendahara dana kapitasi JKN, tidak mustahil bila timbul keengganan untuk
berangkat menunaikan tugas-tugas rangkap program kesehatan di luar gedung.
Walaupun
bisa saja pimpinan memberikan penekanan terkait dengan adanya rambu-rambu
“kehadiran kerja” sebagai salah satu
variabel yang diperhitungkan dalam pemberian jasa, namun bila tidak
diantisipasi sejak dini, tidak menutup kemungkinan pada gilirannya Puskesmas
berubah menjadi hanya sebagai “poliklinik pengobatan”. Puskesmas akan
kehilangan marwah misi utamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar